Oleh:
Eni Dasuki Suhardini, Dini Ramdania
Fakultas Hukum Universitas Langlangbuana Bandung
ABSTRAK
Di berbagai negara, termasuk Indonesia, perdagangan orang khususnya perempuan dan anak telah banyak terjadi dan mereka ada yang dijadikan pelacur, penghibur bayaran dan pemuas manusia saja. Meskipun belum ada data yang pasti berapa orang Indonesia yang telah menjadi korban perdagangan
orang itu, tetapi paling sedikit sampai saat ini setiap tahunnya tidak kurang dari 4.500 (empat ribu lima ratus) orang menjadi korban perdagangan. Indonesia kini telah berhasil membentuk undang-undang baru guna meminimalisasi tindak pidana perdagangan orang yaitu dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Banyak kasus perdagangan orang yang meski dapat diungkap tapi pada saat pembuktian di persidangan banyak korban dan saksi yang mencabut keterangan yang telah diberikannya pada proses penyidikan di tingkat kepolisian dengan berbagai alasan. Tentunya hal ini perlu penanganan serius, mengapa korban dan atau saksi mencabut kembali keterangan yang telah diberikan. Keberhasilan pengungkapan masalah perdagangan orang salah satunya sangat tergantung pada para korban dan saksi apakah mereka berani menyampaikan permasalahannya kepada aparat terkait atau tidak. Seringkali seorang saksi atau korban mendapat ancaman sanksi hukum berupa tuntutan balik atas kesaksian atau laporan yang diberikannya. Dampaknya banyak saksi atau korban yang tidak bersedia menjadi saksi ataupun tidak berani mengungkapkan fakta karena tidak adanya jaminan atau perlindungan terhadap mereka. UU No. 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban berdasarkan ketentuan Pasal 43 UU No. 21/2007 tentang TPPO memberikan perlindungan kepada saksi dan korban perdagangan orang yang dalam hal ini dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berupa perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya. Selain itu bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikan, meskipun sampai saat ini perlindungan tersebut belum diberikan oleh LPSK karena keberadaannya belum dimanfaatkan oleh korban perdagangan orang. Hal ini terjadi disebabkan salah satunya karena keberadaan lembaga tersebut belum diketahuinya akibat kurangnya sosialisasi di daerah dan karena ada anggapan bahwa LPSK lebih mengutamakan kasus-kasus tertentu (seperti korupsi atau kasus-kasus kalangan elit). Untuk lebih mengoptimalkan keberadaan dan fungsinya maka LPSK harus menjalankan kerjasama baik dalam rangka sosialisasi maupun penegakan hukum dengan instansi lain seperti kepolisian, kejaksaan dengan LSM yang dituangkan dalam bentuk perjanjian kerjasama sehingga penegakan hukum khususnya tindak pidana perdagangan orang dapat lebih ditingkatkan.
Kata kunci: Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, kerjasama lembaga penegak hukum
ABSTRACT
In various countries, including Indonesia, trafficking in persons especially women and children have also become victims, they were used as prostitutes, prostitutions and satisfy human. Although there has been no definitive data how many Indonesian people who have become victim trade him but at least from 4500 (four thousand five hundred) people have become victims of trafficking. Indonesia has now succeeded in establishing new laws in order meminilisasi trafficking crime that is by the issuance of Law No. 21 of 2007 on Eradication of Trafficking in Persons. This problem should be quickly addressed, considering the development of the crime of trafficking in persons very rapidly with a variety of modus operandi in line with technological developments possible criminal acts easy to do, but for law enforcement agencies this is a challenge, because many cases of trafficking in persons who, though can diunakap but at the time proving in court many victims and witnesses to withdraw statements that have been handed to the investigation at the police for various reasons.of course handling seriously this is necessary, why the victims and or witnesses retract statements that have been given? success of the disclosure problem of trafficking in persons one of which is dependent on the victims and witnesses if they dare to convey the problem to law enforcement related or not? often a witness or victim received threats of legal witnesses behind demands for