Oleh:
Diani
Indah
Jurusan
Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Langlangbuana Bandung
e-mail: indah.diani@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini tentang
implementasi program pembangunan rusunawa yang dilakukan di kota Bandung.
Penelitian ini berdasarkan pada fakta bahwa implementasi kebijakan rumah susun
sederhana sewa belum optimal sebagaimana ditunjukkan oleh kurangnya pemanfaatan
rumah susun
oleh kelompok sasaran dan pengalihan hak beli serta sewa kepada pihak lain. Dengan menggunakan penelitian kualitatif, penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan penelitian yaitu: (a) mengapa implementasi kebijakan rumah susun sederhana sewa belum tepat sasaran dan (b) bagaimana konsep kebijakan implementasi rumah susun sederhana sewa yang sesuai dengan konteks Pemerintah Kota Bandung. Data dikumpulkan melalui pengamatan partisipasi dan wawancara mendalam dengan sejumlah informan yang meliputi birokrat, tokoh masyarakat dan masyarakat kelompok sasaran. Hasil penelitian ini bahwa ketidakoptimalnya implementasi rumah susun sederhana sewa disebabkan oleh kebijakan yang berasal dari atas, dimana dalam perencanaan atau perumusan kebijakan, kelompok sasaran (masyarakat berpenghasilan rendah) tidak dilibatkan sehingga berakibat pada ketidaksesuaian antara program-program yang ditawarkan dan kebutuhan nyata kelompok sasaran, terutama dari aspek daya beli masyarakat berpenghasilan rendah. Selain itu, konsep kebijakan yang memperhatikan aspek kesesuaian antara tujuan, program, unsur pelaksana dan kelompok sasaran dalam perumusan dan implementasi kebijakan rusunawa akan mendorong tercapainya efektivitas prosedural maupun substansial dari implementasi kebijakan rumah susun sederhana sewa.
oleh kelompok sasaran dan pengalihan hak beli serta sewa kepada pihak lain. Dengan menggunakan penelitian kualitatif, penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan penelitian yaitu: (a) mengapa implementasi kebijakan rumah susun sederhana sewa belum tepat sasaran dan (b) bagaimana konsep kebijakan implementasi rumah susun sederhana sewa yang sesuai dengan konteks Pemerintah Kota Bandung. Data dikumpulkan melalui pengamatan partisipasi dan wawancara mendalam dengan sejumlah informan yang meliputi birokrat, tokoh masyarakat dan masyarakat kelompok sasaran. Hasil penelitian ini bahwa ketidakoptimalnya implementasi rumah susun sederhana sewa disebabkan oleh kebijakan yang berasal dari atas, dimana dalam perencanaan atau perumusan kebijakan, kelompok sasaran (masyarakat berpenghasilan rendah) tidak dilibatkan sehingga berakibat pada ketidaksesuaian antara program-program yang ditawarkan dan kebutuhan nyata kelompok sasaran, terutama dari aspek daya beli masyarakat berpenghasilan rendah. Selain itu, konsep kebijakan yang memperhatikan aspek kesesuaian antara tujuan, program, unsur pelaksana dan kelompok sasaran dalam perumusan dan implementasi kebijakan rusunawa akan mendorong tercapainya efektivitas prosedural maupun substansial dari implementasi kebijakan rumah susun sederhana sewa.
Kata
kunci:
rusunawa, konsep kebijakan, implementasi kebijakan.
