Oleh:
Lisdawati Wahjudin
Program Studi D-3 Kepolisian FISIP UNLA
Email: lisda27@yahoo.co.id
ABSTRAK
Modal sosial sebagai jaringan dan nilai-nilai sosial yang dapat memfasilitasi individu dan komunitas untuk mencapai tujuan bersama secara efektif dan efisien. Sebagai suatu istilah dari berbagai ahli agak keberatan menggunakan ‘modal’ pada ‘modal sosial’. Alasannya karena istilah modal lebih
banyak digunakan untuk pengertian ekonomi yang merupakan pertukaran sosial secara tradisional. Dengan kata lain modal dapat digunakan untuk mendeskripsikan ketersediaan sumber daya baik yang terukur maupun yang tidak terukur. Dihubungkan dengan kemiskinan yang merupakan suatu kondisi sosial yang dapat menyebabkan lemahnya fisik dan mental manusia yang berdampak negatif terhadap lingkungan pembangunan di negara-negara sedang berkembang. Kemiskinan juga menyebabkan ketakberdayaan sekelompok masyarakat. Modal sosial selain bersifat inklusif, namun juga bisa menjadi eksklusif pada level tertentu. Sehingga menjadi barrier bagi anggota masyarakat di luar kelompoknya untuk bisa bergabung dan berpartisipasi. Banyak manfaat dari keberadaan modal sosial dalam masyarakat. Eksistensi modal sosial memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan pemerintah dan penyelenggaraan pemerintahan.
Kata kunci: modal sosial, kemiskinan di Indonesia.
ABSTRACT
Social capital as networks and social values that can facilitate individuals and communities to achieve common goals effectively and efficiently. As a term of various experts rather mind using 'capital' in 'social capital'. The reason is because capital is more widely used term for the economic sense, which is traditionally social exchanges. In other words, capital can be used to describe the availability of good resources are measurable or not measurable. Associated with poverty is a social condition that can lead to poor physical and mental human development impact negatively on the environment in developing countries. Poverty also leads a group of community powerlessness. Social capital in addition to be inclusive, but can also be exclusive to a certain level. So it becomes barrier for people outside their group members to join and participate bsa. Many of the benefits from the existence of social capital in society. The existence of social capital influence on economic growth, education, health, welfare government and governance.
Key words: social capital, poverty in Indonesia.
PENDAHULUAN
Konsep Modal Sosial
Modal sosial adalah salah satu konsep baru yang digunakan untuk mengukur kualitas hubungan dalam komunitas, organisasi, dan masyarakat. Menurut Putnam modal sosial adalah “complexly conceptualized as the network of associations, activities, or relations that bind people together as a community via certain norms and psychological capacities, notably trust, which are essential for civil society and productive of future collective action or goods, in the manner of other forms of capital”.
Putnam (1993, 1996, 2000) menyatakan bahwa modal sosial mengacu pada esensi dari organisasi sosial, seperti trust, norma dan jaringan sosial yang memungkinkan pelaksanaan kegiatan lebih terkoordinasi, dan anggota masyarakat dapat berpartisipasi dan bekerjasama secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan bersama, dan mempengaruhi produktifitas secara individual maupun berkelompok.
Sependapat dengan Putnam, Bourdieu (1988) menyatakan bahwa “social capital is the aggregate of the actual or potential resources which are linked to possession of a durable network of more or less institutionalized relationships of mutual acquaintance recognition – or in other words, to a membership in a group --- which provides each of its members with the backing of the collectivity – owned capital”.
Fukuyama (1999) menambahkan norma-norma informal dapat men- dorong kerjasama antara dua atau beberapa orang. Norma-norma yang mengandung modal sosial memiliki ruang lingkup yang cukup luas, mulai dari nilai-nilai resiprokal antara teman, sampai dengan yang sangat kompleks dan mengandung nilai-nilai keagamaan.
Berdasarkan definisi tersebut, modal sosial dapat disimpulkan sebagai jaringan dan nilai-nilai sosial yang dapat memfasilitasi individu dan komunitas untuk mencapai tujuan bersama secara efektif dan efisien. Sebagai suatu istilah, beberapa ahli agak keberatan untuk menggunakan istilah “modal” pada konsep “modal sosial”. Alasannya, karena istilah “modal” lebih banyak digunakan untuk pengertian ekonomis, yang menandai pertukaran sosial secara transaksional. Namun, bentuk modal sosial tidak selalu melibatkan pertukaran materiil (Bourdieau, 1986; Kawachi dan Berkman, 2005; Coleman, 1988). Bourdieu menyatakan bahwa: The structure and distribution of the different types and subtypes of capital at a given moment in time represents that immanent structure of the social world, i.e., the set constraints, inscribed in the very reality of the world, which govern its functioning in a durable way, determining the chances of success for practices. Economic theory has allowed to be foisted upon it a definition of the economy practices which is the historical invention of capitalism (1986:242)
Dengan kata lain, “modal” dapat digunakan untuk mendeskripsikan ketersediaan sumberdaya, baik yang terukur maupun tidak terukur, baik yang konkret maupun yang abstrak. Hal ini berarti bahwa modal sosial merupakan salahsatu jenis modal. Seperti juga bentuk-bentuk modal lainnya, modal sosial bersifat produktif, yang membuatnya memungkinkan untuk mencapai tujuan tertentu. Misalnya, suatu kelompok yang memiliki kepercayaan yang sangat kuat di kalangan para anggotanya akan dapat mencapai lebih banyak tujuan dibanding kelompok lain yang kurang memiliki kepercayaan di antara para anggotanya.