testimony or reports gived. Impact many witnesses or victims who are not willing to be a witness or do not dare to reveal the facts because not have the guarantee or protection against them. Act No. 13 of 2006 on the protection of witnesses and victims under the provisions of Article 43 law no.21 of 2007 concerning the crime of trafficking in persons to provide protection to witnesses and victims of trafficking in persons, in this case carried out by the witness and victim protection agency in the form protection of personal security, family and property and free from threats related to testimony that will be, is or has been given. although until now it has not been given protection because its existence has not been utilized by trafficking victims. This is due to the existence of these institutions have not known due to lack of socialization in the area and because it was thought that the witness and victim protection agency prefers certain cases such as corruption / elite. to further optimize the existence and function of the witness and victim protection agencies must cooperate better in order to socialize as well as law enforcement with other agencies such as police, prosecutors and nongovernmental organizations as outlined in the agreement form so that the rule of law, especially criminal acts of trafficking in persons can be more enhanced.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Undang-undang memposisikan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai lembaga yang pasif artinya hanya bisa bertindak apabila pihak yang menjadi korban atau saksi mengajukan permohonan untuk mendapat perlindungan ke LPSK. Namun LPSK dapat pula pro-aktif yaitu menghimbau kepada mereka untuk memanfaatkan LPSK sebagai lembaga yang mandiri sehingga permasalahan mereka dapat ditangani oleh LPSK dengan kewenangan yang dimilikinya.
Terkait dengan tindak pidana perdagangan orang yang tentunya banyak saksi maupun korban yang merasa takut untuk mengungkap atau melapor perihal tindak pidana perdagangan orang yang telah menimpanya karena adanya rasa takut atau ancaman yang mungkin akan diterima dari pihak pelaku. Disinilah keberadaan LPSK sangat diperlukan guna dapat mengungkap fakta dan kebenaran sehingga upaya proses penegakan hukum dapat tercapai karena saksi dan korban memperoleh perlindungan sesuai dengan yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006. Meskipun LPSK harus bekerja secara selektif karena tidak semua saksi dan korban harus mendapatkan perlindungan. Faktor inilah yang menjadi permasalahan yaitu mengapa undang-undang tidak memberikan kriteria kapan dan bilamana perlindungan dapat diberikan. Tentunya hal ini merupakan persoalan yang harus segera mendapat perhatian, mengingat keberadaan perlindungan saksi dan korban sebagai pranata hukum baru harus ditempatkan dan dimengerti dalam keseluruhan proses acara pidana. Selain itu juga agar LPSK mempunyai pedoman dan mekanisme yang jelas dalam melakukan koordinasi dengan lembaga terkait lainnya yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Lembaga Pemasyarakatan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memberikan perhatian terhadap korban perdagangan orang. Penting- nya pedoman dan mekanisme ini diperlukan untuk menghindari terjadi- nya tumpang tindih dalam memberi- kan perlindungan terhadap saksi dan korban karena selama ini yang memberikan perlindungan serupa adalah pihak kepolisian dan kejaksaan. Perlindungan pada saksi dan korban diberikan dalam semua tahap proses peradilan pidana, tentunya hal ini memerlukan kinerja yang serius dari pihak LPSK, agar upaya pem- berantasan dan pencegahan tindak pidana perdagangan orang di Indonesia dapat tercapai.
TINJAUAN PUSTAKA
Eksistensi dalam bahasa Inggris berasal dari kata exist artinya berada. Dalam hal ini, eksistensi menunjukan keunikan dan kekhasan individu. Dalam filsafat modern, istilah “eksistensi” hanya ditunjukan bagi manusia saja atau individu yang konkret. Hanya individu yang konkretlah yang dapat bereksistensi. Bereksistensi bukan berarti hidup menurut pola-pola abstrak dan mekanis, melainkan terus-menerus mengadakan pilihan-pilihan baru secara personel dan subjektif. Eksistensi bukanlah sesuatu yang sudah selesai, melainkan suatu cara berada dan gerak hidup yang sedang dilaksanakan.
