Tentang SosioHumanitas Unla

SosioHumanitas Unla merupakan Jurnal Ilmu-ilmu Sosial & Humaniora Universitas Langlangbuana.

Sosiohumanitas berisi karya ilmiah hasil penelitian atau pemikiran berdasarkan kajian literatur yang dimuat dalam bentuk media cetak oleh LPPM Universitas Langlangbuana Bandung.

Materi yang dibahas mencakup masalah dan isu-isu yang aktual mengenai aspek sosial budaya dan kemanusiaan lainnya.

ISSN 1410-9263.

Wisatawan dan Respon Masyarakat Lokal: Studi tentang Bentuk Respon Perempuan Lokal Terhadap Wisatawan Bencana di Yogyakarta


Oleh:
Napsiah
Universitas Islam Negeri Sunan Kali Jaga, Yogyakarta
e-mail: napsiah_2008@yahoo.com



ABSTRAK

Penelitian ini merupakan upaya untuk menemukan bentuk respon perempuan lokal terhadap wisatawan bencana. Masalah pokok yang menjadi pusat perhatian penelitian ini adalah bagaimana bentuk respon perempuan lokal pada wisatawan bencana, dan apakah dampak respon tersebut dapat
mengubah peran dan status perempuan dari pendomestikan sehingga terbentuknya tata nilai baru dalam kehidupan perempuan lokal. Penelitian ini dilakukan dengan wawancara mendalam untuk memperoleh respon perempuan lokal pada wisatawan bencana dibantu pula dengan observasi. Hasil penelitian kemudian disajikan bersifat kualitatif. Dari penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa perempuan lokal sangat terbuka terhadap wisatawan bencana. Hal ini disebabkan bahwa perempuan lokal juga mampu menggunakan modal sosial sebagai perempuan Jawa yang kuat dengan adat istiadat, seperti perempuan harus bisa melayani, ramah, dan trampil dalam pergaulan baik berkomunikasi ataupun lainnya. Modal sosial ini yang kemudian lahir dari perempuan lokal dan diimplentasikan dalam menerima wisatawan bencana. Dengan demikian hadirnya wisatawan justru membawa nilai-nilai baru seperti keluarnya perempuan  dari pelabelan pendomestikan yang selama ini masih kuat. Hal ini ditunjukkan bahwa kehadiran perempuan pada sektor publik menunjukkan bahwa posisi dan peran telah mengalami pergeseran, sehingga dengan adanya erupsi merapi maka konstruk yang telah bertahun-tahun dapat di konter dengan menunjukkan kemampuan mereka dalam berbagai kegiatan yang bermanfaat tidak saja bagi mereka sendiri, tapi juga untuk masyarakat sekitar. Dengan demikian  adanya respon terbuka terhadap wisatawan bencana dapat memperkuat posisi perempuan, sehingga wisata bencana dapat dikatakan sebagai ‘dewa penolong’ untuk menumbuhkan tata nilai baru bagi perempuan lokal, walaupun belum sepenuhnya, namun setidaknya telah merubah pelabelan yang selama ini telah membelenggu kehidupan perempuan.

Kata Kunci: Wisatawan, Respon, Perempuan Lokal, Wisata Bencana.





ABSTRACT

This study is attempted to know how local women's located in former disaster area in response to the tourists. The central issue became the focus of this research is what are the forms of women's response to the disaster tourist, and whether the impact of these responses may alter the role and status of women that can change the formation of new values ​​in their life. The research was carried out with observation and in-depth interviews to elicit their responses, and then presented the results in a qualitative study. From this study we concluded that local women are very open towards disaster tourists. This is due to that local women are also able to use social capital those known as strong Javanese customs, such as women should be able to serve, should be friendly, and well skilled in communicating socially. That social capital then will be implemented to receive the disaster tourists. Thus the presence of tourists would bring new values ​​such as the release of women from domestic labeling, which is still strong. It is shown that the presence of women in the public sector have been shifted, so that with the eruption of Merapi can construct their abilities in a variety of activities that are beneficial not only for themselves, but also for the surrounding community. Thus the existence of an open response to disasters travelers can strengthen the position of women, so it can be regarded as a disaster tourist 'god helper' to cultivate new values ​​for local women, although not fully, but at least it has changed the labeling that have shackled the lives of women.

Keywords: Travelers, Response, Local Women, Disaster Tourism.