Modal sosial diukur atas dasar (1) generalized trust, (2) norms, (3) reciprocity, dan (4) networks. Generalized trust adalah inti dari modal social. Generalized trust merupakan indikasi dari potensi kesiapan masyarakat untuk bekerjasama satu sama lain. Kerjasama ini melampaui batasan kekeluargaan dan pertemanan serta batasan persamaan. Dalam arena sosial, generalized trust mempermudah kehidupan dalam masyarakat yang beragam, mendorong perilaku toleransi, dan menerima perbedaan. Sehingga hidup menjadi lebih mudah, lebih bahagia, dan lebih nyaman dengan keberadaan generalized trust dalam masyarakat yang heterogen. Pendapat Putnam, Rothstein dan Stolle diperkuat dengan pendapat Uslaner yang menyatakan bahwa “Trust in other people is a key factor in many forms of participation. As trust in others falls, so does participation in civic activities” (1999:131).
Norma-norma, kepercayaan antar- personal, jejaring sosial, dan organisasi sosial sebagai bentuk modal sosial sangatlah penting tidak hanya bagi masyarakat tapi juga bagi pertumbuhan ekonomi (Coleman, 1988:S96). Sejumlah penelitian yang dilakukan Ben Porath (1980), Oliver Williamson (1975, 1981), Baker (1983) dan Granovetter (1985) (dalam Coleman) mendukung pernyataan Coleman tersebut, bahwa keterkaitan antar-organisasi sosial akan mempengaruhi berfungsinya aktivitas ekonomi.
Trust adalah komponen utama dalam modal sosial, trust memainkan peran penting dalam segala bentuk kegiatan kewarganegaraan serta nilai-nilai moralitas yang mengatur perilaku masyarakat. Dari hasil penelitian Helliwell (2002), Uslaner (2002), Delhey dan Newton (2003) (dalam Rothstein and Uslaner, 2005) pada level mikro, diketahui bahwa pada umumnya orang-orang mempercayai orang-orang lainnya disekitar mereka, dan juga (i) memiliki penilaian yang cukup positif mengenai lembaga-lembaga demokrasi dan pemerintahan, (ii) lebih ber- partisipasi dalam politik dan dan terlibat aktif pada lembaga-lembaga kemasyara- katan, (iii) lebih banyak menyumbang untuk kegiatan sosial, (iv) lebih toleran kepada minoritas dan orang-orang yang tidak menyukai mereka, (v) lebih optimistik dalam memandang kehidupan, dan (vi) lebih bahagia dengan kehidupannya.
Dari hasil penelitian Putnam (1993), Zak dan Knack (2001), Rothstein dan Stolle (2003) (dalam Rothstein and Uslaner, 2005) pada level meso, diketahui bahwa orang-orang yang memiliki trust, juga memiliki pekerjaan yang lebih baik dalam lembaga-lembaga politik dan pemerin- tahan, lebih sejahtera dan jarang melakukan kejahatan dan korupsi. Halpern mencatat setidaknya ada sembilan cabang keilmuan yang meng- gunakan konsep modal sosial dalam pengembangan keilmuannya, diantara- nya yaitu masalah keluarga dan perilaku remaja, sekolah dan pendidikan, kehidupan komunitas, lingkungan kerja dan organisasi, demokrasi dan pemerin- tahan, pembangunan ekonomi, krimino- logi, dan kesehatan publik .
Dari hasil penelitian Putnam (1993) diketahui bahwa perkumpulan arisan tersebar luas di Asia Tenggara. Arisan merupakan salah satu prediktor dari keberadaan trust dalam suatu komunitas. Namun demikian, keberadaan trust dapat mengalami keruntuhan yang disebabkan oleh kemiskinan, rejim otoriter, korupsi, ketidakadilan ekonomi dan kesempatan.
Woolcock (1998) mengajukan tiga dimensi dari modal sosial, yaitu: bonding, bridging dan linking. Menurut Woolcock (2002:62):
(1) Modal sosial yang bersifat mengikat (bonding social capital) merujuk pada hubungan antarindividu yang berada dalam kelompok primer atau lingkungan ketetanggaan yang saling berdekatan. Komunitas-komunitas yang menunjukkan kohesi internal yang kuat akan lebih mudah dan lancar dalam berbagi pengetahuan.
(2) Modal sosial yang bersifat menjembatani (bridging social capital) adalah hubungan yang terjalin di antara orang-orang yang berbeda, termasuk pula orang-orang dari komunitas, budaya, atau latar belakang sosial-ekonomi yang berbeda. Individu-individu dalam komunitas yang mencerminkan dimensi modal sosial yang bersifat menjembatani akan mudah meng- umpulkan informasi dan pengeta- huan dari lingkungan luar komunitas nya dan tetap memperoleh informasi yang aktual dari luar kelompoknya. Tipe modal sosial ini menunjuk pada hubungan antar individu yang memiliki kekuasaan atau akses pada bisnis dan hubungan sosial melalui kelompok-kelompok sekunder.