Saksi dan korban mendapatkan perlindungan dan hak-hak khusus semata-mata agar mereka itu dapat memberikan kesaksian di muka pengadilan dengan bebas, lepas dari takut terancam nyawa atau harta bendanya. Jaminan perlindungan hak-hak saksi dan korban tidak bisa diabaikan begitu saja mengingat pentingnya eksistensi saksi atau korban dalam peristiwa pidana. Kedua-duanya tidak dapat dipisahkan sehingga masalah perlindungan hak korban pada hakikatnya juga merupa- kan bagian dari masalah perlindungan hak asasi manusia.
Selanjutnya masalah per- lindungan hukum terhadap korban termasuk salah satu masalah yang juga mendapat perhatian dunia Inter- nasional. Dalam kongres PBB VII/1985 di Milan tentang “The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders”, dikemuka- kan bahwa hak-hak korban seyogya- nya dilihat sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana (Arief, 1998).
Pada umumnya perlindungan hukum terhadap korban kejahatan sering diabaikan sedangkan per- lindungan hukum terhadap pelaku kejahatan yang pada umumnya berlebihan (over protection.) Dalam hal perlindungan hukum terhadap korban sejauh ini lebih banyak merupakan perlindungan abstrak atau perlindungan tidak langsung. Menurut Arief (1998), perlindungan hukum tidak langsung berarti bahwa dengan adanya berbagai perumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan selama ini pada hakikatnya telah ada perlindungan in abstracto secara tidak langsung terhadap berbagai kepentingan hukum dan hak asasi korban. Dikatakan demikian karena tindak pidana menurut hukum positif tidak dilihat sebagai perbuatan menyerang atau melanggar kepentingan seseorang (korban) secara pribadi dan konkret, tetapi hanya dilihat sebagai pelanggaran norma atau tertib hukum.
Akibatnya dari hal tersebut, perlindungan korban pun tidak secara langsung sehingga sistem sanksi dan pertanggung jawaban pidananya tidak tertuju pada perlindungan korban secara langsung dan konkret. Jadi pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku bukanlah pertanggung jawaban terhadap kerugian atau penderitaan korban secara langsung dan konkret tetapi lebih tertuju pada pertanggung- jawaban pribadi atau individual. Pada sistem peradilan pidana kepentingan korban diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum. Hal ini merupakan bagian dari perlindungan masyarakat sebagai konsekuensi logis dari teori kontrak sosial (Social contract argument) (Mulyadi, 2004).
Tindak pidana perdagangan orang secara langsung mengancam dan melanggar integritas korban dan meniadakan sisi kemanusiaannya, sehingga penting untuk memberikan perhatian khusus terhadap sikap aparat kepolisian dan aparat penegak hukum lainnya saat mereka berhadapan dan berurusan dengan korban. Kesediaan korban untuk melaporkan kasusnya kepada polisi dan bersikap kooperatif dalam seluruh proses peradilan pidana akan sangat tergantung pada bagai- mana polisi dan aparat penegak hukum memperlakukan korban, mem- berikan perlindungan keselamatan dan menjaga privasi mereka serta mem- buka kemungkinan bagi pendam- pingan korban.
Sistem peradilan pidana Indonesia seperti yang tertuang dalam KUHAP, ada empat komponen, yakni kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan, kesemuanya itu adalah penegak hukum. Sebagai- mana suatu sistem yang diartikan menggambarkan secara umum kerumitan dari elemen atau komponen yang saling berhubungan secara langsung dan tidak langsung yang stabil dalam suatu periode waktu.
Sistem ini disebut sebagai sistem peradilan satu atap dan dengan demikian terdapat suatu mekanisme dalam proses peradilan pidana dimana mekanisme ini dimulai dengan penangkapan, penggeledahan, penahanan, penuntutan, dan proses pemeriksaan dan mengadili di pengadilan. Pada akhir proses dilaku- kan pelaksanaan putusan hakim pada lembaga pemasyarakatan.
Selanjutnya dalam proses penegakan hukum, LPSK dapat melakukan kerja sama dan membantu penyidik dan penuntut umum dengan kewenangan yang dimilikinya terkait dengan perlidungan terhadap saksi dan korban perdagangan orang. Termasuk didalamnya apabila perkara per- dagangan orang sudah memasuki tahap pemeriksaan di pengadilan, maka peran LPSK menjadi semakin kuat dibutuhkan, agar segala alat bukti, khususnya alat bukti saksi, dapat dihadirkan dan didengar keterangannya tanpa merasa takut sehingga peristiwa saksi yang men- cabut keterangan dalam pemeriksaan di tingkat Kepolisian dengan alasan apapun tidak terjadi lagi. Dengan demikian diharapkan upaya penegakan kebenaran dan keadilan dapat ter- wujud.