ABSTRACT
The
study on The Implementation of Rented Vertical Housing policy was conducted in
the Bandung City from 2009 to 2012. This study was based on facts that the
implementation of rented vertical housing policy was not effective shown by the
low utilization of vertical housing by the target groups and by the high
transfer of renting rights to other parts. Through the qualitative research,
the study focused on two research problems, i.e: (a) why the implementation of
rented vertical housing was not effective and (b) how the concept of rented
vertical housing policy was suitable to the context of the Government Bandung
City. Data were collected through participatory observation and in-depth
interview with several rich case informants ranging from public officials,
legislators, public figures and target group.The finding of this study that the
inefectiveness of vertical housing policy implementation was due to the vertical
housing policy itself emanating from the government rather the target groups
where the target benefiaciaries are not involved to contribute to the
formulation of the policy that affect their lives and the unsuitability of
offered programs to the target groups need. In addition, the implementation
concept considering the suitability of goals, programs, implementors, amd
target groups in the formulation and implementation of vertical housing would
help achieve the prosedural and substansial effectiveness of vertical housing
policy implementation. The new concept offered in this study is the
introduction of co implementation concepts in public policy; i.e the
involvement of target beneficiaries in the implementation process whereby
target groups are no longer seen as buyer, but as assets in the implementation
of vertical housing policy implementation.
Keywords: vertical housing, policy concepts,
policy implementation
PENDAHULUAN
Bagi
masyarakat, rumah (peru- mahan)
merupakan kebutuhan yang utama di samping kebutuhan pangan dan sandang. Keadaan
ini akan lebih terasa bagi penduduk yang hidup di daerah perkotaan (besar).
Fungsi ru- mah
bagi penghuninya selain sebagai tempat berteduh dan beristirahat, di- manfaatkan pula sebagai
sarana untuk membina kesejahteraan dan kerukunan keluarga. Fungsi yang pertama
meng- anggap rumah sebagai
fasilitas fisik, sedangkan yang kedua lebih menon- jolkan pada penciptaan suasana per- mukiman yang tentram
dan bahagia.
Kota
Bandung dengan wilayah seluas 16.730 Ha, berdasarkan hasil pemutakhiran data
yang dilakukan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil per 31 Juli tahun 2011
jumlah penduduknya sudah mencapai 2.537.232 jiwa, sehingga kepadatan penduduk
di wilayah Kota Bandung mencapai 15.166,079 jiwa/km2. (Harian Pikiran Rakyat,
2010). Konse- kuensi
dari kepadatan penduduk yang demikian itu adalah tuntutan akan penyediaan
permukiman yang layak huni bagi masyarakat, terutama bagi masyarakat
berpenghasilan rendah.
Perkembangan
kecenderungan pertumbuhan penduduk Kota Bandung tahun 2009-2013 yang meningkat terus dapat
dilihat pada Gambar 1.1 Peningkatan tersebut diikuti dengan
peningkatan jumlah kebutuhan rumah dan lahan yang dapat dilihat pada Gambar 1.2 dan 1.3.
(Sumber:
RPJMD Kota Bandung tahun 2009-2013)
Tuntutan tersebut semakin mengemuka tidak
hanya disebabkan masih menonjolnya permasalahan kemiskinan di sejumlah lokasi,
namun disebabkan juga oleh problema tata ruang. Sementara itu problema tata
ruang tampak semakin menunjukkan adanya ketidakseimbangan di antara
ketersediaan sumber daya lahan dan pertumbuhan ekonomi serta kebutuhan sosial
masyarakat. Karena itu, kebi- jakan
pembangunan permukiman yang sesuai dengan kebijakan tata ruang dan penataan
wilayah menjadi tan- tangan
bagi Pemerintah Kota Bandung dalam mewujudkan visi dan misi pembangunan.
Tantangan
tersebut terkait erat dengan kebutuhan masyarakat akan rumah layak huni yang
diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan ren- dah, dan unit-unit rumah susun yang
layak huni sebagai pemenuhan kebu- tuhan
akan tempat tinggal.