(3) Modal sosial yang bersifat mengaitkan (linking social capital) memungkinkan individu-individu untuk menggali dan mengelola sumber-sumberdaya, ide, informasi, dan pengetahuan dalam suatu komunitas atau kelompok pada level pembentukan dan partisipasi dalam organisasi formal.
Konsep Kemiskinan
Konsep tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekedar ketakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Menurut Soekanto (2000:406) kemiskinan adalah sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup untuk memelihara dirinya sendiri yang sesuai dengan taraf hidup kelompoknya dan juga tidak mampu untuk memanfaatkan tenaga, mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut.
Menurut Kartasasmita (1996:234) kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang ditandai oleh pengangguran dan keterbelakangan, yang kemudian meningkat menjadi ketimpangan. Masyarakat miskin umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatasnya akses kepada kegiatan ekonomi sehingga tertinggal jauh dari masyarakat lainnya yang mempunyai potensi lebih tinggi.
Masih menurut Kartasasmita (1996:235) mengutarakan sejumlah per- bedaan tentang kemiskinan di suatu daerah berdasarkan pola waktu diantara nya sebagai berikut:
1. Persistent poverty, yaitu kemiskinan yang telah kronis atau turun temurun. Daerah seperti ini pada umumnya merupakan daerah-daerah yang kritis sumber daya alamnya, atau daerahnya yang terisolasi.
2. Cyclical poverty, kemiskinan yang mengikuti pola siklus ekonomi secara keseluruhan.
3. Seasonal poverty, kemiskinan musiman seperti sering dijumpai pada kasus nelayan dan pertanian tanaman pangan.
4. Accidental poverty, yaitu kemis- kinan karena terjadinya bencana alam atau dampak dari suatu kebijaksanaan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat
Selain berdasarkan pola waktu, Kartasasmita (1996:235) mengutarakan kemiskinan berdasarkan tingkat pen- dapatan diantaranya sebagai berikut:
1. Kemiskinan absolut, yaitu seseorang dikatakan miskin secara absolut apabila tingkat pendapatannya lebih rendah daripada garis kemiskinan absolut atau dengan kata lain jumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum yang dicerminkan oleh garis kemiskinan absolut. Kriteria yang digunakan untuk mengukur garis kemiskinan tersebut adalah pengeluaran minimum yang diperlu- kan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan penge- luaran untuk makanan setara 2.100 kalori perkapita per hari ditambah pengeluaran untuk kebutuhan non-makanan yang meliputi perumahan, berbagai barang dan jasa, pakaian dan barang tahan lama.
2. Kemiskinan relatif, yaitu keadaan perbandingan antara kelompok pendapatan dalam masyarakat, yaitu antara kelompok yang mungkin tidak miskin karena mempunyai tingkat pendapatan yang lebih tinggi daripada garis kemiskinan dan kelompok masyarakat yang relatif lebih kaya.
Dari ketiga pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kemiskinan adalah suatu kondisi sosial yang dapat menyebabkan lemahnya fisik dan mental manusia yang tentunya berdampak negatif terhadap lingkungan pembangunan di negara yang sedang berkembang.
Ada pula pendapat yang mengata- kan bahwa kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan dalam suatu masyarakat atau yang mengatakan bahwa kemiskinan merupa- kan ketidakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh suatu pemerintahan sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi (kemiskinan struktural). Tetapi pada umumnya, ketika orang berbicara tentang kemiskinan, yang dimaksud adalah kemiskinan material. Dengan pengertian ini, maka seseorang masuk dalam kategori miskin apabila tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak. Ini yang sering disebut dengan kemiskinan konsumsi. Memang definisi ini sangat bermanfaat untuk mempermudah membuat indikator orang miskin, tetapi defenisi ini sangat kurang memadai karena; (1) tidak cukup untuk memahami realitas kemiskinan; (2) dapat menjerumuskan ke kesimpulan yang salah bahwa me- nanggulangi kemiskinan cukup hanya dengan menyediakan bahan makanan yang memadai; (3) tidak bermanfaat bagi pengambil keputusan ketika harus merumuskan kebijakan lintas sektor, bahkan bisa kontraproduktif.
Bappenas (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak-hak dasar masyarakat miskin ini, Bappenas menggunakan beberapa pen- dekatan utama antara lain; pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemam- puan dasar (human capability approach) dan pendekatan objective and subjective.
Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset, dan alat-alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pen- dapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara rigid standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Pendekatan kemam- puan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutup nya kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejah- teraan (the welfare approach) menekan- kan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan. Pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pen- dapat atau pandangan orang miskin sendiri (Stepanek, (ed), 1985).