Sesuai amanat undang-undang, maka LPSK dapat melakukan kerja sama dengan instansi terkait yang berwenang. Hal ini merupakan bagian dari pembangunan sistem peradilan pidana terpadu yang ditandai dengan kewenangan untuk mempererat kerja- sama dengan institusi lainnya dengan pemberdayaan sistem peradilan pidana itu sendiri.
Hal ini merupakan tugas yang berat bagi semua pihak untuk mengatasi kejahatan perdagangan orang. Selain memerlukan perangkat hukum yang komprehensif, tindakan dan penanganan terhadap kejahatan perdagangan orang juga memerlukan law enforcement yang tegas, sehingga perlindungan terhadap hak anak dan perempuan untuk tumbuh dan berkembang secara alami dalam lingkungan yang kondusif dapat diwujudkan.
Masyarakat Internasional telah berulang kali mencoba untuk meng- hapuskan praktek perdagangan melalui instrumen Internasional sejak tahun 1904 yaitu pertama kali dengan dikeluarkannya International Agreement the Supression of White Slave Traffic. Definisi Perdagangan orang pertama kali dikemukakan pada tahun 2000 yang lalu ketika Majelis umum PBB menggunakan protokol untuk mencegah, menekan dan menghukum perdagangan orang, khususnya kaum perempuan dan anak-anak, misalnya yang dikenal dengan istilah Protokol Polermo. Protokol Polermo sendiri merupakan sebuah perjanjian yang berisi sebuah perangkat hukum mengikat yang menciptakan kewajiban bagi semua negara yang meratifikasi atau menyetujuinya.
Definisi perdagangan orang menurut Pasal 3 Protokol Polermo adalah: “Perdagangan orang yang ber- arti perekrutan, pengiriman ke suatu tempat, pemindahan, penampungan atau penerimaan melalui ancaman atau pemaksaan dengan kekerasan atau dengan cara-cara kekerasan lain, penculikan, penipuan, penganiayaan, penjualan, atau tindakan penyewaan untuk mendapatkan keuntungan atau pembayaran tertentu untuk tujuan eksploitasi”.
Keberadaan LPSK sebagai tindak lanjut dari amanat Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, telah dbentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 65/P/tahun 2008 tanggal 8 Agustus 2008. Namun tampaknya keberadaan lembaga ini belum memperlihatkan hasil yang maksimal dalam memberantas tindak pidana perdagangan orang. Sampai saat ini tindak pidana perdagangan orang masih banyak terjadi namun masih sedikit kasusnya yang dapat dituntaskan pada tingkat peradilan. Hal ini disebabkan para korban maupun saksi belum atau tidak mendapat perlindungan dari instansi terkait (dalam hal ini LPSK), sehingga mereka merasa takut atau terancam apabila membuka tabir kejahatan perdagangan orang ini, juga karena mereka turut berpartisipasi juga dalam kejahatan ini, misalnya pencari kerja yang belum dewasa.
Perlindungan diberikan sejak tahap penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006. Namun hal yang menjadi kendala adalah masalah pembiayaan yang tentunya sangat besar, apalagi dengan dibentuknya LPSK diharapkan dapat memberikan apa yang menjadi hak korban maupun saksi.
METODE PENELITIAN
Metode Penelitian yang diguna- kan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif. Pada dasarnya penelitian ini mencakup keseluruhan peraturan perundang-undangan nasional, konvensi-konvensi internasional, serta perjanjian-perjanjian internasional yang berkaitan dengan perlindungan saksi dan korban serta masalah perdagangan orang.
