Tentang SosioHumanitas Unla

SosioHumanitas Unla merupakan Jurnal Ilmu-ilmu Sosial & Humaniora Universitas Langlangbuana.

Sosiohumanitas berisi karya ilmiah hasil penelitian atau pemikiran berdasarkan kajian literatur yang dimuat dalam bentuk media cetak oleh LPPM Universitas Langlangbuana Bandung.

Materi yang dibahas mencakup masalah dan isu-isu yang aktual mengenai aspek sosial budaya dan kemanusiaan lainnya.

ISSN 1410-9263.

Komunikasi Kepemimpinan Dalam Budaya Organisasi

Oleh:
Hana Silvana
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Langlangbuana Bandung




ABSTRAK

Masalah kepemimpinan merupakan hal yang sangat luas dan menyangkut bidang yang sangat luas, serta memainkan peran yang sangat penting dalam bidang pemasaran, pendidikan, industri, organisasi sosial bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Pemimpin yang memiliki komitmen yang jelaslah yang
mampu menyelamatkan organisasi dari situasi yang kompleks. Pendapat mereka memberi sumbangan yang jelas mengenai bagaimana pemimpin seharusnya bertindak dalam setiap situasi yang dihadapi. Tanpa dapat dipungkiri peran ini membawa sejumlah tantangan yang harus diatasi karena di pundaknya tujuan kelompok diletakkan. Meskipun demikian keberhasilan dan kegagalan organisasi tidak semata-mata tergantung pada pemimpin, dalam hal ini partisipasi dan keinginan berkorban dari anggota memiliki andil yang tidak sedikit. Suatu organisasi hanya akan dapat berjalan sejauh nilai-nilai kebersamaan yang dimiliki sungguh-sungguh diinternalisasi dan budaya yang menjadi pondasi bagi keberlangsungan hidup organisasi benar-benar mempengaruhi setiap tindakan anggota. Dalam hal ini peran pemimpin tidak kecil dalam mensosialisasikan budaya yang dimiliki. Sejauh budaya tersebut tidak terlalu melenceng dari nilai-nilai yang dimiliki, maka proses perwujudan tidak akan berjalan begitu sulit. Perwujudan budaya bukanlah proses yang pasif. Namun ia melibatkan peran proaktif dari orang-orang yang terkait. Hal ini memiliki arti, bahwa orang dengan sadar menerima budaya yang ada dan menjadi suatu dasar bagi perilaku kesehariannya. Kuat lemahnya suatu budaya dalam organisasi akan terlihat pada sejauhmana oganisasi mampu bertahan dalam situasi yang sulit. Di samping itu, kuat lemahnya budaya organisasi juga terletak pada sejauhmana anggota meletakkan kepercayaannya pada pemimpin mereka.

Kata kunci: Komunikasi, kepemimpinan, budaya, organisasi, globalisasi.



PENDAHULUAN

Latar Belakang

Globalisasi yang dulu sering didengung-dengungkan dan diyakini belum akan berpengaruh dalam waktu dekat kini telah menunjukkan pengaruhnya yang sangat kuat. Era pembangunan telah berjalan sedemikian pesat dan hal ini tanpa dapat dipungkiri telah membawa pada sejumlah dampak, baik dampak yang bersifat positif maupun negatif. Salah satu bukti yang menunjukkan pesatnya kemajuan itu adalah perdagangan dunia yang kini telah membawa perubahan-perubahan pada sistem pasar.

Pengaruh globalisasi akibatkan batas batas negara menjadi kabur sehingga setiap negara tidak bisa lagi secara kaku memperhatikan sistem yang mereka ambil. Budaya yang mendasari sistem yang ada pada akhirnya juga turut memegang pengaruh yang sangat besar. Hal ini terlihat pada budaya yang berkembang di negara Indonesia sendiri. Jika pada masa lalu budaya gotong-royong yang terlihat sangat jelas pada masa perjuangan masih sangat kuat melekat dalam diri orang-orang Indonesia, hal itu nampaknya kini harus dipertanya- kan lagi. Gempuran yang sangat kuat terhadap nilai mata uang Indonesia mendorong orang-orang dari satu golongan tertentu untuk menyelamat- kan diri sendiri tanpa memperhitung- kan pihak lain. Hal ini menimbulkan suatu tanda tanya adakah nilai-nilai individual yang pada dasarnya bukan nilai-nilai bangsa telah merasuki bangsa yang terkenal akan semangat gotong-royongnya.

Budaya yang pada dasarnya merupakan nilai-nilai, kebiasaan, ritual, mitos maupun praktek-praktek yang terus berlanjut dalam kehidupan bermasyarakat merupakan nafas yang menjiwai dan mengarahkan perilaku para anggota (Robbins dan Coulter, 1996) semestinya mendasari setiap gerak kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini budaya tidak hanya sekedar sebagai dasar, namun yang terpenting adalah budaya tersebut memiliki peran sebagai pemberi identitas dan normative glue. Pemimpin dalam konteks ini memiliki andil yang sangat besar terhadap bagaimana budaya tersebut dapat dihayati dengan sungguh-sungguh oleh para anggotanya.

Namun kenyataan justru menunjukkan, bahwa peran pemimpin dalam hal ini menjadi sangat tidak jelas sehingga anggota-anggotanya menjadi kehilangan kepercayaan dan pada akhirnya kehidupan organsasi menjadi kehilangan keseimbangan. Jika kepercayaan telah menipis, maka akibat yang timbul adalah nilai-nilai kebersamaan hilang dan masing-masing individu berusaha menyelamat kan diri masing-masing dalam situasi yang sangat rumit dan ambigu.