(Sumber:
RPJMD Kota Bandung tahun 2009-2013)
Pada tahun 2008, kebutuhan rumah di Kota Bandung mencapai
20.285 unit dengan asumsi bahwa rumah tersebut adalah rumah layak huni dengan
luas 4,7 (rata-rata besar Kepala Keluarga di Bandung) x 9 meter persegi
(standar luas/orang), dengan kondisi lantai, dinding, dan atap yang baik. Jika
diasumsikan satu rumah memerlukan sekitar enam puluh meter persegi, dibutuhkan
1.217.100 meter persegi (121 hektar) setiap tahun. Angka tersebut ber- tambah menjadi sekitar 150 hektar
jika ditambah dengan fasilitasnya, yaitu setara dengan tiga ratus lapangan
sepak bola per tahun. (Pikiran
Rakyat, 2010).
(Sumber:
RPJMD Kota Bandung tahun 2009-2013)
Sampai sekarang, Kota Bandung masih kekurangan rumah hingga
sekitar 159.815 unit. (Pikiran Rakyat, 2010). Perhitungan ini didasarkan kepada
asumsi satu unit rumah yang dihuni rata-rata lima jiwa. Dengan penduduk
mencapai 2.429.142 jiwa, Kota Bandung membutuhkan sekitar 500.000 unit rumah.
Sementara itu berdasarkan data, jumlah rumah yang tersedia kini baru 343.185
unit. Dengan kebutuhan sebanyak itu, sulit sekali menyediakan lahan yang cukup
untuk perumahan.
Munculnya daerah permukiman di pinggir kota menjadi salah
satu indikasi semakin sempitnya lahan permukiman di perkotaan. Sebagai salah
satu kota yang penting dan berpenduduk relatif padat, maka sebagian besar lahan
di Kota Bandung (55,5%) digunakan sebagai lahan perumahan.
Berkaca dari kenyataan itu, pembangunan perumahan di Kota
Bandung tidak lagi dapat berbentuk horizontal. Pembangunan perumahan vertikal dapat
dijadikan sebagai alter- natif, salah satunya adalah pemba- ngunan rumah rusun sederhana sewa
(rusunawa). Harapan ke depannya, dengan adanya pembangunan rumah susun
sederhana sewa ini masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dapat menempati rumah
layak huni.
Mengacu pada
kebutuhan peru- mahan
tersebut, kebijakan pemba- ngunan
rumah susun berdasarkan Undang Undang Nomor 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun,
diarahkan pada usaha peningkatan pembangunan perumahan dan permukiman secara
fungsional bagi kepentingan rakyat banyak, dengan sasaran:
1) mendorong
pembangunan permu- kiman
dengan daya tampung tinggi dalam rangka pemenuhan kebu- tuhan perumahan;
2) mendukung
konsep tata ruang Kota Bandung yang dikaitkan dengan pengembangan pemba- ngunan daerah perkotaan
ke arah vertikal dan untuk meremajakan daerah-daerah kumuh;
3) meningkatkan
optimalisasi peng- gunaan
sumber daya tanah per- kotaan,
suasana permukiman yang tenteram;
4) Pembangunan
Rumah Susun ber- dasarkan
undang-undang tersebut, bertujuan untuk:
a. Memenuhi kebutuhan rumah
yang layak bagi masyarakat, terutama golongan masyarakat yang berpenghasilan
rendah, yang menjamin kepastian hukum dalam pemanfaatannya, meningkatkan daya guna
dan hasil guna tanah di daerah perkotaan dengan memperhati- kan kelestarian sumber
daya alam dan menciptakan ling- kungan
permukiman yang lengkap, serasi dan seimbang.
b. Memenuhi
kebutuhan untuk kepentingan lainnya yang ber- guna
bagi kehidupan masya- rakat,
dengan tetap mengutama kan
ketentuan ayat 1 (huruf a).
Menurut
ketentuan UU No. 4 Tahun 1988 tersebut,
Rumah Susun dapat diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara atau Daerah,
Koperasi, dan Badan Usaha Milik Swasta yang
bergerak dalam bidang itu, dan Swadaya Masyarakat.