Berdasarkan objek penelitian tersebut di atas, penelitian ini di- kategorikan sebagai penelitian hukum normatif (legal research) yaitu penelitian yang mengkaji asas-asas dan kaidah-kaidah hukum. Penelitian ini menggunakan beberapa pen- dekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach) yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang berkaitan dengan isu hukum yang diteliti yaitu perlindungan terhadap korban perdagangan orang dan mekanisme LPSK dengan instansi lain dalam rangka penegakan hukum. Pendekatan kedua adalah pendekatan kasus (case approach), yaitu dengan cara melakukan penelaahan terhadap kasus-kasus perdagangan orang yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Upaya untuk memberikan perlindungan hukum kepada korban dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 dapat dilihat dalam bagian konsideran huruf a dan b, sebagai berikut :
1. Bahwa salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan saksi dan atau korban yang mendengan, melihat atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam rangka menemukan dan mencari kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana.
2. Bahwa penegak hukum dalam menemukan dan mencari kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan karena tidak dapat menghadirkan saksi dan atau korban disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu.
Provinsi Jawa Barat tercatat sebagai daerah dengan jumlah korban terbanyak kasus perdagangan manusia. Data jaringan Gerakan Perempuan Anti Traffiking Jabar menunjukan dari Tahun 2007 sampai Juni 2008 terdapat 232 korban perdaganngan manusia asal Jabar yakni 28 orang anak-anak, 23 bayi, 181 perempuan dewasa. Jumlah tersebut merupakan 84 % dari keseluruhan korban perdagangan manusia secara nasional dan daerah asal korban adalah Indramayu (54 %), Sukabumi (13%), Cimahi (11%) dan Garut (6%).
Melihat data korban tersebut pemerintah Provinsi Jawa Barat membentuk Tim Gugus Tugas Pencegahan dan Penindakan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Tim tersebnut hingga kini bekerja sama dengan tiga daerah dalam memulang- kan korban perdagangan manusia, yakni kepulauan Riau, Kalimantan Timur, dan Sumatera Utara dan dalam waktu dekat tim tersebut akan bekerja sama dengan Kalimantan Barat yang juga sebagai daerah transit sekaligus tujuan perdagangan manusia.
Undang-Undang PSK menyata- kan bahwa LPSK adalah lembaga yang mandiri, dan merupakan lembaga yang independen di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif maupun judikatif. Karena merupakan lembaga yang mandiri maka kemudian UU PSK tidak meletakan struktur LPSK berada di bawah instansi manapun baik instansi pemerintah (eksekutif) maupun lembaga negara lainnya. Walaupun dari segi finansial lembaga ini didukung sepenuhnya dari keuangan negara.
Kasus perdagangan orang masih menjadi masalah besar di Indonesia oleh karena itu seharusnya LPSK bisa berperan lebih proaktif dalam kasus-kasus perdagangan perempuan.
Kasus korupsi memang penting, namun seharusnya LPSK juga melihat kasus-kasus marginal seperti per- dagangan perempuan. Korban dan saksi perdagangan perempuan juga membutuhkan rasa aman dan ingin mendapat perlindungan. Menurut data banyak kasus perdagangan perempuan yang akhirnya tidak berlanjut secara hukum karena korban dan saksi merasa tidak aman. Korban juga membutuhkan pendampingan ketika memberikan keterangan di pengadilan.
Oleh karena itu keberadaan LPSK harus diperkuat. Selama ini yang bisa mengakses LPSK hanyalah kalangan elit, seharusnya kelompok-kelompok marginal pun dapat meng- akses LPSK.
LPSK seharusnya bisa lebih proaktif dalam melihat kasus-kasus marginal seperti perdagangan orang (perempuan). Meskipun UU PSK menyatakan LPSK lebih bersifat pasif dan hanya menerima pengaduan, namun LPSK masih bisa proaktif melakukan sosialisasi. Masyarakat marginal tidak bisa mengakses LPSK karena tidak mendapatkan informasi dan pegetahuan mengenai LPSK, menurut Wahyu Susilo LPSK harus lebih proaktif memberikan sosialisasi ke masyarakat marginal.