Dari pendekatan-pendekatan ter- sebut, indikator utama kemiskinan dapat dilihat dari; (1) kurangnya pangan, sandang dan perumahan yang tidak layak; (2) terbatasnya kepemilikan tanah dan alat-alat produktif; (3) kurangnya kemampuan membaca dan menulis; (4) kurangnya jaminan dan kesejahteraan hidup; (5) kerentanan dan keterpurukan dalam bidang sosial dan ekonomi; (6) ketakberdayaan atau daya tawar yang rendah; (7) akses terhadap ilmu pengetahuan yang terbatas; (8) dan sebagainya. Indikator-indikator tersbut dipertegas dengan rumusan yang konkrit yang dibuat oleh Bappenas berikut ini:
1. Terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, dilihat dari stok pangan yang terbatas, rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak balita dan ibu. Sekitar 20 persen penduduk dengan tingkat pen- dapatan terendah hanya meng- konsumsi 1.571 kkal per hari. Kekurangan asupan kalori, yaitu kurang dari 2.100 kkal per hari, masih dialami oleh 60 persen penduduk berpenghasilan terendah (BPS, 2004);
2. Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan disebabkan oleh kesulitan mandapatkan layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi; jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh, biaya perawatan dan pengobatan yang mahal. Di sisi lain, utilisasi rumah sakit masih didominasi oleh golongan mampu, sedang masya- rakat miskin cenderung memanfaat- kan pelayanan di PUSKESMAS. Demikian juga persalinan oleh tenaga kesehatan pada penduduk miskin, hanya sebesar 39,1 persen dibanding 82,3 persen pada penduduk kaya. Asuransi kesehatan sebagai suatu bentuk sistem jaminan sosial hanya menjangkau 18,74 persen (2001) penduduk, dan hanya sebagian kecil di antaranya penduduk miskin;
3. Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan yang disebabkan oleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas, biaya pendidikan yang mahal, kesempatan mem- peroleh pendidikan yang terbatas, tingginya beban biaya pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung;
4. Terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan seperti buruh migran perempuan dan pembantu rumahtangga;
5. Terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi. Masyarakat miskin yang tinggal di kawasan nelayan, pinggiran hutan, dan pertanian lahan kering kesulitan memperoleh perumahan dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak. Dalam satu rumah seringkali dijumpai lebih dari satu keluarga dengan fasilitas sanitasi yang kurang memadai;
6. Terbatasnya akses terhadap air bersih. Kesulitan untuk mendapat- kan air bersih terutama disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber air dan menurunnya mutu sumber air;
7. Lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah. Masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidak- pastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan rumah tangga petani sangat dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan mobilisasi anggota keluargannya untuk bekerja di atas tanah pertanian;
8. Memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam. Masyarakat miskin yang tinggal di daerah perdesaan, kawasan pesisir, daerah pertambangan dan daerah pinggiran hutan sangat tergantung pada sumberdaya alam sebagai sumber penghasilan;
9. Lemahnya jaminan rasa aman. Data yang dihimpun UNSFIR meng- gambarkan bahwa dalam waktu 3 tahun (1997-2000) telah terjadi 3.600 konflik dengan korban 10.700 orang, dan lebih dari 1 juta jiwa menjadi pengungsi. Meskipun jumlah pengungsi cenderung menurun, tetapi pada tahun 2001 diperkirakan masih ada lebih dari 850.000 pengungsi di berbagai daerah konflik;
10. Lemahnya partisipasi. Berbagai kasus penggusuran perkotaan, pemutusan hubungan kerja secara sepihak, dan pengusiran petani dari wilayah garapan menunjukkan kurangnya dialog dan lemahnya pertisipasi mereka dalam pengambilan keputusan. Rendahnya partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan juga disebab- kan oleh kurangnya informasi baik mengenai kebijakan yang akan dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang memungkinkan keterlibatan mereka;
11. Besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tang- gungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi. Menurut data BPS, rumahtangga miskin mem- punyai rata-rata anggota keluarga lebih besar daripada rumahtangga tidak miskin. Rumahtangga miskin di perkotaan rata rata mempunyai anggota 5,1 orang, sedangkan rata-rata anggota rumahtangga miskin di perdesaan adalah 4,8 orang.
Dari berbagai definisi tersebut di atas, maka indikator utama kemiiskinan adalah; (1) terbatasnya kecukupan dan mutu pangan; (2) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan; (3) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan; (4) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha; (5) lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah; (6) terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi; (7) terbatasnya akses terhadap air bersih; (8) lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah; (9) memburuknya kondisi ling- kungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam; (10) lemahnya jaminan rasa aman; (11) lemahnya partisipasi; (12) besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga; (13) tata kelola pemerintahan yang buruk yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan publik, meluasnya korupsi dan rendahnya jaminan sosial terhadap masyarakat.
Kenyataan menunjukkan bahwa kemiskinan tidak bisa didefinisikan dengan sangat sederhana, karena tidak hanya berhubungan dengan kemampuan memenuhi kebutuhan material, tetapi juga sangat berkaitan dengan dimensi kehidupan manusia yang lain. Karenanya, kemiskinan hanya dapat ditanggulangi apabila dimensi-dimensi lain itu diperhitungkan. Menurut Bank Dunia (2003), penyebab dasar kemiskinan adalah: (1) kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal; (2) terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana; (3) kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor; (4) adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung; (5) adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antara sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern); (6) rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat; (7) budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkunganya; (8) tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good governance); (9) pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan.