Di dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Peme- rintahan Daerah, dinyatakan bahwa
sebagian besar tugas pembinaan masyarakat merupakan kewenangan dan tanggung
jawab pemerintah kota/ kabupaten,
salah Salah satu prioritas yang utama dalam pembangunan Rumah Susun Sederhana
Sewa (Rusunawa),
yaitu diperuntukan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) di perkotaan,
yakni mereka yang setiap bulan mendapatkan gaji kurang atau sama dengan upah
minimum regional Kota Bandung yaitu sekitar Rp 1 - 2,5 juta. Hal ini sesuai
dengan Kepmenpera Nomor
14 Tahun 2007 tentang
“Pengelolaan Rumah Susun Sederhana Sewa”, yaitu masyarakat paling memungkinkan
mengakses hunian vertikal berbentuk Rusunawa. Pembangunan Rumah Susun Sederhana
Sewa (Rusunawa) menjadi alternatif pemecahan untuk memenuhi kebutuhan tempat
tinggal di daerah Kota Bandung.
Berdasarkan
Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 08 Tahun 2008 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Bandung Tahun
2009-2013, arah kebi- jakan
Umum Pembangunan Daerah Urusan Perumahan Rakyat antara lain diarahkan untuk:
1. Meningkatkan
ketersediaan rusun untuk memenuhi kebutuhan pen- duduk berpenghasilan rendah;
2. Mengembangkan
lingkungan per- mukiman
yang sehat;
3. Peremajaan
kawasan kumuh per- kotaan;
4. Memfasilitasi
akses pembiayaan untuk pembangunan dan perbaikan rumah bagi penduduk berpeng- hasilan rendah; dan
5. Memperbaiki
kondisi lingkungan permukiman di kawasan kumuh atau padat.
Untuk itu,
Pemerintah Kota Bandung menetapkan kebijakan pem- bangunan Rumah Susun Sederhana untuk masyarakat berpenghasilan rendah yang
dibagi dalam 2 kelompok, yaitu:
1. Rumah
susun sederhana yang dapat dimiliki yang dikenal dengan nama Rusunami di mana harga penju- alannya ditetapkan oleh
pemerintah agar dapat dimiliki oleh masyarakat berpenghasilan menengah ke
bawah.
2. Rumah
susun sederhana yang disewakan, dikenal dengan nama Rusunawa, yang
peruntukannya bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah dan/atau
masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) termasuk pegawai negeri sipil (PNS),
TNI/Polri.
Sedangkan
target atau sasaran program pembangunan rumah susun (Sumber Direktorat Jenderal
Cipta- karya Departemen PU).
1. Adanya
pemenuhan kebutuhan akan hunian pada hunian vertikal;
2. Menanggulangi
lingkungan permu- kiman
perkotaan yang berkembang tidak sehat (kumuh);
3. Menjembatani
masyarakat yang belum mempunyai rumah untuk mendapatkan tempat hunian yang
layak huni dengan cara menyewa sesuai kondisi atau kemampuan mereka.
Sedangkan
tujuan dari pemba- ngunan
rumah susun sederhana sewa adalah penataan lingkungan permu- kiman kumuh dan
efisiensi lahan yang terbatas serta mahal harganya.
METODE
Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan
kualitatif, karena melihat masalah yang cukup kompleks dan tujuan yang
ingin dicapai adalah pemahaman yang mendalam dan komprehensif tentang pelayanan
publik bidang permukiman rumah susun sederhana sewa.
Dalam penelitian
ini proses yang diamati berlangsung apa adanya, dengan tujuan untuk mengetahui
akti- vitas pelayanan
pengelolaan rusunawa dan hambatan-hambatan dalam pela- yanan pengelolaan
rusunawa. Proses yang diamati terkait dengan pelayanan pengelolaan rusunawa
pada semua tahapan pengurusan pengelolaan. Di satu pihak pemerintah
yang ber- kewajiban melaksanakan
pelayanan dan dipihak lain adalah masyarakat yang berhak untuk menerima pela- yanan, dalam hal ini
adalah pelayanan permukiman rusunawa.