Sementara itu tanggapan dari ketua LPSK atas pendapat tersebut mengungkapkan bahwa keterbatasan LPSK, selama ini LPSK selalu dituntut untuk proaktif dalam segala kasus, mulai dari korupsi, terorisme dan sekarang perdagangan perempuan, menurutnya LPSK selalu diminta proaktif, padahal LPSK baru bisa memberikan perlindungan kepada saksi dan korban ketika ada permohonan.
Terkait kasus perdagangan perempuan, ketua LPSK mengakui belum ada kasus perdagangan perempuan yang ditangani oleh LPSK karena sejauh ini belum ada per- mohonan perlindungan kepada LPSK baik dari saksi maupun dari korban perdagangan perempuan.
Keadaan ini menurutnya disebabkan karena keberadaan organisasi atau aktivis LSM yang membantu menjembatani kepentingan saksi dengan korban dengan LPSK. Seharusnya ketika ada kasus yang dianggap penting LSM perempuan bisa membantu para korban atau saksi untuk melaporkan ke LPSK. Oleh karena LSM perempuan yang selama ini dekat dengan korban maka LSM perempuan yang bisa mendeteksi dimana saksi dengan korban itu berada.
Peran LSM perempuan bisa dilakukan dengan membantu para saksi dan korban untuk mengajukan permohonan kepada LPSK sehingga terjadi sinergi antara LSM dan LPSK.
Terkait sosialisasi, Ketua LPSK mengakui bahwa sosialisasi yang dilakukan LPSK memang belum menyiapkan masyarakat secara menyeluruh. Namun LPSK sudah melakukan sosialisasi ke beberapa daerah dengan beberapa lembaga. Biasanya LPSK melibatkan aparat penegak hukum dengan masyarakat. Masyarakat yang dimaksud terdiri dari akademisi, jurnalis, dan LSM. Salah satu materi dalam sosialisasi tersebut adalah bagian masyarakat bisa mem- bantu LPSK, karenanya diharapkan masyarakat bisa membantu mem- perkuat peran LPSK dengan fungsi-fungsi yang dimilikinya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
UU No. 13 Tahun 2006 sebagai dasar lahirnya LPSK ternyata masih belum memberikan perlindungan secara nyata dan tegas karena hal ini terlihat masih belum diaturnya mengenai pemberian ganti rugi atau kompensasi dari si pelaku kepada korban, bilamana pelaku tidak mematuhi putusan dari pengadilan untuk memberikan ganti rugi kepada pelaku karena tidak adanya sanksi bagi si pelaku. Dalam UU No. 13 Tahun 2006, LPSK bersifat pasif, di sini LPSK hanya menunggu permohonan perlindungan bagi saksi atau korban, sehingga dalam kasus perdagangan orang LPSK sampai sejauh ini belum satupun menangani perlindungan terhadap korban per- dagangan orang (perempuan dan anak-anak). Hal ini disebabkan karena kurangnya sosialisasi tentang keberadaan LPSK bagi kasus per- dagangan orang di mana korbannya adalah masyarakat golongan menengah ke bawah. Selain itu kurangnya eksistensi dari LPSK disebabkan karena kurangnya kerja- sama dengan lembaga lembaga lainnya yang terkait, terutama dengan LSM perempuan dan anak yang bersentuhan langsung dengan korban serta dengan penyidik polri (PPA) yang menangani kasus-kasus per- dagangan orang.
Saran
Agar kinerja dari LPSK ini diubah dari berstatus pasif menjadi aktif bahkan LPSK ini harus lebih proaktif dalam menangani kasus perdagangan orang, supaya saksi dan korban menjadi berani mengungkap keadaan yang sebenarnya dalam kasus perdagangan orang, dan hal ini akan memudahkan untuk menghukum dan memutus rangkaian trafficking yang terjadi. Kerjasama LPSK dan lembaga lainnya perlu ditingkatkan guna mem- berantas tindak pidana perdagangan orang yang semakin merajalela dan sulit pembuktiannya.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, B. N., 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Adtya Bakti, Bandung.
Mulyadi, L., 2004, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Viktimologi, Djambatan, Jakarta.
A.V. Dicey,1971, An Introduction To Study of Law Constitution, English Language Book Society London.
Atmasasmita, Romli, 1996, Sistem peradilan Pidana : Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionis, Cet 2, Putra A Bardin, Bandung.