Indikator utama kemiskinan menurut Bank Dunia adalah kepemi- likan tanah dan modal yang terbatas, terbatasnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan, pembangunan yang bias kota, perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat, perbedaan sumber daya manusia dan sektor ekonomi, rendahnya produktivitas, budaya hidup yang jelek, tata pemerintahan yang buruk, dan pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan.
Menurut Kartasasmita (1996:240) mengutarakan bahwa kemiskinan dapat disebabkan oleh sekurang-kurangnya empat penyebab, diantaranya:
1. Rendahnya taraf pendidikan. Taraf pendidikan yang rendah meng- akibatkan kemampuan pengem-bangan diri yang terbatas dan menyebabkan sempitnya lapangan kerja yang dapat dimasuki. Dalam bersaing untuk mendapatkan lapangan kerja yang ada, taraf pendidikan menentukan. Taraf pendidikan yang rendah juga mem- batasi kemampuan untuk mencari dan memanfaatkan peluang.
2. Rendahnya derajat kesehatan. Taraf kesehatan dan gizi yang rendah menyebabkan rendahnya daya tahan fisik, daya pikir, dan prakarsa.
3. Terbatasnya lapangan pekerjaan. Keadaan kemiskinan karena kondisi pendidikan dan kesehatan diperberat oleh terbatasnya lapangan peker- jaan. Selama ada lapangan kerja atau kegiatan usaha, selama itu pula ada harapan untuk memutuskan lingkaran kemiskinan itu.
4. Kondisi keterisolasian. Banyak penduduk miskin, secara ekonomi tidak berdaya karena terpencil dan terisolasi. Mereka hidup terpencil sehingga sulit atau tidak dapat terjangkau oleh pelayanan pendi- dikan, kesehatan dan gerak kemajuan yang dinikmati masya- rakat lainnya.
Sanjeev Prakash, Deepa Narayan dalam beberapa penelitian yang disponsori oleh World Bank menyata- kan bahwa beberapa faktor yang menyebabkan jebakan kemiskinan mengalami keberlanjutan adalah (1) kondisi geografi yang terisolasi; (2) kurangnya akses terhadap pendidikan; (3) diskriminasi yang berkepanjangan terhadap kelompok-kelompok minoritas (Sense of voicelessness and power- lessness in the institutions of state and society)
Faktor-faktor determinan lain yang mempengaruhi kemiskinan, diantaranya adalah aset yang dimiliki oleh seseorang. Aset-aset tersebut adalah Human assets, such as the capacity for basic labor, skills, and good health.
1. Natural assets, such as land.
2. Physical assets, such as access to infrastructure.
3. Financial assets, such as savings and access to credit.
4. Social assets, such as networks of contacts and reciprocal obligations that can be called on in time of need, and political influence over resources.
Keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari asset ini bergantung pula dari berbagai hal, pertama adalah akses terhadap market; kedua, akses serta dukungan dari lembaga pemerintah dan masyarakat; ketiga, akses serta dukungan politik dan sosial; dan kelima adalah akses ini dipengaruhi oleh ada atau tidak adanya diskriminasi, baik diskriminasi gender, etnis, ras atau status sosial.
Ketiadaan akses ini diperparah dengan “their lack of voice, power, and independence”. Ketidakberdayaan ini menjadikan orang miskin menjadi sasaran kekerasan, dipermalukan, per- lakuan tidak manusiawi, eksploitasi atas nama lembaga pemerintahan maupun sosial. Tidak adanya kepastian hukum, perlindungan terhadap kekerasan, munculnya intimidasi, dan berbagai macam ketidak pastian layanan publik dari pemerintah semakin membebani bagi masyarakat miskin, yang pada akhirnya akan menghalangi penduduk miskin untuk ikut berpartisipasi dalam berbagai macam kesempatan atau beraktifitas dengan kelompok sosialnya di luar zona keamanan mereka.
Dalam masyarakat agraris, pen- duduk miskin tidak memiliki aset dan pendapatan tetap, yang menyebabkan mereka terikat hubungan dengan pemilik lahan dalam bentuk hubungan patron – klien. Normal-norma sosial dan berbagai macam batasan juga memiliki peran yang menyebabkan penduduk miskin semakin voicelessness dan powerlessness.
Kriteria penduduk miskin di Indonesia memiliki beberapa versi, tergantung dari instansi yang menjadi rujukan. BKKBN menggunakan pendekatan sosial dan ekonomi dalam mendefinisikan kriteria bagi masyarakat miskin, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Tidak dapat menjalankan ibadah menurut agamanya;
b. Seluruh anggota keluarga tidak mampu makan 2 kali sehari;
c. Seluruh anggota keluarga tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja, sekolah dan bepergian;
d. Bagian terluas dari rumah berlantaikan tanah;
e. Tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan.
Menurut Mubyarto (dalam Thabrany, 2005:67) menyebutkan bahwa penghasilan kurang dari Rp. 75.000/bulan untuk pedesaan dan Rp. 108.000/bulan untuk perkotaan atau 75% penghasilan untuk membeli pangan utama (beras). Sedangkan Drajat Wibowo (dalam Thabrany, 2005:68) menyebutkan patokan miskin adalah pendapatan domestik bruto dan indeks nilai tukar petani.