Penelitian
dengan pendekatan kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kalimat tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang di- amati. penggunaan
pendekatan ini didasarkan atas pertimbangan bahwa pendekatan ini relevan dan
cocok dengan masalah penelitian yang memerlukan interpretasi proses dan makna
pada pembangunan rumah susun sederhana sewa di Kota Bandung. Oleh karena itu,
fenomena tentang proses dan penjelasan makna dijadikan salah satu pendekatan
dominan dalam penelitian ini.
Subyek
penelitian adalah indi- vidu
yang terlibat langsung dalam proses pelaksanaan program pemba- ngunan rusunawa Kota
Bandung dan anggota masyarakat yang menghuni rusunawa serta anggota masyarakat yang sudah mendaftar
tapi belum ada pemanggilan.
Jumlah informan
adalah satu orang kepala Dinas Permukiman dan Perumahan Provinsi Kota Bandung,
satu kepala Dinas Perumahan, empat aparat Dinas Cipta Karya Kota Ban- dung, serta anggota
masyarakat yang menghuni rumah susun sederhana sewa.
Data hasil
wawancara mendalam tersebut kemudian dipilah-pilah sesuai kategori yang relevan
dengan model, pertanyaan penelitian dan kerangka teori. selanjutnya tahap
pertama yang dilakukan adalah membuat transkrip (deskripsi) dalam bentuk
tulisan dari rekaman hasil wawancara, kemudian membaca data tanpa prasangka.
Selanjutnya dilakukan inventarisasi pernyataan-penyataan penting yang relevan dengan
topik. Tahap selanjut- nya merinci
pernyataan-pernyataan penting dan diformulasikan kedalam makna dan
dikelompokkan kedalam tema-tema tertentu mengenai apa yang dialami subyek
penelitian tentang sebuah fenomena dan terakhir adalah mengintegrasikan
tema-tema kedalam deskripsi naratif. Proses penelitian dilakukan dalam kondisi
yang alamiah dan untuk mengecek keabsahan data, peneliti menggunakan teknik tri- angulasi.
PEMBAHASAN
Pengelolaan
Rumah Susun Sederhana Sewa adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi rumah
susun sederhana sewa yang meliputi kebijakan penataan pemanfaatan,
pengembangan, pemeliharaan, penga- wasan
dan pengendalian rumah susun sederhana sewa. Dalam melaksanakan pengelolaan
rumah susun sederhana sewa diperlukan perencanaan yang matang guna
terselenggaranya penge- lolaan
yang baik. Menurut Friedman (1974) perencanaan adalah cara ber- pikir mengatasi masalah
sosial dan ekonomi, untuk menghasilkan sesuatu di masa depan, sasaran yang
dituju adalah keinginan kolektif dan meng- usahakan
keterpaduan dalam kebi- jakan
dan program perencanaan me- merlukan
pemikiran yang mendalam dan dapat diterima oleh masyarakat, dalam hal ini
perencanaan sosial dan ekonomi harus memperhatikan aspi- rasi masyarakat dan
melibatkan masyarakat baiknsecara langsung mau pun tidak langsung.
Menurut Lowyers &
Hills (1994) dalam Arsyad (1999) peren- canaan
adalah suatu proses yang berkesinambungan yang mencakup keputusan-keputusan
atau pilihan-pilihan berbagai alternatif penggunaan sumber dana untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu pada masa yang akan datang.
Dalam
mempertahankan kebera- daan
dan kelangsungan rumah susun sederhana sewa, dibentuk Unit Pengelola Teknis (UPT)
(Koeswah- yono, 2004). Pada
umumnya semua unit pengelola tersebut memiliki hak dan kewajiban yang telah
ditentukan sesuai dalam pasal 66 PP No.4/1988 tentang Rumah Susun.
Secara umum
model organisasi unit pengelola lokasi dibedakan dalam dua model sbb:
1. Model
Swakelola yaitu pengelola opersional merupakan bagian dari organisasi pemilik
atau yang mewa- kili
pemilik rusunawa, yaitu Unit Pengelola Teknis atau Badan Usaha milik Negara/Daerah
(BUMN/ BUMD)
atau perhimpunan peng- huni/pemilik
rusunawa atau perusa- haan
pengembang rusunawa.
2. Model
kerjasama operasional yaitu pengelola operasional merupakan pihak ketiga,
terdiri dari properti, koperasi dan perhimpunan peng- huni yang bermitra
dengan pemilik yang mewakili pemilik/pemegang hak pengelolaan asset rusunawa
untuk melaksanakan tugas penge- lolaan
operasional rusunawa dalam jangka waktu yang ditentukan dan sesuai dengan
peraturan yang ber- laku.
Pengelolaan
pembangunan rumah susun sederhana sewa sudah diatur berdasarkan Peraturan
Negara Perumahan Rakyat No.14/Permen/M/- 2007
Bab III pasal 4 yaitu peman- faatan
fisik bangunan rumah susun sederhana sewa merupakan kegiatan pemanfaatan ruang
hunian maupun bukan hunian. Sedangkan dalam paragraf 1 pasal 9, dinyatakan
bahwa perawatan bangunan rumah susun sederhana sewa adalah kegiatan meperbaiki
dan/atau mengganti bagian bangunan rumah susun sederhana sewa dan atau komponen
bahan bangunan dan atau prasarana dan sarana agar bangunan rumah susun
sederhana sewa tetap laik fungsi.
Pesatnya pertumbuhan pendu- duk di Kota Bandung
membawa dampak ikutan berupa tata kota dimana Bandung tidak memiliki pijakan
hukum untuk menarik retribusi ataupun mengelola rusunawa secara menyeluruh.
"Sekalipun rusunawa itu dibangun di atas tanah Pemkot, aset bangunan
adalah milik pemerintah makin semrawut. Kepadatan penduduk kota pun memunculkan
pertambahan kebutuhan akan lokasi hunian yang layak dan memadai. Dari waktu ke
waktu alternatif hunian vertikal, seperti rumah susun sederhana sewa
(rusunawa), menjadi keperluan yang tak terelakkan.
Dengan jumlah penduduk lebih dari 2,6 juta jiwa
dan laju pertam- bahan penduduk 3,17 persen per tahun, sukar
membayangkan seluruh warga Kota Bandung tertampung di hunian konvensional.
Apalagi, harga tanah di Kota Kembang semakin melambung. Hal itu mengakibatkan
warga berpenghasilan rendah semakin kesulitan mendapatkan tempat tinggal yang
layak.
Warga kota yang berpenghasilan rendah, yakni
mereka yang setiap bulan mendapatkan gaji kurang atau sama dengan upah minimum
regional Kota Bandung sekitar Rp 1 juta, paling memungkinkan mengakses hunian
vertikal berbentuk rumah susun sederhana sewa. Hingga kini pola pembangunan
rusunawa melibatkan peran pemerintah pusat dan peme- rintah daerah.
Pembangunan fisik rusunawa dikerjakan oleh Kemente- rian Pekerjaan Umum dan
Kemente- rian Perumahan Rakyat,
sedangkan pembebasan lahan menjadi kewe- nangan Pemerintah Kota
Bandung.
Dengan pola tersebut, sejumlah proyek rusunawa
di Kota Bandung, antara lain di Sadang Serang, Industri Dalam, Rancasili dan
Cingised, kesulitan berkembang. Persoalan aset, pembebasan lahan, serta
peliknya aturan pengelolaan rusunawa mem- bayangi pemenuhan hak dasar
warga akan tempat tinggal. Dengan kondisi semacam itu, pembangunan rusunawa
belum bisa secara maksimal mem- bantu warga berpenghasilan rendah untuk
menikmati hunian vertikal yang terjangkau. Selain kultur warga yang belum
terbiasa dengan hunian vertikal, ketidakjelasan pengaturan rusunawa juga
membuat warga ragu-ragu.
Rusunawa Cingised di Kelu- rahan Cisaranten Kulon,
Kecamatan Arcamanik, yang terdiri atas lima blok, misalnya, sejak 2008 baru
terisi sekitar dua blok. Setiap blok rusunawa yang mulai dibangun tahun 2005
itu terdiri atas 96 unit hunian berukuran 20 meter persegi atau bertipe 21.
Dengan pola yang berlaku seka- rang, Pemkot Bandung
juga bertang- gung jawab membenahi jalur akses dan merawat
sanitasi di dalam kompleks rusunawa.
Tarif sewa bisa dikenakan kepada penghuni
rusunawa jika pemerintah pusat menghibahkan aset bangunan ke Pemkot Bandung.
Proses hibah itu pun tidak mudah karena hibah aset negara harus mendapatkan izin
Kementerian Keuangan.
Pemerintah kota Bandung ber- harap aturan tentang
rusunawa segera diperjelas karena animo warga untuk tinggal di rusunawa cukup
tinggi. Untuk Rusunawa Cingised saja sudah ada sekitar 3.000 warga yang
berminat menempati. Namun, ketiga blok yang tersedia belum dibuka oleh Pemkot
Bandung.
KESIMPULAN
Berdasarkan keseluruhan uraian di atas,
implementasi kebijakan penge- lolaan rumah susun sederhana sewa:
1. Implementasi kebijakan
pengelo- laan rusunawa di kota
Bandung belum tepat sasaran, hal ini di- tunjukkan oleh rendahnya
tingkat pemanfaatan rusunawa oleh masya- rakat berpenghasilan
rendah dan khusus untuk Rancasili terjadi besarnya tingkat pengalihan hak sewa
atau beli oleh pembeli atau penyewa kepada
kepada pihak lain. Hal ini disebabkan oleh karena ketidaksesuaian antara
program rusunawa yang ditawarkan oleh Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bandung
dengan kelompok sasaran yaitu masyarakat berpeng- hasilan rendah; ketidakmampuan
masyarakat berpenghasilan rendah membayar
biaya sewa (unafforda- bility) atas rumah susun serta
tidak dilibatkannya kelompok sasaran dalam proses perumusan kebijakan rusunawa.
2. Konsep kebijakan rusunawa
yang sesuai dengan konteks pemerintah Kota Bandung adalah konsep ke- sesuaian antara program,
target group dan unsur pelaksana. Inte- grasi dan sinergi antara
ketiga unsur implementasi kebijaka rusu- nawa akan menghasilkan
efekti- vitas prosedural maupun
substan- sial dari implementasi
kebijakan rusunawa. Konsep kebijakan ini memperhatikan aspek kesesuaian,
keterlibatan target group (kelompok sasaran) konsep implementasi kebi- jakan yang memperhatikan
aspek keterlibatan kelompok sasaran (target group) dalam perumusan kebijakan
dan aspek kesesuaian dalam pelaksanaan kebijakan sehingga implementasi
kebijakan rusunawa lebih efektif tidak hanya secara prosedural tetapi secara
substansial.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad,
L., 1999, Pengantar dan Pembangunan
Ekonomi Daerah, Yogyakarta, BPEE.
Harian
Pikiran Rakyat, Pemukiman Kota Bandung,
20 Maret 2010.
Keputusan
Menteri Perumahan Rakyat Nomor 14 tahun 2007 tentang Pengelolaan Rumah Susun
Sederhana Sewa.
Koeswahyono,
2004, Dampak Keha- diran Rusunawa bagi Penataan Bangunan
dan Infrastruktur di Daerah Sekitar Kawasan Ter- bangun.
Peraturan
Daerah Nomor 08 Tahun 2008 tentang Rencana Pemba- ngunan
Jangka Menengah Dae- rah (RPJMD) Kota Bandung, 2009-2013.
Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.