PENDAHULUAN
Sektor pariwisata merupakan sektor yang paling potensial untuk meningkatkan devisa negara. Oleh sebab itu sektor ini banyak di kembangkan oleh pemerintah karena selain dapat meningkatkan devisa, pariwisata juga banyak merekrut tenaga kerja, dan menghidupkan potensi lokal. Dengan demikian tidak heran kalau perkembangannya selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. 
Melihat sektor pariwisata yang sangat rentan dengan kondisi sosial politik yang ada maka sektor ini juga banyak mengalami pasang surut terhadap kunjungan wisata, di tambah lagi dengan seringnya Indonesia mengalami bencana alam, yang setiap tahunnya tidak mengalami penurunan.
Bahkan pada tahun 2010 yang lalu Letusan Gunung Merapi telah meluluhlantakkan kehidupan masyarakat dengan berbagai kerugian baik material dan non material yang tidak ternilai.
Salah satu hal yang menjadi permasalahan besar pasca bencana adalah adanya komunitas yang rentan, dalam hal ini adalah perempuan. Hal ini disebabkan oleh faktor pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan yang belum maksimal dimiliki oleh kelompok ini.
Tingkat kerentannya menjadi bertambah tatkala mereka harus kehilangan harta benda, anak, bahkan suami. Sehingga tidak jarang pada sebagian perempuan harus menjalankan peran ganda yaitu mencari nafkah dan mengurusi rumah tangga.
Sementara adanya erupsi merapi banyak wisatwan berdatangan dengan membawa sikap, prilaku dan kultur yang berbeda dengan masyarakat pasca bencana. Dengan demikian perlu diketahui sikap perempuan yang mengalami kerentanan pasca bencana dalam merespon pengunjung wisata bencana.
Penelitian ini mengambil lokasi Dusun Banjarsari, Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan. Dipilihnya daerah ini karena   merupakan daerah yang mengalami kondisi yang paling parah akibat adanya erupsi merapi, sehingga di daerah ini  menjadi wisata bencana dan banyak pengunjung yang ingin secara langsung melihat lokasi pasca erupsi merapi. Di samping itu pada Dusun Banjarsari pasca erupsi merapi, warga masih menghuni rumah -rumahnya sehingga perempuan lokal dapat berhubungan secara langsung dengan para wisatawan.
Dari uraian di atas maka muncul permasalahan sebagai berikut:
-       Bagaimana bentuk respon kaum perempuan terhadap wisatawan bencana di daerah Cangkringan ?
-       Apakah dampak respon  tersebut menimbulkan tata nilai baru bagi peran dan posisi perempuan di daerah Cangkringan ?
Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah:
-       Menemukan bentuk respon  kaum perempuan terhadap wisatawan bencana.
-       Menemukan pengaruh dari dampak respon yang diberikan terhadap tata nilai dalam memposisikan perempuan.