Modal Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan
Dari pembahasan mengenai modal sosial, diketahui bahwa modal sosial selain bersifat inklusif, namun juga bisa menjadi eksklusif pada level tertentu, sehingga menjadi barrier bagi anggota masyarakat di luar kelompoknya untuk bisa bergabung dan berpartisipasi.
Dari berbagai pendapat yang telah disebutkan sebelumnya, diketahui bahwa banyak manfaat dari keberadaan modal sosial dalam masyarakat. Eksistensi modal sosial memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan eko- nomi, kesehatan, pendidikan, kesejah- teraan, pemerintah dan penyelenggaraan pemerintahan.
Sumber: Halpern, 2005:251
Gambar 2.1
Peranan Modal Sosial dalam Penyaluran Keuntungan
Manfaat tersebut antara lain, pertama, dalam kinerja ekonomi, modal sosial mengurangi biaya transaksi dengan mengubah istilah-istilah dalam perdagangan; mengurangi secara besar-besaran biaya pengaturan kontrak; pengambilan keputusan yang lebih fleksibel; dan menghemat waktu (P.N. Wilson, 2000). Dengan kata lain, trust, reputasi dan sanksi informal merupakan pengganti yang lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan sistem legalitas dan sanksi formal. Sebagai contoh ketika orang-orang mempercayai dan dapat dipercaya, dan memelihara hubungan secara terus menerus, kegiatan bisnis harian menjadi lebih mudah dan bebas tekanan. Lebih lanjut, Putnam (2000) menambahkan bahwa jaringan sosial juga sebagai penyalur informasi yang berguna bagi pencapaian tujuan individual maupun kelompok. Pada umumnya, orang-orang yang memiliki jaringan sosial yang bagus, akan memperoleh informasi lebih dahulu, dibandingkan dengan orang-orang yang tidak memiliki jaringan sosial.
Kedua, berkaitan dengan kesehatan dan kesejahteraan, modal sosial memiliki dampak positif terhadap kesehatan, dan terutama kesehatan mental, jaringan sosial yang dimiliki oleh individu adalah sebagai pelindung dari masalah-masalah kehidupan. Penelitian ini telah dilakukan oleh Durkheim berkaitan dengan studi bunuh diri, di mana ditemukan korelasi antara modal sosial dan kesehatan. Kesimpulannya adalah “suicide varies inversely with the degree of integration of the social groups of which the individual forms a part” (Halpern, 2005:74)
Ketiga, berkaitan dengan keja- hatan, Halpern (2005:114) menegaskan bahwa “social capital focuses attention on the potential influence of social relationships, co-operative norms and informal sanctions on offending behavior”. Modal sosial menjembatani pandangan mengenai kriminologi antara pendekatan psikologi dan sosiologi (Halpern, 2005). Modal sosial dapat memelihara norma-norma sosial dalam suatu komunitas dan mengurangi kecenderungan perilaku egois diantara anggota kelompok. Orang-orang yang memiliki hubungan yang baik dengan komunitasnya dan memiliki hubungan saling mempercayai, pada umumnya memiliki perilaku yang dapat diterima oleh kelompoknya.
Keempat, berkaitan dengan pemerintah dan pemerintahan, hasil penelitian Putnam (1993) di Italia menyimpulkan bahwa “the differences in government effectiveness arose from the character of the associational life of the regions and patterns of trust. The causal direction appeared clear – strong associational life and high levels of public trust led to more effective government”.
Selain manfaat yang diperoleh dari modal sosial, modal sosial juga bisa memberikan dampak negatif. Menurut Portes (1998): The same ties that bind also exclude. Powerful networks can restrict access to opportunities, for example the caste system in India, with its rigid boundaries. Social capital restricts individual freedom (women in purdah in northern India), and can lead to excessive claims on successful group members -- so excessive that successful individuals are sometimes driven to break off ties with the larger ethnic group. Solidarity networks can also lead to downward leveling mechanisms
Sebagai contoh, dalam masyarakat yang multikultur dimana anggota masyarakat sangat terikat dengan kelompoknya dan memiliki komitmen yang kuat berdasarkan kesamaan suku, budaya, atau kesamaan kepentingan bagi kelompoknya saja, bukan demi kepentingan nasional, pada saat itu maka terjadi degradasi budaya politik nasional (Fukuyama, 1995; Daniel et al, 2003). Komunitas seperti ini tidak akan memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Komunitas-komunitas seperti ini biasanya mendorong bertumbuh kembangnya trust secara internal, dan menyebarluaskan kebencian kepada komunitas-komunitas selain mereka. Sebagai contoh adalah organisasi-organisasi teroris, kelompok kejahatan yang terorganisasi.
Seringkali dampak negatif dari modal sosial diperlihatkan dalam wujud kekerasan, hubungan yang sangat kuat dalam internal kelompok, yang tidak berlaku bagi masyarakat luas di luar kelompoknya, dan menjalankan nilai-nilai korupsi dan kroni (Evans, 1989; Mauro, 1995; World Bank, 1997), serta nepotisme (Fukuyama, 1995).
Untuk memahami alasannya, ada tiga fenomena yang harus dianalisi, yaitu “first, the connectedness or cross-cutting ties between groups; second, the nature of the state; and third, how the state interacts with the distribution of social capital”.
Jika konsep modal sosial diguna- kan dalam upaya penanggulangan kemiskinan, keterbatasan kapasitas dari efektivitas jaringan kerja (networks) yang dimiliki oleh kelompok masyarakat miskin harus menjadi perhatian. Network yang dimiliki masyarakat miskin tentu saja berbeda dengan networks yang dimiliki oleh masyarakat mampu, dan seringkali masyarakat miskin tidak diijinkan untuk bergabung dan terlibat dalam networks masyarakat mampu. Sebagai catatan, stratifikasi dalam kelas-kelas sosial terdapat pada seluruh kelompok masyarakat dimana masyarakat miskin berada pada level terbawah dari hirarki sosial, dan mengalami social exclusion.
Lembaga-lembaga sosial—sistem kekeluargaan, organisasi-organisasi masyarakat, dan jaringan-jaringan informal – sangat mempengaruhi terhadap outcomes kemiskinan. Lembaga-lembaga sosial tersebut memiliki pengaruh terhadap aset-aset ekonomi, strategi dalam menyelesaikan masalah, memiliki kapasitas dalam meraih keuntungan, dan memiliki pengaruh dalam pembuatan keputusan.
Disatu sisi lembaga-lembaga sosial ini bisa menolong orang miskin, namun mereka juga bisa menjadi penghalang bagi masyarakat miskin dan ter- pinggirkan.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, masyarakat miskin memiliki modal sosial dalam level bonding melibatkan keluarga, kekerabatan, jaringan komunitas yang membantu dalam upaya strategi manajemen resiko yang cukup penting. Namun, mereka tidak memiliki modal sosial dalam level bridging, apalagi linking. Membentuk format bridging dan linking bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan membutuhkan keter- libatan pemerintah untuk melibatkan mereka dalam struktur kekuasaan.
DAFTAR PUSTAKA
Abrar, S. 2000. Feminist Intervention and Local Domestic Violence, in G. Stoker (ed). The New Management of British Local Governance. Basingstoke: Mac- Millan.
Bourdieu, P. 1988. Homo Academicus (P. Collier, Trans.). Stanford: Stanford University Press.
Bourdieau, P. 1986. The forms of capital, in Richardson, J. (ed) Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education. New York: Green- wood Press.
Brehm, J. and Rahn, W. 1997. Individual level evidence for the causes and consequences of social capital. American Journal of Political Science 41, July, 888-1023
Caldwell, B.J. 2005. School Based Management. Available at: http: //www.unesco.org/iiep
Campos, J.E. and Hellman, J.S. 2004. Governance Gone Local: Does Decentralization Improve Accountability. Available at: http://siteresources.worldbank.org/INTEAPDECEN/chapter-11.pdf
Coleman, J.S. 1988. Social Capital in the Creation of Human Capital. American Journal of Sociology, 94 Supplement, S95-S120. Available at:http://links.jstor.org/sici?sici=0002-9602%281988%2994%-3CS- 95%3ASCITCO%3E2.0.CO%3B2-P
Dhesi, A.S. 2001. Factors influencing post school choice: some data from India. International Review of Economics and Business, 47(3), 451-472
Dika, S.L. and Sigh, K. 2002. Applications of social capital in educational literature: a critical synthesis. Review of Educational Research, 72(1), 31-60.
Fukuyama, F. 1995. Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity. New York: Free Press.
Fukuyama, F. 1999. The Great Disruption: human nature and the reconstitution of social order. New York: Free Press.
Grootaert, C. 2005. Social Capital, Household Welfare and Poverty in Indonesia. Washington DC: World Bank. Available at: www.worldbank.org/html/dec/Publications/Workpapers/wps2000series/wps2148/wps2148.pdf
Halpern, D. 2005. Social Capital. Cambridge: Polity Press.
Handler, J.F., 1996. Down from Bureaucracy: the ambiguity of privatization and empowerment. Princenton N.J.: Princenton University Press.
Hickling Indonesia. 2001. Towards Participatory Governance of Education in Indonesia. A Report on Regional Consultations in West Sumatra on the Use of School Boards and School Committees. Jakarta: Hickling Indonesia
Indriyanto, B. 2005. School Based Management: Issues and Hopes toward Decentralization Educa- tion in Indonesia. Available at: http://www.worldedreform.com/intercon3/third/f_bumbang.pdf
Inglehart, Ronald. 1999. Trust, well-being and democracy, in Mark E. Warren (ed). Democracy and Trust. Cambridge: Cambridge University Press
King, E.M. and Guerra, S.C. 2004. Education Reforms in East Asia: Policy, Process, and Impact. Available at: http://siteresources.- worldbank.org/INTEAPDECEN- /Resources/Chapter-9.pdf
Kipp, R.S. 1993. Dissociated Identities: Ethnicity, Religion and Class in an Indonesian Society. Ann Arbor: Univ Mich Press.
Lowndes, V. and Wilson, D. 2001. Social capital and local governance: exploring the institutional design variable. Political Studies. 49, 629-247.
Malley, M. 1999. ‘Regions, Centralization and Resistance’ in Emmerson, D. (ed) Indonesia Beyond Soeharto Polity, Economy, Society, and Transition. New York: ME Sharpe.
McClure, M.W. 2001. Schools Ready To Teach, Children Ready To Learn, Communities Ready to Protect Both: Minimum Service Standards In Indonesia. Available at: http://www.gtzsfdm.or.id/documents/dec_ind/donor_act_re_sta/DSEF%20School%20ready%20to%20Teach_SPM.pdf
McClure, M.W. and Triaswati, N. 2001. Bridging the Generational Divide: A Strategy for School Improve- ment within the Context of Fiscal Decentralization. Available at: http://www.gtzsfdm.or.id/documents/dec_ind/donor_act_re_sta/DSEF%20Bridging%20the%20Generational%20Divide.pdf
Narayan, D. 1999. Bonds and Bridges: Social Capital and Poverty. Policy Research Working Paper 2167. Poverty Reduction and Economic Management Network. Washing- ton DC: World Bank
Ostrom, E. 1995. Incentives, Rules of the Game, and Development. In M. Bruno and B. Pleskovic (eds). Annual Bank Conference on Development Economics 1995. Washington DC: World Bank.
Prud’homme, R. 1995. The Dangers of Decentralization. World Bank Research Observer. 10(2), 201-220
Purwadi, A. and Muljoatmodjo, S. 2000. Education in Indonesia: Coping with challenges in the third millennium. Journal of Southeast Asian Education. 1(1). 79-102
Putnam, R. D. 1993. Making Demo- cracy Work: Civic Traditions in Modern Italy. Princeton: Princeton University
Putnam, R.D. 1996. The prosperous community: social capital in America. Available at: http://- www.prospect.org/print/V4/13/putnam-r.html
Putnam, R.D. 2000. Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community. New York: Simon and Schuster
Qian, Z and Blair, S.L. 1999. Racial/ethnic differences in educational aspirations of high school seniors. Sociological Perspective. 42(4), 605-625.
Republik Indonesia . 1950. UU No 4/1950 about the School Teaching and Learning.
Republik Indonesia. 1989. UU No. 2/1989 the National Education System Law.
Republik Indonesia. 2003. UU No. 20/2003 the National Education System Law.
Rothstein, B. and Stolle, D. 2002. How Political Institutions Create and Destroy Social Capital: An Institutional Theory of Genera- lized Trust. Available at: http://upload.mcgill.ca/politicalscience/011011RothsteinB.pdf
Rothstein, B. and Uslaner, E.M. 2005. All for All: Equality and Social Trust LSE Health and Social Care Discussion Paper Number 15. London: LSE Health and Social Care. Available at: http://www.- lse.ac.uk/collections/LSEHealthAndSocialCare/pdf/DiscussionPaperSeries/DP15_2005.pdf
Uphoff, N. 2000. Understanding Social Capital: Learning from the Analysis and Experience of Participation. In Partha Dasgupta and Ismail Serageldin (eds.). Social Capital: A Multifaceted Perspective. Washington DC: World Bank.
Uslaner, E.M. 1999. Democracy and Social Capital, in Mark E. Warren (ed). Democracy and Trust. Cambridge: Cambridge University Press.
Uslaner, E.M. 2002. The Moral Foundation of Trust. New York: Cambridge University Press.
Wilson, P.N. 2000. Social capital, trust and the agribusiness of economics. Journal of Agricultural and Resource Economics. 25(1), 1-13.
Woolcock, M. 1998. Social capital and economic development: towards a theoretical synthesis and policy framework. Theory and Society. 27, 151-208. available at: http://- www.springerlink.com/media/n0fdjqefwncqpwefrh5u/contributions/r/j/5/8/rj58534767m2j644.pdf
Woolcock, M. 2001. The Place of Social Capital in Understanding Social and Economic Outcomes. ISUMA – Canadian Journal of Policy Research 2(1).
Woolcock, M. and Narayan, D. 2000. Social capital: implications for development theory, research and policy. World Bank Research Observer, 15(2), 225-249.
World Bank. 1999. www.worldbank.org /poverty/scapital.
World Bank. 2004. Education in Indonesia: Managing the Transition to Decentralization. Indonesia Education Sector Review. Prepared in partnership with the Government of Indonesia, Ministry of National Education; and the Indonesia Education Donor Partnership. Jakarta: World Bank.
Yan, W. 1999. Successful African American Students: the role of parental involvement. Journal of Negro Education. 68(1), 5-22.
Yeom, M., Acedo, C. and Utomo, E. 2002. The Reform of Secondary Education in Indonesia During the 1990s: Basic Education Expansion and Quality Improvement Through Curriculum Decentrali- zation. Asia Pacific Education Review. 3(1). 56-68. Available at: aped.snu.ac.kr/prof/aper/aper%20data/3-1/06-6.pdf
Young, S.C. 2000. Participation Strategies and Local Environ- mental Politics. in G. Stoker (ed). The New Management of British Local Governance. Basingstoke: Macmillan.