Masalah kepemimpinan merupa- kan hal yang sangat luas dan menyangkut bidang yang sangat luas, serta memainkan peran yang sangat penting dalam bidang pemasaran, pendidikan, industri, organisasi sosial bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam setiap masyarakat timbul dua kelompok yang berbeda peranan sosialnya, yaitu yang memimpin sebagai golongan kecil yang terpilih dan kelompok yang dipimpin adalah orang kebanyakan. Tanpa adanya seorang pemimpin maka tujuan organisasi yang dibuat tidak akan ada artinya karena tidak ada orang yang bertindak sebagai penyatu terhadap berbagai kepentingan yang ada.

Jika melihat perkembangan ber- bagai teori mengenai kepemimpinan yang ada, maka timbul suatu kesadaran, bahwa perkembangan teori kepemimpinan telah berkembang sedemikian pesat sejalan dengan perkembangan kehidupan yang ada. Kepemimpinan tidak lagi dipandang sebagai penunjuk jalan namun sebagai partner yang bersama-sama dengan anggota lain berusaha mencapai tujuan.

Rumusan  Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimanakah konsep kepemim- pinan ideal dalam suatu organi- sasi?
2. Bagaimanakah pedoman komuni- kasi kepemimpinan yang dapat diterapkan pada organisasi?

Maksud dan Tujuan Kajian
Makalah ini memiliki maksud untuk menggali konsep kepemimpinan yang ideal dalam suatu organisasi dalam mewujudkan budaya organisasi yang berlaku dan menunjang kinerja organisasi.
Tujuan dari makalah ini adalah untuk merumuskan suatu pedoman komunikasi kepemimpinan yang dapat diterapkan dalam sebuah organisasi.



TINJAUAN PUSTAKA

Kepemimpinan dalam Berbagai Perspektif

Para ahli mencoba mendefinisi- kan pengertian kepemimpinan dengan berbagai aspek dan pendekatan. Istilah ini pun telah sangat dikenal dalam kehidupan sehari-hari karena menyangkut bidang yang sangat luas. Stogdill (1974) menyatakan, bahwa jumlah definisi tentang kepemimpinan dapat dikatakan sama dengan jumlah orang yang telah berusaha mendefinisi kannya. Ia sendiri mengartikan  kepemimpinan sebagai proses atau tindakan untuk mempengaruhi aktivitas suatu kelompok organisasi dalam usaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Fiedler (1967) adalah salah satu ahli lain yang banyak meneliti mengenai kepemimpinan menyatakan, bahwa kepemimpinan pada dasarnya merupakan pola hubungan antara individu-individu yang menggunakan wewenang dan pengaruhnya terhadap sekelompok orang agar bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu tujuan.

Dari dua definisi yang telah di- ajukan tersebut secara jelas menunjuk- kan bagaimana kepemimpinan ter- sebut diartikan, yaitu berkaitan usaha mempengaruhi dan menggunakan wewenang. Pengertian tersebut memberi suatu pemikiran, bahwa pemimpin dipandang sebagai orang yang memiliki kecakapan lebih dalam usaha untuk memotivasi orang melakukan sesuatu seperti yang diharapkan pemimpin.

Lebih detail lagi Yukl (1989) menjelaskan, bahwa pada dasarnya fokus perhatian dalam berbagai penelitian mengenai kepemimpinan adalah mencoba mendalami determinan-determinan kepemimpinan yang efektif. Para ahli perilaku telah berusaha untuk mengembangkan apa sifat, perilaku, sumber kekuasaan, atau aspek-aspek situasi yang menentukan bagaimana sebaiknya pemimpin dapat mempengaruhi pengikut dan agar mereka mencapai sasaran kelompok- nya. Jadi pada intinya, teori-teori ter- dahulu lebih meninjau kepemimpinan pada siapa yang memiliki keahlian untuk mempengaruhi dan dalam konteks di mana pengaruh itu diguna- kan. Perbedaannya terutama terletak pada ketidak setujuan mengenai identifikasi mengenai pemimpin dan proses kepemimpinan.

Lebih lanjut Yukl (1989) menguraikan, beberapa teori yang meyakini, bahwa kepemimpinan tidak berbeda pada proses sosial yang terjadi di antara semua anggota kelompok dan kepemimpinan di pandang sebagai proses kolektif yang terbagi di antara para anggotanya. Pandangan yang lain berpendapat, bahwa pada dasarnya semua anggota kelompok memiliki peran tertentu yang mencakup peran kepemimpinan khusus. Intinya bahwa pemimpin dan kepemimpinan tidak bisa hanya dipandang sebagai proses mem- pengaruhi dengan kekuasaan yang dimiliki tetapi yang terpenting adalah bagaimana pemimpin menjadi partner bagi anggotanya guna mencapai tujuan bersama. Jadi efektif tidaknya pemimpin tergantung pada bagaimana anggota dilibatkan dalam pencapai sasaran organisasi.

Salah satu teori mengenai kepemimpinan paling awal yaitu teori sifat yang memandang, bahwa seorang pemimpin adalah seseorang yang memiliki sifat-sifat yang tidak dimiliki oleh orang kebanyakan, yaitu: memiliki inteligensi yang tinggi, berkharisma, mampu membuat keputusan, antusias, memiliki kekuatan, berani, memiliki integritas, dan percaya diri. Banyak contoh mengenai pemimpin dengan karak- teristik demikian, antara lain: Mahatma Gandhi, Martin Luther, Jr., Joan of Arc, dsb. Namun pada kenyataannya, tidak semua pemimpin memiliki kesemua karakeristik ter- sebut, ada di antara mereka yang hanya memiliki beberapa dari karakteristik tersebut namun telah mampu menggerakkan banyak orang. Teori ini mendasarkan pemikiran, bahwa pemimpin itu dilahirkan.