Arief Sidharta, Bernard, 2009, Metode Penelitian Hukum, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Cipto Handoyo, B. Hestu, 2003, Hukum Tata Negara, Kewarga- negaraan dan Hak Asasi Manusia, Universitas Atmajaya, Yogyakarta.
J. Maleong, Lexy, 1998, Metode Penelitian Kualitatif, Rosda- karya, Bandung.
Kusumaatmadja, Mochtar, 1976, Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung.
Kusumaatmadja, Mochtar, Arief Sidharta, B., 2000, Pengantar Ilmu hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Ber- labuhnya Ilmu Hukum, Alumni, Bandung.
Mulyadi, Lilik, 2004, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Viktimologi, Djambatan, Jakarta.
Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005, Sistem Hukum Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
Moerad, Pontang, 2005, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana, Alumni, Bandung.
Muladi, 2002, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Univ. Diponegoro, Semarang.
Mahmud Marzuki, Peter, 2008, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Nawawi Arief, Barda, 2007,Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
---------, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Adtya Bakti, Bandung.
Reksodipoetro, Mardjono ,1994, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan); dikutip dari Hak Asasi manuisa dalam Sistem Peradilan Pidana.
Rukmini, Mien, 2006, Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi (sebuah bunga rampai)Alumni,Bandung.
Rahardjo, Satjipto, 2006,Sisi-sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia, Buku Kompas, Jakarta.
Salman, R. Otje, dan F Susanto, Anthon, 2004, Teori Hukum: Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung.
Soekanto, Soerjono, dan Mamudji, Sri, 1994, Suatu Tinjauan Singkat Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Soemantri, Sri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung.
Sunaryati Hartono, C.F.G., 1991, Politik Hukum Menuju Suatu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung.
Soeharto, Perlindungan Hak Ter- sangka, Terdakwa, dan Korban Tindak pidana Terorisme dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Refika Aditama, Bandung.
Wignyosoebroto, Soetandyo, 2009, Metode Penelitian Hukum, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Makalah/ Majalah
Ktut Sudiharsa, I, “Banggalah Jadi Saksi,” Kesaksian, Edisi II Mei-Juni 2009
Manan, Bagir, Memberdayakan Masyarakat Dalam Menegakan Hukum dan Keadilan Menurut UUD 1945, Makalah Seminar Nasional diselenggarakan Lembaga Pelayanan dan Penyuluhan Hukum Golongan karya di Jakarta, tanggal 22 Agustus 1995.
Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri 36 Perdagangan Manusia Dalam Rancangan KUHP, ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, 2005.
Seno Adji, Oemar, “Prasaran” Dalam Seminar Ketatanegaraan UUD 1945, Seruling Masa, Jakarta, 1996.
Wulandari ,Widati, dan P. Muliono, Tristam, “Perlindungan Saksi dan Korban”, Kesaksian, edisi Mei-Juni 2009.
Perundang-undangan:
Undang Undang Dasar 1945 Amandemen IV
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Bumi Aksara, Yogyakarta, 1992
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, CV Djambatan, Jakarta, 2008.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, CV. Djambatan, Jakarta, 2008.
Konvensi Internasional tanggal 4 Mei 1904 untuk Penghapusan Perdagangan Budak Kulit Putih, Diamandemen dengan Protokol PBB tanggal 3 Desember 1948.
Konvensi Internasional tanggal 4 Mei 1910 untuk Penghapusan Perdagangan Budak Kulit Putih, Diamandemen dengan Protokol PBB tanggal 3 Desember 1948.
Konvensi Internasional tanggal 30 September 1921 untuk Peng- hapusan Perdagangan Perem- puan dan Anak, Diamandemen dengan Protokol PBB tanggal 20 Oktober 1947.
Konvensi Internasional tanggal 11 Oktober 1933 untuk Peng- hapusan Perdagangan Perem- puan Dewasa, Diamandemen dengan Protokol PBB tanggal 20 Oktober 1947.
Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Person, Especially Women and Children Suplementing The United Nation Convention Against Trans- national Organized Crime tahun 2000.
Lain-lain:
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana.