Tentang SosioHumanitas Unla

SosioHumanitas Unla merupakan Jurnal Ilmu-ilmu Sosial & Humaniora Universitas Langlangbuana.

Sosiohumanitas berisi karya ilmiah hasil penelitian atau pemikiran berdasarkan kajian literatur yang dimuat dalam bentuk media cetak oleh LPPM Universitas Langlangbuana Bandung.

Materi yang dibahas mencakup masalah dan isu-isu yang aktual mengenai aspek sosial budaya dan kemanusiaan lainnya.

ISSN 1410-9263.

Aspek Yuridis Pemisahan Berkas Perkara (Splitsing) terhadap Pembuktian di Muka Sidang Pengadilan

(Studi Kasus Perkara Pidana Pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen Iskandar)

Oleh:
Hana Krisnamurti, Sri Mulyati Chalil
Fakultas Hukum Universitas Langlangbuana Bandung





ABSTRAK

Pasal 142 KUHAP memberikan hak kepada Penuntut Umum untuk melakukan penuntutan dengan jalan pemisahan perkara (Splitsing). Pemisahan ini dapat dilakukan jika Penuntut Umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan beberapa orang tersangka
dan peran masing-masing tersangka berbeda. Konsekuensi dari splitsing, yaitu bahwa satu perkara pelaku memiliki dua kedudukan, baik sebagai saksi maupun terdakwa. Akibatnya timbul istilah saksi mahkota (kroongetuide). Secara normatif penggunaan dan pengajuan ‘saksi mahkota’ merupakan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial) dan juga merupakan pelanggaran terhadap kaidah HAM yakni bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dan mengabaikan hak ingkar yang dimiliki terdakwa karena terikat oleh sumpah dalam kedudukannya sebagai saksi.

Kata kunci: Splitsing, Presumption of Innocence, Saksi Mahkota, dan Hak Ingkar


ABSTRACT

Criminal justice can be interpreted as a process of working of some law enforcement agencies. Criminal justice mechanisms include activities that gradually starting from the investigation, prosecution, examination before the court, and execution of a court decision which held in a correctional institution with a common goal that is desired in order to seek, find and get the accuracy of which are specifically regulated in the Act Law No.  8 / 1981 on Criminal Proceedings.  The development of criminal procedure have been related to the scope of many things that must be learned one of them is about authority as Prosecutor Attorney General for prosecution action by the indictment.  Article 142 Criminal Procedure Code gives a right to the Public Prosecutor to prosecute the case by way of separation (Splitsing).  Consequences of splitsing, namely that the perpetrators must testify together in each case. In one case the perpetrator has two positions, either as witnesses or defendants.  As a result, the term arising crown witness (kroongetuide). Normatively use and filing of 'crown witnesses' are contrary to the principles of fair trial and impartial (fair trial) and also a violation of human rights principles as known in the Criminal Code and the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).  What is needed is a thoroughness and wisdom of law enforcement, especially prosecutors and judges in the use of crown witnesses as evidence so as to maintain the balance of protecting the interests of either country's interest, the public, as well as individual interests including the interests of criminals and victims of crime, so it will create certainty law is expected by the community.

Keywords: Splitsing, Presumption of Innocence, Kroongetuide.



PENDAHULUAN

Kejahatan merupakan masalah sosial yang tidak hanya dihadapi oleh Indonesia atau masyarakat dan negara tertentu, tetapi merupakan masalah yang dihadapi oleh seluruh masyarakat di dunia. Kejahatan ditemukan atau ada di semua kultur atau budaya, dan setiap masyarakat menghasilkan mekanisme atau cara untuk mengendalikan kejahatan.
Mekanisme tersebut meliputi proses yang bertahap dimulai dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dan pelaksanaan putusan hakim yang dilaksanakan di lembaga pemasyarakatan. Keseluruhan proses itu bekerja di dalam suatu sistem, sehingga masing-masing lembaga itu merupakan subsistem yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi antara satu dengan yang lain.