Pandangan teori yang lebih baru memperkenalkan kepemimpinan situasional, yaitu keberhasilan kepemimpinan melibatkan sesuatu yang lebih kompleks dari hanya sekedar sifat-sifat tertentu atau perilaku-perilaku yang diinginkan. Hubungan antara gaya kepemimpinan dan efektivitas kepemimpinan ber- gantung pada sejumlah kondisi, satu gaya kepemimpinan hanya tepat diterapkan pada satu kondisi atau situasi tertentu (Robbins dan Coulter, 1996). Jadi dengan demikian seorang pemimpin harus memiliki kemampuan dan kepekaan membaca situasi sehingga ia tahu mana gaya yang paling tepat yang harus dia munculkan dalam situasi tersebut.

Crosby (1996) menyatakan, bahwa berdasar pada pengalaman pribadinya selama bertahun-tahun, kualitas kepemimpinan tidak hanya sekedar kemampuan untuk merespon secara efektif terhadap situasi tertentu, tetapi seorang pemimpin yang baik adalah seseorang yang diarahkan oleh kemutlakan tertentu (certain absolute). Crosby (1996) tidak membahas mengenai suatu gaya kepemimpinan tetentu, atau memberikan suatu resep bagi keberhasilan pemimpin, namun dia melihat praktek kepemimpinan sebagai suatu penjabaran dari keyakinan pemimpin yaitu suatu inti kompetensi personal yang tinggi yang sungguh-sungguh dimiliki oleh seorang pemimpin. Seorang pemimpin pada hakekatnya harus memegang teguh suatu gambaran besar dalam pikirannya baik yang berkaitan dengan budget dan finansial, kualitas produk, pelayanan, customers, peers, bosses, dan suppliers. Dia tidak pernah kehilangan perhatian terhadap kenyataan, bahwa kualitas kepemim- pinan tumbuh dan tercipta dari hubungan dengan orang lain dalam organisasi dan bahwa pemimpin harus meluangkan waktu untuk menjaga hubungan tersebut. Penekanan yang ada adalah menyentuh pada hubungan emosi tidak hanya pada rasio saja. Jadi kepemimpinan lebih menyentuh pada hati dan jiwa.

Pemimpin yang sesungguhnya adalah seseorang yang mengetahui, bahwa keberhasilannya tidak tergantung title-nya, tetapi pada pilihan yang mereka buat dan nilai-nilai yang mereka pegang teguh. Dalam hal ini Crosby (1996) membantu orang untuk membuat pilihannya secara bijaksana. Lebih lanjut Crosby (1996) mengartikan kepemimpinan adalah secara sengaja menunbuhkan tindakan dalam diri orang dalam suatu cara yang terencana yang bertujuan untuk memenuhi agenda pemimpin. Dari definisi ini terkandung pengertian, bahwa memilih orang secara berhati-hati dan mengarahkan mereka untuk mencapai tujuan yang ada dengan jelas dalam pikiran, mendorong orang untuk berusaha mencapai tujuan, mengarah- kan untuk peka terhadap segala yang terjadi serta mengambil sikap tertentu untuk mengantisipasinya, yang ter- akhir adalah bahwa pemimpin harus memiliki agenda yang jelas mengenai apa dan bagaimana kehendak mereka.

Kepemimpinan yang absolut menurut Crosby (1996) adalah kepemimpinan yang memiliki:
1. Agenda yang nyata, seorang pemimpin idealnya memiliki dua agenda: satu agenda bagi dirinya sendiri, dan yang kedua adalah agenda bagi organisasinya. Tujuan dari agenda organisasi adalah untuk menentukan kerangka kerja dari semua pekerjaan yang dilaku- kan; sedangkan personal agenda berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh pimpinan pribadi sesuai dengan apa yang memang sungguh-sungguh ia inginkan bagi dirinya sendiri, dan hanya dia pribadi yang mengetahui. Dalam hal ini agenda tersebut harus dapat diungkapkan dalam kalimat yang dapat dengan jelas diterima dan tujuan yang dtentukan dapat diukur.
2. Filosofi pribadi, seorang pemimpin hendaknya memiliki filosofi pelaksanaan yang bersifat pragmatis dan dapat dipahami. Kerangka kerja dari pelaksanaan filosofi tersebut diciptakan dari belajar, inovasi dan keputusan.
3. Hubungan abadi (enduring relationship), kehidupan organi- sasi pada dasarnya terdiri dari sejumlah transaksi dan hubungan. Kunci untuk menjaga suatu hubungan adalah adanya peng- hargaan terhadap orang lain, memandang orang lain dengan cara yang positif dan keinginan untuk bekerja sama. Orang lain dalam hal ini tidak hanya terbatas pada anggota-anggota saja tetapi termasuk di dalamnya customers, peers, coworkers, maupun suppliers.
4. Duniawi (Worldly), mendunia (being ‘worldly’) berkaitan dengan budaya selain, teknologi dan pengumpulan informasi. Hal ini berarti pula bagaimana pemimpin mampu memanfaatkan teknologi-teknologi baru, memahami pasar global, penghargaan terhadap orang lain, budaya, kondisi dan praktek-praktek bisnis yang ber- langsung. Berarti mengetahui apa yang sedang terjadi dan dapat mengumpulkan informasi yang bersifat up-to-date.

Dengan demikian jelaslah bagaimana pandangan Crosby (1996) mengenai kepemimpinan. Hal ini terutama dilandasi oleh adanya tantangan di masa yang akan datang yang menuntut adanya seorang pemimpin yang sungguh-sungguh me- miliki komitmen dan prinsip hidup yang tegas dan terarah.
Drucker (1996) menekankan, bahwa seorang pimpinan hendaknya dapat mengambil sikap dalam meng- hadapi dunia di masa yang akan datang. Menurut Drucker (1996) pemimpin yang efektif tidak hanya sekedar mendelegasikan tugas, tetapi juga dapat melakukan apa yang mereka delegasikan kepada anak buahnya. Lebih lanjut Drucker (1996) menegaskan, bahwa kepemimpinan harus dipelajari dan dapat dipelajari.

Bukunya merupakan kumpulan pandangan dan pengalaman dari ahli maupun praktisi yang bergerak dalam kehidupan organisasi, yang dengan pandangan masing-masing memberi urun suara untuk menghadapi kehidupan organisasi di masa yang akan datang. Dengan melihat per- cepatan akselerasi tekhnologi, kompe- tisi global, perubahan demografik telah menciptakan tipe organisasi baru yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.

Pendapat-pendapat di atas nampaknya telah mewadahi peran apa yang sebaiknya dibawakan oleh pemimpin. Pada dasarnya kepemim- pinan menuntut kapabilitas yang tinggi. Pemimpin dalam hal ini menentukan di mana bisnis hendak berlangsung, sasaran-sasaran yang hendak dicapai baik intenal maupun eksternal, aset dan skill yang diperlukan, kesempatan dan risiko-risiko yang dihadapi. Pemimpin dalam hal ini adalah ahli strategi yang memastikan, bahwa sasaran organisasi akan dapat tercapai. Dalam hal ini perubahan sosial, inovasi tekhnologi dan meningkatnya kompetisi merupa- kan tantangan yang harus dihadapi oleh setiap pemimpin. Oleh karena itu sangat dituntut, bahwa pemimpin hendaknya memiliki talenta yang tinggi (Watson, 1996).

Pada akhirnya hanya pemimpin-pemimpin yang memiliki komitmen yang jelas sehingga mampu menyelamatkan organisasi dari situasi yang kompleks. Pendapat mereka memberi sumbangan yang jelas mengenai bagaimana pemimpin seharusnya bertindak dalam setiap situasi yang dihadapi. Di atas kesemuanya itu, bahwa setiap pemimpin hendaknya tidak melupakan akar budaya yang mereka miliki. Dengan menggali budaya yang di- miliki setidak-tidaknya orang mengetahui kekuatan dan kelemahan yang mereka miliki sehingga mereka mengetahui sikap yang harus diambil, terutama jika situasi dan kondisi lingkungan sudah sedemikian gawat (crucial).


Budaya Organisasi

Masalah budaya organisasi (Organization Culture) akhir-akhir ini telah menjadi suatu tinjauan yang sangat menarik terlebih dalam kondisi kerja yang tidak menentu. Budaya organisasi kembali digali guna menggali kekuatan-kekuatan diri yang telah dimiliki namun cenderung diabaikan. Pada saat lingkungan eksternal dianggap kurang mampu mengatasi masalah yang timbul, maka orang kembali menengok kekuatan yang ada meskipun hal itu diyakini pula tidak dapat menyelesaikan masalah secara keseluruhan. Namun dengan menggali budaya/kultur yang ada, maka diharapkan dapat menggali kekuatan yang dimiliki.

Berikut ini akan dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan budaya, agar diperoleh suatu gambaran mengenai budaya dengan berbagai aspeknya teruama dalam konteks bagaimana budaya itu diinternalisasikan kepada para anggota-anggotanya sehingga dapat terwujud dalam pola perilaku sehari-hari.

Budaya dalam suatu organisasi pada hakekatnya mengarah pada perilaku-perilaku yang dianggap tepat, mengikat dan memotivasi setiap individu yang ada di dalamnya dan mengerahkan pada upaya mencari penyelesaian dalam situasi yang ambigu (Turner, 1994). Pengertian ini memberi dasar pemikiran, bahwa setiap individu yang terlibat di dalamnya akan bersama-sama berusaha menciptakan kondisi kerja yang ideal agar tercipta suasana yang mendukung bagi upaya pencapaian tujuan yang diharapkan.

Ada begitu banyak definisi mengenai budaya yang pada hakekat- nya tidak jauh berbeda antara satu ahli dengan ahli lainnya. Budaya oleh Robbins dan Coulter (1996) diartikan sebagai sistem atau pola-pola nilai, simbol, ritual, mitos, dan praktek-praktek yang terus berlanjut; meng- arahkan orang untuk berperilaku dan dalam upaya memecahkan masalah.

Lebih lanjut Deal dan Kennedy (1982) mengatakan, bahwa budaya pada hakekatnya merupakan pola yang terintegrasi dari perilaku manusia yang mencakup pikiran, ucapan, tindakan, artifak-artifak dan bergantung pada kapasitas manusia untuk belajar dan mentransmisikannya bagi keberhasilan generasi yang ada. Dari pengertian ini dapat ditangkap, bahwa budaya organisasi tidak bisa begitu saja ditangkap dan dilihat oleh orang luar, namun dapat dipahami dan dirasakan melalui perilaku-perilaku anggotanya serta nilai-nilai yang mereka anut.

Tanpa dapat dipungkiri, Deal dan Kennedy (1982) menambahkan, nilai pada hakekatnya merupakan inti dari suatu budaya. Ia merupakan esensi dari filosofi organisasi. Nilai memberikan suatu sense of common direction bagi semua anggotanya dan petunjuk bagi perilaku sehari-harinya. Semakin kuat nilai-nilai itu diinternalisasi, maka semakin kuat pula budaya mempengaruhi kehidupan mereka. Terkadang budaya itu sedemikian kuat dan kohesif, sehingga setiap orang tahu tujuan organisasi dan mereka mau bekerja untuk men- capainya.