Mulyadi (1996) mengatakan bahwa Hukum Acara Pidana merupa kan peraturan yang mengatur, menyelenggarakan dan memper- tahankan eksistensi ketentuan Hukum Pidana (Materieel Strafrecht) guna mencari, menemu- kan dan mendapatkan kebenaran materi atau yang sesungguhnya.
Perkembangan hukum acara pidana telah menyangkut ruang lingkup banyak hal yang harus dipelajari yakni meliputi aturan hukum tentang wewenang alat negara penegak hukum, tindakan penyidikan untuk mengumpulkan bahan-bahan bukti, wewenang melakukan penangkapan/penahanan, tindakan penuntutan dengan surat dakwaan, pemeriksaan sidang untuk pembuktian sebagai bahan keputusan, penerapan hukum dengan penetapan/putusan, berbagai upaya hukum dan pelaksanaan putusan yang mempunyai kekuatan tetap.

Tindakan penuntutan dengan surat dakwaan merupakan kewenangan dari jaksa (Pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP). Pasal 142 KUHAP memberikan hak kepada Penuntut Umum untuk melakukan penuntutan dengan jalan pemisahan perkara (Splitsing). Pada prinsipnya, menurut hukum acara pidana splitsing kasus adalah hak Penuntut Umum. Pemisahan itu dapat dilakukan jika Penuntut Umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana. Kejahatan itu juga melibatkan beberapa orang tersangka. Dengan kata lain, lebih dari satu perbuatan dan pelaku. Splitsing bisa dilakukan karena peran masing-masing tersangka berbeda.

Konsekuensi dari splitsing, yaitu bahwa para pelaku harus saling bersaksi dalam perkara masing-masing. Dalam satu perkara pelaku memiliki dua kedudukan, baik sebagai saksi maupun terdakwa. Akibatnya timbul istilah saksi mahkota (kroongetuide).

Hal ini dapat dilihat dalam proses perkara pidana pembunuhan terhadap Nasrudin Zulkarnaen Iskandar. Secara garis besar para pelaku dalam perkara pidana ini terbagi dalam beberapa unsur, yaitu eksekutor (Edo Cs), penyandang dana (Sigid Haryo Wibisono) dan yang menyuruh (Williardi Wizard), serta Antasari Azhar sebagai pelaku turut serta (yang membujuk).

Dalam satu perkara yang menjadi terdakwa adalah kelompok eksekutor sedangkan kelompok penyandang dana, yang menyuruh, serta yang membujuk berkedudukan sebagai saksi demikian sebaliknya dalam perkara yang lain penyandang dana sebagai terdakwa sedangkan eksekutor, yang menyuruh dan yang membujuk berkedudukan sebagai saksi.

Secara normatif penggunaan dan pengajuan ‘saksi mahkota’ merupakan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial) dan juga merupakan pelanggaran terhadap kaidah HAM sebagaimana dikenal dalam KUHAP maupun International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).

Berdasarkan u raian tersebut diatas peneliti tertarik untuk mengada- kan penelitian mengenai aspek yuridis pemisahan berkas perkara (splitsing) terhadap pembuktian di muka sidang Pengadilan (Studi Kasus Perkara Pidana Pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen Iskandar). Oleh karena itu penulis membatasi analisis dalam dua permasalahan yaitu bagaimanakah aspek yuridis pemisahan berkas perkara (splitsing) terhadap pem- buktian di muka sidang pengadilan (Studi Kasus Perkara Pidana Pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen Iskandar)? Dan bagaimanakah kepastian hukum saksi mahkota dalam pemeriksaan perkara pidana?


TINJAUAN PUSTAKA

Istilah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) telah men- jadi suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penang- gulangan kejahatan dengan memper- gunakan dasar pendekatan sistem. Arti sistem itu sendiri adalah susunan kesatuan dari bagian-bagian yang saling bergantung.

Remington dan Ohlin dalam Atmasasmita (1996) mengemukakan bahwa Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pemakaian pen- dekatan sistem terhadap mekanisme  administrasi peradilan pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.

Dalam konteks inilah selanjut- nya dibicarakan tentang mekanisme peradilan pidana sebagai suatu proses, atau disebut “Criminal Justice Process”. Criminal Justice Process ini dimulai dari proses penangkapan, penggeledahan, penahanan, penuntutan, dan pemeriksaan di muka sidang pengadilan, serta diakhiri dengan pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan.

Sistem peradilan pidana dalam operasionalisasinya melibatkan manusia, baik sebagai subjek hukum maupun sebagai sasaran atau objek hukum, sehingga persyaratan utama supaya sistem peradilan pidana itu bersifat rasional, harus dapat memahami dan memperhitungkan dampaknya terhadap manusia dan masyarakat manusia, baik yang berada dalam kerangka sistem maupun yang berada di luar sistem.

Mengkaji KUHAP Tahun 1981 sebagai dasar hukum terselenggaranya sistem peradilan pidana di Indonesia, maka akan tampak subsistem-subsistem sebagai berikut :
a.  Subsistem Penyidikan
b. Subsistem Penuntutan
c. Subsistem Pengadilan

Dilihat secara umum, menurut sistem KUHAP, hakim memiliki posisi yang sentral dan sangat menentukan, karena hakimlah yang menetapkan tentang terbukti atau tidaknya kesalahan terdakwa. Kegiatan pengumpulan bukti-bukti dilakukan oleh penyidik, pemanfaatan alat-alat bukti menjadi tanggung jawab penuntut umum karena penuntut umum yang berkewajiban membuat dakwaan dan membuktikannya melalui alat-alat bukti yang dikumpul- kan oleh penyidik.

Hakim tidak boleh menjatuh- kan pidana kepada seseorang berdasar- kan hanya atas keyakinannya melain- kan harus dengan adanya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah (Pasal 183 KUHAP). Pengertian tersebut merupakan pencerminan dari sistem pembuktian negatif (asas negative wettelijke).

Hamzah (1990) mengatakan, bahwa Sistem pembuktian negatif merupakan gabungan dari teori atau sistem pembuktian berdasar keyakinan secara positif dengan sistem pembuktian berdasar keyakinan hakim melulu, sehingga dalam sistem ini hakim hanyalah menghukum terdakwa kalau bukti-bukti yang sah menurut hakim, ia berkeyakinan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan tindak pidana.

Alat bukti adalah alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, yang dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran akan adanya tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa. Sedangkan alat bukti yang sah artinya alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang, yaitu yang tercantum dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yakni: Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk,dan Keterangan terdakwa.

Keterangan saksi merupakan faktor penting dalam segala kegiatan pelaksanaan proses peradilan dan sebagai alat bukti yang dapat mem- beratkan atau meringankan terdakwa. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di per- sidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pem- beritahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara yang dipanggil di persidangan.

Pasal 1 angka 26 menentukan: "Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuan itu". Demikian halnya dengan Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, menyatakan “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/ atau ia alami sendiri”.

Pengertian umum dari keterangan saksi tercantum dalam Pasal 1 butir 27 KUHAP, yaitu: “salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.”

Penilaian terhadap keterangan yang diberikan oleh seorang saksi adalah bebas, artinya seorang hakim bebas untuk menerima atau menolak isi keterangan seorang saksi yang diberikan di persidangan. Keadaan tersebut ada benarnya, karena seringkali seorang saksi di dalam memberikan keterangan dilandasi suatu motivasi tertentu.

Dalam mempertimbangkan nilai suatu kesaksian, hakim harus memberikan perhatian khusus pada persamaan kesaksian-kesaksian satu sama lain, pada persamaan antara kesaksian-kesaksian itu dengan apa yang diketahui dari sumber lain tentang hal yang menjadi perkara, pada alasan-alasan yang kiranya telah mendorong seorang saksi untuk mengutarakan perkaranya secara begini begitu, pada cara hidup, kesusilaan, dan kedudukan para saksi, serta pada segala apa yang mungkin ada pengaruhnya terhadap lebih atau kurang dapat dipercayainya para saksi itu.

Dalam banyak kasus tampak bahwa tidak setiap kejadian atau keadaan yang terjadi di tempat kejadian perkara disaksikan oleh seorang saksi yang berdiri sendiri-sendiri, dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah, jika keterangan saksi itu ada hubungannya yang satu dengan yang lain sedemikian rupa, hingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian. Dalam antara seorang terdakwa dengan terdakwa lain yang bersama-sama melakukan tindak pidana, bisa dijadikan saksi antara yang satu dengan yang lain. Hal inilah yang kemudian dikenal sebagai ‘saksi mahkota’ (kroongetuide).

Meskipun tidak diberikan definisi otentik dalam KUHAP, namun berdasarkan kenyataan, ‘saksi mahkota’ didefinisikan sebagai saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melaku- kan tindak pidana. Adapun mahkota yang diberikan kepada saksi yang berstatus terdakwa adalah dalam bentuk ditiadakannya penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan. Saksi mahkota hanya ada dalam perkara pidana yang merupakan delik penyertaan.

Hamzah (1996) berpendapat bahwa: “saksi mahkota adalah salah seorang terdakwa biasanya yang paling ringan kesalahannya dijadikan (dilantik) sebagai saksi. Jadi terdakwa ini seperti diberi mahkota yang tidak akan dijadikan terdakwa lagi.

Pengaturan mengenai ’saksi mahkota’ ini pada awalnya diatur di dalam Pasal 168 KUHAP, yang prinsipnya menjelaskan bahwa pihak yang bersama-sama sebagai terdakwa tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi. Kemudian dalam perkembangan nya, maka tinjauan pemahaman  tentang saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana diatur dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor: 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990.

Dalam Yurisprudensi tersebut dijelaskan bahwa Mahkamah Agung RI tidak melarang apabila Jaksa/ Penuntut Umum mengajukan saksi mahkota dengan syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas perkara dengan terdakwa yang diberikan kesaksian.


METODE PENELITIAN

Metode  penelitian dilakukan dengan cara menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu suatu penelitian yang menekankan pada peraturan perundang-undangan untuk mengkaji permasalahan dengan menemukan peraturan hukumnya yang bertujuan untuk menemukan asas dan teori hukum (Soekanto, 1986).

Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis, yaitu mendeskripsikan atau meng- gambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai hukum positif  (ius constitutum) dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktik pelaksanaan hukum positif seputar permasalahan yang akan dibahas (Soemitro, 1985).

Objek yang diteliti yaitu mengenai putusan pengadilan terhadap para pelaku pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen Iskandar. Data dalam penelitian ini diperoleh melalui studi kepustakaan yang berkaitan dengan data sekunder di bidang hukum kemudian dianalisis dengan mengguna kan metode analisis yuridis kualitatif, yaitu data yang diperoleh disusun secara sistematis, kemudian diuraikan dalam bentuk narasi. Sehingga akan diperoleh suatu interpretasi hukum dengan menggunakan cara penafsiran hukum.


PEMBAHASAN

Pada prinsipnya, menurut hukum acara pidana splitsing kasus adalah hak Penuntut Umum. Pemisahan itu dapat dilakukan jika Penuntut Umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana. Kejahatan itu juga melibatkan beberapa orang tersangka. Dengan kata lain, lebih dari satu perbuatan dan pelaku. Splitsing bisa dilakukan karena peran masing-masing terdakwa berbeda.

Konsekuensi dari splitsing, yaitu bahwa para pelaku harus saling bersaksi dalam perkara masing-masing. Dalam satu perkara pelaku memiliki dua kedudukan, baik sebagai saksi maupun terdakwa. Akibatnya timbul istilah saksi mahkota (kroongetuide).
Dalam perkara pembunuhan berencana terhadap Nasrudin Zulkarnaen ini, secara garis besar para pelaku terbagi dalam beberapa unsur, yaitu eksekutor (Edo Cs), penyandang dana (Sigid Haryo Wibisono) dan yang menyuruh (Williardi Wizard), serta Antasari Azhar sebagai pelaku turut serta (yang membujuk).

Peneliti berpendapat mengapa Jaksa Penuntut Umum harus melaku- kan Splitsing terhadap para pelaku, karena menurut peneliti Splitsing itu akan mengakibatkan kaburnya Unsur Penyertaan (Deelneming).
Penyertaan (Deelneming) adalah apabila dalam suatu peristiwa pidana terdapat lebih dari satu orang, sehingga harus dicari pertanggung- jawaban dan peranan masing-masing peserta dalam persitiwa tersebut.