Beberapa ahli menggunakan istilah culture dan climate secara bergantian, namun pada hakekatnya keduanya memiliki arti yang berbeda. Organizational climate memiliki pengertian mengenai apa yang dirasa dan diamati mengenai bagaimana organisasi menjalankan fungsinya; sedangkan organizational culture memiliki pengertian yang lebih mendalam, merupakan sebab utama bagi terciptanya gaya operasional organisasi (Schultz dan Schultz, 1994). Dari pengertian tersebut dapat dipahami, bahwa budaya organisasi mencakup aspek yang lebih luas dan lebih mendalam dan justru menjadi suatu dasar bagi terciptanya suatu iklim organisasi yang ideal.

Budaya pada hakekatnya merupakan pondasi bagi suatu organisasi. Jika pondasi yang dibuat tidak cukup kokoh, maka betapapun bagusnya suatu  bangunan, pondasi itu tidak akan cukup kokoh untuk menopangnya. Ada beberapa pendapat yang mengatakan bagaimana budaya itu seharusnya dibentuk. Dari berbagai pendapat tersebut yang tidak bisa dipungkiri adalah peran pimpinan.

Ada sejumlah tahapan bila suatu perusahaan ingin membentuk kultur- nya. Pertama-tama perusahaan tadi harus melihat ke depan mengenai apa visinya, kemudian sistem nilai apa yang dimiliki, selanjutnya bagaimana nilai-nilai itu diterapkan dalam organisasi itu sendiri, dan akhirnya melihat bagaimana sumber dayanya. Dalam hal ini Susanto (1997) berpendapat, bahwa budaya organisasi pertama-tama melalui seleksi, yaitu memperoleh anggota yang setidak-tidaknya memiliki nilai-nilai yang sama dengan budaya organisasi yang ada; manajemen atas, dalam hal ini manajemen atas mempunyai peran yang sangat besar dalam menanamkan nilai-nilai dan norma-norma melalui tindakan-tindakannya; sosialisasi, budaya yang ada hendaknya terus-menerus disosialisasi baik oleh anggota baru maupun anggota lama, prosesnya dapat berupa orientasi dan pelatihan melalui cerita-cerita tentang pendiri, ritual-ritual yang ada, simbol-simbol, dan sebagainya.

Lebih lanjut dikatakan, bahwa pendiri memiliki peran yang sangat besar, karena bagaimana visi dan misi organisasi yang bersangkutan tidak terlepas, tergantung pada bagaimana nilai-nilai pendiri tersebut. Pada akhirnya nilai-nilai tersebut harus diaktualisasikan dan menjadi nafas bagi organisasi yang ada. Schein (dalam Hesselbein, Goldsmith dan Beckhard, 1996) menambahkan, bahwa proses terjadinya budaya perusahaan (organisasi) melalui tiga cara: (1) para wirausahawan meng- ambil dan mempertahankan bawahan-bawahan (anggota-anggota) yang berpikir dan merasakan cara yang mereka lakukan, (2) mengindoktrinasi dan mensosialisasikan cara berpikir dan cara merasakan mereka, (3) perilaku mereka sendiri adalah model peran yang mendorong anggota untuk identifikasi dan internalisasi keyakinan, nilai-nilai, dan asumsi-asumsi mereka. Dengan demikian dapat dipahami bagaimana pemimpin memiliki pengaruh besar karena harus dapat bertindak sebagai model bagi terciptanya nilai-nilai yang ada.

Budaya yang dimiliki oleh suatu organisasi memiliki peran yang tidak kecil. Heskett dan Schlesinger (dalam Hesselbein, Goldsmith dan Beckhard, 1996) mengatakan, bahwa pemimpin turut berperan dalam menciptakan kondisi budaya yang menjamin penciptaan prestasi kerja. Hal ini disebabkan anggota dengan jelas mampu membaca apa yang dikehendaki dari mereka sehingga mengetahui dengan tepat apa yang harus dilakukan dan sadar dalam membawakan peran mereka.

Steere (dalam Hesselbein, Goldsmith dan Beckhard, 1996) berpendapat, bahwa budaya memiliki peran dalam memberi identifikasi dan prinsip-prinsip yang mengarahkan perilaku organisasi dan dalam membuat keputusan, mengembangkan suatu metode sehingga individu dapat menerima feedback atas prestasi mereka, menjaga sistem reward dan reinforcement yang diberlakukan dalam organisasi. Dengan demikian dapat dipahami bagaimana budaya mampu memberi suatu identitas dan arah bagi keberlangsungan hidup organisasi.


HASIL DAN PEMBAHASAN

Peran Pemimpin dalam Mewujud- kan Budaya Organisasi

Kondisi yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia terlihat pada betapa rentannya masyarakat terhadap ber- bagai macam isu yang menunjukkan betapa lemahnya kohesivitas yang ada dan betapa lemahnya peran pemimpin sebagai sumber inspirasi bagi kehidupan berbangsa. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang bersifat paternalistik, sehingga dalam hal ini peran pemimpin adalah sebagai bapak yang mengayomi dan membina anak buahnya. Figur inilah yang pada akhirnya menjadi panutan bagi seluruh anggotanya. Istilah ing ngarso sung tuladha nampaknya tepat guna menggambarkan bagaimana pola hubungan antara pimpinan dengan anak buah. Efek yang timbul adalah jika panutan ini hilang atau kabur fungsinya, maka yang timbul adalah kegelisahan karena orang menjadi kehilangan pegangannya.

Sejak awal ditegaskan bagai- mana peran pemimpin dalam men- ciptakan budaya yang kondusif dalam organisasinya. Konsep metafora budaya yang diperkenalkan oleh Morgan (1986) memberi sumbangan pemikiran bagaimana melihat organisasi dari pandangan perwujudan budaya (the view of enactment). Pan- dangan ini menekankan bagaimana seseorang membentuk dan menyusun realitas sosial yang ada dan menekankan peran aktif seseorang dalam menciptakan dunia yang diinginkan.

Pada akhirnya metafora budaya ini mendasari suatu konsep bagaimana budaya membentuk realitas yang terus berkelanjutan dalam suatu organisasi dan memberi dasar bagi terbentuknya perilaku anggota-anggotanya. Dalam hal ini peran pemimpin sangat besar karena dialah yang harus mensosialisasikan nilai-nilai yang ada atau menyatukan nilai-nilai yang berbeda peran didasari oleh kepentingan yang berbeda sehingga akan tercipta nilai-nilai yang dihayati bersama.

Mampu tidaknya seseorang tampil sebagai pemimpin tidak terlepas pada filsafat hidup yang dimiliki serta komitmen yang jelas terhadap orang lain. Hal ini sejak awal telah diantisipasi oleh Crosby (1996). Ia menekankan perlunya seorang pemimpin untuk memiliki agenda yang jelas yang menyangkut diri dan organisasi sehingga ia tahu kemana arah yang dituju. Agenda tersebut seyogyanya menyangkut tujuan jangka panjang dan strategi jangka pendek yang hendak dicapai dengan mengantisipasi kemungkinan-kemung- kinan yang terjadi jika situasi menjadi rancu dan ambigu. Justru dalam kondisi inilah akan nampak bagaimana peran pemimpin tersebut.

Hal di atas sesuai dengan pendapat Steere (dalam Hesselbein, Goldsmith, Beckhard, 1996), yang mengatakan, bahwa bagian terpenting dari tugas seorang pemimpin adalah bertanggung jawab dalam pem- bentukan dan pengembangan budaya perusahaan, yang dilakukan dengan jalan mengidentifikasi dan meng- komunikasikan nilai-nilai dan prinsip dasar yang memandu jalannya per- usahaan dan pembentukan keputusan organisasi, menetapkan perilaku yang menjadi contoh dari nilai-nilai dan prinsip organisasi dengan memberi teladan, serta menguasai budaya perusahaan secara keseluruhan, mengenal dengan baik segi positif dan negatifnya untuk memperkuat nilai-nilai pada hal-hal yang diharapkan oleh organisasi.

Oleh karena itu seorang pemimpin hendaknya memiliki visi yang jelas, wawasan yang luas, pandangan yang jernih terhadap situasi yang dihadapi, dengan demikian ia dapat membuat suatu keputusan yang didasari oleh keinginan untuk mencapai kesejahteraan bersama. Dengan visi yang jelas, ia dapat mem- pengaruhi orang lain agar dapat memaksimalkan pengembangan pribadi dan organisasi. Kesemua ini tidak terlepas dari personal mastering yang dimiliki oleh seorang pemimpin yang akan tercantum dengan jelas dalam agenda pribadinya (Steere dan  Pinchot dalam Hesselbein, Goldsmith dan Beckhard, 1996).

Pimpinan yang dapat menjadi pemimpin adalah seseorang yang memiliki filosofi pribadi (personal philosophy) yang teguh, tidak akan mudah terpengaruh oleh situasi yang ada di sekitarnya. Meskipun lingkungannya berubah demikian cepat, namun ia tetap punya komitmen dan konsisten tanpa kehilangan arah yang hendak dituju. Personal philisophy ini tidak begitu saja dimiliki oleh seorang pemimpin, namun tumbuh melalui proses belajar, memiliki kemauan melakukan inovasi, dan paling akhir adalah keberanian untuk mengambil keputusan yang didasari oleh kedua hal di atas. Hal-hal tersebut hanya dapat dilaksanakan jika ia memiliki kesabaran, konsisten terhadap prinsip-prinsip yang dimiliki, serta memiliki motivasi intrinsik (Crosby, 1996). Dengan falsafah hidup inilah, maka anggota-anggota akan dapat menilai kekuatan karakter yang dimiliki pemimpinnya sehingga mereka tidak akan segan-segan mengikuti pemimpinnya.

Pendapat di atas diteguhkan oleh Pinchot, dan kawan-kawan (dalam Hesselbein, Goldsmith dan Beckhard, 1996) yang mengatakan, bahwa seorang pemimpin hendaknya memiliki kepribadian yang menonjol, komitmen yang jelas, berbobot dalam skala efektivitas: tidak mengenal lelah, kreatif, kredibilitas, ketenangan, kompetensi, kepedulian, karakter, harga diri, semangat serta integritas yang tinggi. Kompetensi-kompetensi tersebut sangat penting mengingat hal mendasar yang melekat dalam peran pemimpin adalah dirinya sebagai arsitek budaya, tanggung jawabnya terhadap budaya yang tidak dapat didelegasikan kepada orang lain. Oleh karena itu seberapa besar nilai-nilai yang pada akhirnya tercipta pada budaya yang dimiliki organisasi akan diinternalisasi oleh anggota-anggota- nya dan terwujud dalam kehidupan organisasi. Dengan dasar inilah maka organisasi akan tetap hidup meskipun lingkungan berubah karena budaya menjadi pondasi bagi bangunan organisasi.

Kehidupan organisasi tidak terlepas dari interaksi antara satu orang dengan orang lain. Interaksi tersebut tidak hanya terbatas pada anggota dengan anggota, anggota dengan pimpinan, tetapi dalam arti luas interaksi tersebut melibatkan orang-orang dengan siapa organisasi melakukan transaksinya yaitu dengan klien atau customer, supplier, peers, dan sebagainya. Interaksi tersebut tentu saja tidak akan berlangsung lama jika tidak didasari oleh adanya penghargaan antara satu dengan yang lainnya. Seberapa besar nilai-nilai pelayanan dan sikap positif mendasari para anggotanya akan terbaca dalam konteks hubungan yang terjalin. Dalam hal inilah pemimpin menjadi suatu model bagi para anggotanya. Bagaimana ia bersikap tehadap orang lain, tidak hanya sekedar sebagai pimpinan yang memberi perintah tetapi yang terpenting adalah kemampuannya untuk menjalin secara harmonis dengan tidak hanya mengandalkan rasio semata tetapi mampu menempatkan emosi pada tempat yang semestinya (Crosby, 1996).

Agar hubungan yang terjalin tetap terjaga dengan harmonis, Weber  memberikan suatu saran yaitu, bahwa pemimpin harus memberi peluang yang lebih banyak bagi orang lain untuk mencoba dan melakukan sendiri tanggung jawabnya. Ia juga harus memberi dorongan dan semangat sehingga terbangkit motivasinya, menegakkan kerjasama dan melaku- kan pemberdayaan pada orang lain. Bolt berpendapat, bahwa pemimpin perlu mengembangkan tiga dimensi kepemim- pinan yaitu dimensi bisnis, kepemimpinan dan personal. Ketiga-tiganya memiliki kaitan yang sangat erat. Salah satu dimensi tersebut yaitu personal, seorang pemimpin diharap- kan memiliki kemampuan self-empowered dan integration of work and life yang berarti ia harus selalu memperhatikan baik kehidupan pribadi dan kehidupan kerjanya sehingga diperoleh keseimbangan kerja dan sosial (Hesselbein, Goldsmith dan Beckhard, 1996)

Di samping ketiga point di atas perlu dimiliki oleh seorang pemimpin, maka yang tak kalah pentingnya adalah, bahwa pemimpin harus globalisasi (being worldly), dengan kata lain pemimpin dapat memanfaat- kan pengembangan tekhnologi baru, memahami budaya yang ada dan budaya yang lain, serta selalu tidak pernah berhenti untuk mengumpulkan informasi-informasi yang penting (Crosby, 1996). Hal ini berarti pula, bahwa pemimpin diharapkan memiliki orientasi ke masa depan, mengingat masa depan memiliki kompleksitasnya sendiri yang terkadang justru tak terbayangkan sebelumnya (Bornstein, dalam Hesselbein, Goldsmith, dan Beckhard, 1996). Di atas semua itu, pada dasarnya yang sangat dituntut pada diri seorang pemimpin adalah self-leadership (Leider, dalam Hesselbein, Goldsmith dan Beckhard, 1996). Lebih lanjut dikatakan, bahwa tanpa self-leadership tidak mungkin seorang pemimpin dapat memimpin orang lain. Seorang pemimpin diharapkan dapat menjadi model peran bagi anggotanya karena tanpa dapat dipungkiri dialah yang meng- koordinasi orang lain agar bersama-sama mencapai tujuan bersama. Landasan utama bagi nilai-nilai kebersamaan itu adalah kepercayaan penuh kepada pemimpin. Ketika kepercayaan itu menipis atau bahkan hilang sama sekali, maka yang timbul adalah keresahan dan pada akhirnya akan timbul kekacauan.

Pada dasarnya seorang pemimpin menurut Myers (1983) adalah seseorang yang berfungsi mem- bantu mendefinisikan dan mencapai tujuan kelompok, dalam hal ini pemimpin membuat kebijakan dan merumuskan tujuan; memantapkan kelompok terutama ketika timbul ketegangan, dalam hal ini andil pemimpin sangat besar dalam upaya mengurangi adanya perbedaan dan mengajak kelompok bekerja sama; memberikan simbol identifikasi, dalam hal ini pemimpin bertindak sebagi simbol sehingga kelompok dapat dimantapkan dalam suatu kesatuan. Berdasar pada hal itu, maka cukup jelas bagaimana sebenarnya peran pemimpin dalam penciptaan stabilitas sistem sosial. Ketika terjadi krisis nilai-nilai kebersamaan, maka pemimpin diharapkan mampu meng- ambil sikap sehingga arah tujuan yang hendak dicapai akan dapat kembali diluruskan.

Fenomena yang sedang berlangsung di Indonesia akibat goncangan terhadap nilai mata uang rupiah kini tidak lagi dipandang sekedar masalah moneter, namun ternyata lebih dalam dari hal itu. Krisis kepercayaan yang terjadi menunjukkan betapa masyarakat mengalami suatu krisis dan hal ini membawa dampak yang sangat luas. Rentannya masyarakat terhadap isu-isu yang beredar menunjukkan, bahwa masyarakat membutuhkan satu pegangan ketika krisis terjadi. Dalam hal ini perlu dipertanyakan kembali adakah nilai-nilai berbagi keber- samaan (shared meaning) telah sungguh-sungguh diinternalisasi oleh anggota-anggotanya, adakah pemimpin telah sungguh-sungguh menjadikan dirinya sebagai model bagi proses belajar anggotanya, adakah budaya yang ada sungguh-sungguh terwujud dalam pola perilaku anggota-anggotanya. Pertanyaan-per- tanyaan hendaknya perlu direnungkan kembali ketika kepercayaan telah sedemikian rendah.

Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa ada hubungan yang sangat vital antara budaya dan kepemimpinan. Keberhasilan seorang pemimpin justru akan dilihat dalam pengaruh mereka secara langsung terhadap budaya organisasi. Pada dasarnya pemimpin berperan dalam pembentukan budaya, budaya mem- bantu membentuk anggota-anggotanya (Turner, 1994). Perwujudan budaya hanya akan dapat dilihat lebih dekat melalui perilaku-perilaku para anggota serta semangat yang mendorongnya.

Pada akhirnya disadari, bahwa pemimpin hendaknya memiliki suatu komitmen yang jelas, baik komitmen pada diri pribadi maupun komitmen terhadap organisasi. Jika nilai-nilai yang dimiliki adalah nilai-nilai keber- samaan dan kesejahteraan bersama, maka hal itu akan sungguh-sunguh terlihat pada spirit yang ada pada anggotanya. Ketika peran ini diabaikan, tidak akan heran jika keberadaan organisasi akan hancur karena justru orang cenderung meninggalkan budaya kebangsaan yang dimiliki serta justru memakai budaya negara lain yang menurutnya dianggap lebih baik. Dalam situasi yang demikian, refleksi dan introspeksi perlu dilakukan semua pihak dan keberanian mengakui kekurangan adalah tindakan bijaksana sehingga dapat dipastikan anggota akan kembali timbul kepercayaan. Justru ketika pemimpin mau menyadari kelemahannya, maka pada saat itu dukungan dari anggota akan muncul karena pada dasarnya masyarakat Indonesia adalah masyarakat pemaaf yang mudah melupakan suatu kesalahan.


KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari hasil dan pembahasan di atas dapat disimpulkan, bahwa:
1. Pemimpin adalah sekelompok kecil orang yang terpilih dari berjuta orang karena potensi dan kemampuan yang mereka miliki. Tanpa dapat dipungkiri peran ini membawa sejumlah tantangan yang harus diatasi karena di pundak mereka tujuan kelompok diletakkan. Meskipun demikian keberhasilan dan kegagalan organisasi tidak semata-mata tergantung pada pemimpin, dalam hal ini partisipasi dan keinginan berkorban dari anggota memiliki andil yang tidak sedikit.
2. Suatu organisasi hanya akan dapat berjalan sejauh nilai-nilai keber- samaan yang dimiliki sungguh-sungguh diinternalisasi dan budaya yang menjadi pondasi bagi keberlangsungan hidup organisasi benar-benar mempengaruhi setiap tindakan anggota. Dalam hal ini peran pemimpin tidak kecil dalam mensosialisasikan budaya yang dimiliki. Sejauh budaya tersebut tidak terlalu melenceng dari nilai-nilai yang dimiliki, maka proses perwujudan tidak akan berjalan begitu sulit.
3. Perwujudan budaya bukanlah proses yang pasif. Namun ia melibatkan peran proaktif dari orang-orang yang terkait. Hal ini memiliki arti, bahwa orang dengan sadar menerima budaya yang ada dan menjadi suatu dasar bagi perilaku kesehariannya.
4. Kuat lemahnya suatu budaya dalam organisasi akan terlihat pada sejauhmana oganisasi mampu bertahan dalam situasi yang sulit. Di samping itu, kuat lemahnya budaya organisasi juga terletak pada sejauhmana anggota meletak- kan kepercayaannya pada pemimpin mereka. Ketika dalam situasi yang turbulance, kepercayaan anggota lemah, maka hal itu merupakan indikasi, bahwa peran pemimpin dipertanyakan dan budaya yang diinternalisasi mengalami suatu tantangan.
5. Dengan demikian dapat dipahami bagaimana sebenarnya peran pemimpin seharusnya. Kini yang terpenting dalam melihat teori-teori kepemimpin tidak lagi didasarkan pada gaya pemimpin semata-mata, namun yang ter- penting adalah mampukah pemimpin menggunakan emosinya dan tidak semata-mata mengandal- kan rasio karena hal ini berarti dengan komitmen yang tinggi didasarkan pada hati nurani, pemimpin menjalankan perannya.

Saran
Dari uraian di atas dapat disarankan:
1. Agar pemimpin hendaknya memiliki suatu komitmen yang jelas, baik komitmen pada diri pribadi maupun komitmen ter- hadap organisasi. Jika nilai-nilai yang dimiliki adalah nilai-nilai kebersamaan dan kesejahteraan bersama, maka hal itu akan sungguh-sungguh terlihat pada spirit yang ada pada anggotanya.
2. Agar organisasi tetap selalu ber- jalan dengan baik, perlu dilakukan refleksi dan introspeksi oleh semua pihak dan keberanian mengakui kekurangan adalah tindakan bijaksana sehingga dapat dipasti- kan semua anggota akan kembali penuh kepercayaan.


DAFTAR PUSTAKA

Crosby, P., (1996). The Absolutes of Leadership, Jossey-Bass Pub., San Francisco.
Deal, T. dan Kennedy, A. (1982), Corporate Cultures: The Rites and Rituals of Corporate Life, Addison-Wesley Pub.Co.
Drucker, P.T., (1996). Foreward. The Leader of The Future, The Drucker Foundation, New York.
Fiedler, F.E., (1967). A Theory of Leadership Effectiveness, Mc Graw-Hill, New York.
Hesselbein, F., Goldsmith, M. dan Beckhard, R., (1996). The Leader of The Future, The Drucker Foundation, New York.
Morgan, G., (1986). Images of Organization. Sage Publ., Beverly Hills.
Robbins, S.P., dan Coulter, M.,(1996). Management (ed.), Prentice Hall. Inc., New Jersey.
Stogdill, R.M., (1974). Handbook of Leadership. A Survey of Theory and Research, The Free Press, New York.
Schultz, D. & Schultz, S., (1994), Theories of Personality. (5th.ed) CA Brooks/Cole, Pacific Grove.
Susanto, A.B., (1997). Budaya Perusahaan, PT.Elex Media Komputindo, Jakarta
Turner, C.H., (1994). Corporate Culture: How to Generate Organisational Strength and Lasting Commercial Advantage, Piatkus, London.
Watson, C.M., (1996). Dynamics of Leadership, Jaico Publ. House, Bombay.
Yukl, G. (1989). Managerial Leadership: A Review and Research, Journal of Management, 15(2), 251-289.