Splitsing dapat menyulitkan jaksa penuntut umum dalam membuktikan hubungan pelaku satu dengan pelaku lainnya. karena, dalam tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang otomatis diperlukan pembuktian antara pelaku, kalau perkaranya di-split bagaimana bisa mengetahui hubungan antar pelaku.

Padahal tidak mungkin terbukti unsur penyertaan jika tindak pidana yang dilakukan berbeda. Semua atau salah satu unsur yang ada dalam dakwaan harus dilaksanakan secara bersama-sama. Kalau pelaku didakwa sendiri bagaimana membuktikan unsur “bersama-samanya”. Terdakwa tunggal itu tidak mungkin terbukti melakukan tindak pidana bersama-sama orang lain. Pemisahan perkara menyebabkan unsur penyertaan tidak terbukti. karena, penentuan siapa pelaku (pleger) dan medepleger (turut serta) tidak jelas, pelaku (pleger) justru berada dalam berkas perkara yang berbeda. Akibat penentuan kualitas deelneming (penyertaan) yang tidak jelas mengakibatkan perbedaan penerapan hukum.

Hal ini dapat dilihat dari vonis hakim dalam putusan pengadilan ter- hadap para pelaku tersebut yaitu Sigid Haryo Wibisono hakim menjatuhkan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun, Williardi Wizard hakim menjatuhkan pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun, dan terhadap Antasari Azhar hakim menjatuhkan pidana penjara selama 18 (delapan belas) tahun.

Inkonsitensi penerapan pasal menunjukan adanya dua delik yang berbeda. Padahal didakwa melakukan penyertaan (deelneming). Hal ini menunjukan ketidaktepatan dalam menerapkan pasal.

Selain hal tersebut diatas splitsing dianggap telah melanggar asas praduga tidak bersalah. Asas Praduga Tidak Bersalah merupakan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang fundamental. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM menyatakan bahwa: “setiap orang yang ditangkap, dan dituntut karena disangka melakukan suatu tindak pidana berhak dianggap tidak ber- salah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Splitsing dianggap telah melanggar asas praduga tidak bersalah karena pemeriksaan di muka persidangan belum selesai namun dengan adanya putusan terdakwa lain ia sudah dinyatakan bersalah. Artinya pemeriksaan itu hanya formalitas saja.

Contoh konkrit ketika vonis terhadap Antasari diputuskan maka secara logika bahwa Sigit dan Williardi dapat dinyatakan bersalah juga karena terkait Pasal 55 ayat (1)
tentang penyertaan sedangkan pada saat itu perkara Sigit dan Williardi belum diputuskan.

Penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana tentunya akan menimbulkan berbagai permasalahan yuridik. Munculnya alasan untuk memenuhi dan mencapai rasa keadilan masyarakat sebagai dasar argumentasi diajukannya saksi mahkota bukan merupakan hal yang menjustifikasi penggunaan saksi mahkota itu sebagai alat bukti dalam pemeriksaan perkara pidana.

Saksi mahkota pada esensinya adalah berstatus sebagai terdakwa. Oleh karena itu, sebagai terdakwa ia mempunyai hak untuk diam atau bahkan hak untuk memberikan jawaban yang bersifat ingkar atau bohong. Hal ini sebagai konsekuensi yang melekat akibat tidak diwajib- kannya terdakwa untuk bersumpah dalam memberikan keterangan. Pasal 66 KUHAP juga mengatur bahwa terdakwa tidak dibebani pembuktian karena beban pembuktian ada pada Jaksa Penuntut Umum. Karena ter- dakwa tidak dikenakan kewajiban untuk bersumpah maka terdakwa bebas untuk memberikan keterangan- nya di persidangan.

Sebagai subjek dalam pemeriksaan, maka tersangka atau terdakwa diberikan kebebasan untuk melakukan pembelaan diri terhadap dakwaan yang ditujukan kepada dirinya (sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 52 KUHAP). Dengan kata lain terdakwa mempunyai hak untuk ingkar, yakni berhak untuk meng- ingkari setiap keterangan ataupun kesaksian yang memberatkan dirinya serta berhak untuk mengingkari terhadap dakwaan yang didakwakan kepadanya karena dilindungi oleh asas praduga tak bersalah (presumption of innocence).

Dalam hal terdakwa diajukan sebagai saksi mahkota tentunya terdakwa tidak dapat memberikan keterangan secara bebas karena terikat dengan sumpah. Kosekuensi terhadap pelanggaran sumpah ini adalah ia bisa diancam melanggar Pasal 242 KUHP tentang sumpah palsu dan keterangan palsu. Adanya keterikatan dengan sumpah tersebut tentunya akan menimbulkan tekanan psikologis bagi terdakwa karena ia tidak dapat menggunakan haknya untuk ingkar atau berbohong.

Oleh karena itu, pada hakikatnya kesaksian yang diberikan saksi mahkota tersebut disamakan dengan pengakuan yang didapat dengan menggunakan kekerasan dalam hal ini kekerasan psikis. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial) dan juga merupakan pelanggaran terhadap kaidah HAM sebagaimana dikenal dalam KUHAP maupun International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).

Pada dasarnya, ketentuan Pasal 14 ayat (3) huruf g ICCPR bertujuan untuk melarang paksaan dalam bentuk apapun. Selain itu, diamnya tersangka atau terdakwa tidak dapat digunakan sebagai bukti untuk menyatakan kesalahannya.

Terdakwa tidak boleh dipersalah kan atas keterangannya. Kondisi ini, sangat tidak adil bagi terdakwa. Sementara, tujuan dari penegakan hukum, tidak hanya menegakan hukum, tetapi juga keadilan baik untuk korban maupun terdakwa. Apalagi, keterangan yang diberikan besar kemungkinan menunjukan kesalahan terdakwa dalam kasus tersebut.


PENUTUP

Kesimpulan
Splitsing bisa dilakukan karena peran masing-masing terdakwa ber- beda. Namun pada kenyataannya splitsing dapat menimbulkan masalah, yaitu kaburnya unsur penyertaan (deelneming) yang mengakibatkan perbedaan penerapan hukum, pelang- garan asas non self incrimination dan bertentangan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Penggunaan saksi mahkota dianggap suatu pelanggaran terhadap kaidah HAM yakni hak ingkar yang dimiliki terdakwa karena terikat oleh sumpah dalam kedudukannya sebagai saksi. Sehingga akan lebih menjamin kepastian hukum apabila eksistensi saksi mahkota diatur dengan ketentuan hukum yang jelas demi mewujudkan proses peradilan yang sesuai dengan kaidah-kaidah yang terdapat dalam KUHAP dan mewujudkan rasa keadilan bagi masyarakat luas.

Saran
a. Dalam menyusun surat dakwaan terhadap perkara yang di-split sebaiknya jaksa memahami unsur penyertaan, sehingga jelas hubungan antar pelaku dan penentuan siapa pelaku (pleger) dan medepleger (turut serta) serta memahami tentang kualitas perkara yang perlu diadakan splitsing.
b. Penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana perlu ditinjau ulang karena ber- tentangan dengan esensi hak asasi manusia, khususnya hak asasi terdakwa.



DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku:

Atmasasmita R., (1996), Sistem Peradilan Pidana (Perspektif, Eksistensialisme, dan Abolisionisme, Putra A. Bardin, Bandung.
Hamzah, A., (1990), Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia, Jakarta.
Hamzah, A., (1996), Hukum Acara Pidana Indonesia, C.V. Bapta Arta Jaya, Jakarta.
Mulyadi L., (1996), Hukum Acara Pidana Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Peradilan, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Soekanto S., (1986), Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.
Soemitro R.H., (1985), Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta.


Sumber Perundang-undangan:

Afnil G.S.S., (2008), KUHAP dan Penjelasan, Asa Mandiri,.
Kuffal H.M.A., (2005), Undang-Undang Kejaksaan RI., Kekuasaan Kehakiman, Kepolisian Negara RI, Mahkamah Agung, Umm Press.
Moeljatno, (1999), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.