STUDI PUSTAKA
Kehadiran wisatawan baik wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara membawa pengaruh yang positif dan negatif pada masyarakat lokal, tergantung dari sejauhmana tingkat kedalaman pembangunan wisatawan di daerah tersebut dan struktur sosial kultural masyarakat yang bersangkutan (Dogan, 1989).
Wisatawan bencana tidak selalu berpengaruh negatif, tetapi juga bisa berpengaruh positif terhadap budaya masyarakat lokal. 
Munculnya anggapan bahwa wisatawan yang datang membawa pengaruh yang negatif terjadi karena kesalahan mamahami dinamika kultural dan kekurangmampuan dalam menangkap pluralitas respon yang muncul di dalam masyarakat berdasar- kan pada konteks sosial kultural yang ada.
Menurut pendapat Wood dalam Nugroho (1996), pemahaman umum tentang pengaruh sosio kultural turis me biasanya diambil dari pengamatan yang melihat kultur secara sederhana.
Asumsinya seringkali didasarkan pada pemahaman bahwa kultur adalah satu kesatuan, pasif dan melekat dalam dirinya. Untuk memahami hubungan kultur dan wisatawan menurut Wood, kita perlu mengakui bahwa kultur secara internal terdiferensiasi, aktif, dan terus menerus berubah.
Sehubungan dengan itu,  Dogan (1983) menyebutkan terdapat 5 bentuk respon masyarakat lokal pada wisa- tawan yaitu: 1. Respon penolakan (resistence) 2. Respon kembali ke budaya asli dan membangkitkan budaya lokal untuk melawan budaya asing (retreatism atau revivalism), 3. Respon memelihara jarak (batas) budaya lokal dan budaya asing (boundary maintenance) 4. Respon pemulihan energi budaya (revitaliza- tion), 5. Respon penerimaan terbuka (adaptation).
Pertama, respon penolakan adalah bentuk respon budaya yang menolak datangnya orang lain. Hal ini disebabkan karena mereka merasa rendah baik dari segi ekonomi atau masalah sosial lainnya.  Penolakan juga terjadi karena penduduk lokal tidak bisa memanfaatkan fasilitas hidup yang dikembangkan untuk periwisata, padahal hal itu berasal dari sumberdaya mereka.  
Kedua, respon kembali ke budaya lokal merupakan yang menolak kedatangan wisatawan untuk membangkitkan budaya lokal untuk melawan masuknya budaya asing. Mereka aktif meningkatkan kesadaran etnik dan kultural disamping juga aktif menolak wisatawan. Respon ini tertutup dengan perkembangan yang terjadi di daerah wisata, karena penduduk lokal merasa mampu bertahan dan menata kembali kehidupannya tanpa tergantung dari kunjungan wisatawan.
Ketiga, respon memelihara batas merupakan bentuk respon masyarakat terhadap wisatawan dengan tidak menolak atau menerima wisatawan sepenuhnya tetapi berada didalam batas-batas tetap memelihara budaya lokal dengan tidak menolak masuknya budaya wisatawan yang masuk. Respon ini merupakan respon yang netral karena tingkat ketergantungan dengan wisatawan sangat kecil dan tidak juga menolak penuh karena penduduk lokal sadar bahwa untuk mengembangkan daerah wisata membutuhkan kunjungan wisatawan.
Keempat, respon revitalisasi budaya lokal merupakan bentuk respon budaya lokal terhadap wisatawan dimana komunitas lokal menerima wisatawan  sebagai sesuatu yang positif, bahkan dapat dijadikan sarana untuk menghidupkan kembali budaya lokal mereka yang telah hancur oleh proses modernisasi yang terjadi di masyarakat luas. Respon semacam ini menyadarkan penduduk lokal bahwa dengan adanya wisatawan maka akan menjadi nilai lebih bagi penduduk sekitar.  
Kelima, respon penerimaan ter- buka (adaptation). Respon penerimaan adalah bentuk respon budaya lokal terhadap wisatawan yang sepenuhnya menerima kedatangan wisatawan tanpa adanya perasaan curiga, dirugi- kan, atau menolak wisatawan.
Bentuk respon itu akan terjadi bervariatif di dalam masyarakat pasca bencana. Pariwisata bencana yang terjadi di Cangkringan ini akan digali berbagai bentuk respon masyarakat lokal dalam merespon wisatawan bencana.
Penelitian ini bersifat kualitatif, dengan menggunakan wawancara men dalam untuk memperoleh keterangan respon perempuan lokal terhadap pengunjung wisata, disamping itu pula dilakukan  observasi.
Data sekunder juga digunakan, yang diperoleh dari buku jurnal, data statistik dari kelurahan, catatan tim relawan, dan spanduk, serta catatan harian penduduk.

HASIL PENELITIAN DAN PEM- BAHASAN
A.    Gambaran Umum Desa Banjar- sari
Dukuh Banjar Sari adalah salah satu pedukuhan yang berada di bawah Desa Glagaharjo, Kecamatan Cang- kringan terletak dekat dengan Gunung Merapi, yang terkenal sangat aktif.
Secara geografis letak Dusun Banjarsari berada di dataran tinggi, yaitu berada pada ketinggian 400 meter di atas permukaan laut dan beriklim seperti layaknya daerah dataran tinggi di daerah tropis dengan cuaca sejuk sebagai ciri khasnya. Sehingga tidak jarang di daerah ini sering hujan. Desa Glagaharjo dihuni oleh 1.204 KK  sebanyak 3.724 Jiwa.
Sedangkan dukuh Banjarsari yang diketuai oleh bapak Sogiman berjumlah 129 KK yang terdiri dari 221 orang yang berjenis kelamin laki-laki dan 228 orang yang berjenis kelamin  perempuan. Sebanyak 70 KK yang termasuk rumah tangga miskin. 
Jumlah keseluruhan jumlah penduduk tersebut di ambil dari pendataan terbaru setelah terjadinya erupsi merapi. Dari data yang di dapat tingkat pendidikan di Desa ini tergolong rendah, yakni penduduk yang berhasil menyelesaikan sekolah tingkat dasar adalah 25% saja, sementara sisanya tidak sekolah.
Fasilitas sarana fisik di Dusun Banjarsari cukup memadai. Jalan yang sudah di aspal dapat diakses masyarakat setempat sampai menuju ke Kecamatan Cangkringan.
Di samping itu terdapat juga satu buah masjid disinilah warga melaku- kan kegiatan rutin keagamaan.
Berbagai bentuk kegiatan sosial ataupun formal, masyarakat Banjarsari selalu bermusyawarah untuk menentu- kan siapa pemimpinnya, hal ini merupakan kebiasaan yang sudah turun temurun dilakukan.
Biasanya mereka akan memilih siapa yang dianggap layak yang akan dijadikan panutan bagi mereka. Kelayakan ini dapat dilihat dari kepandaian mengemong warga, dapat dijadikan teman, saudara, dan orang tua dalam keadaan apapun. Sifat kekeluargaan lebih dikedepankan untuk menjaga ketentraman kehidupan warga.

B.     Ruang Sosial laki-laki dan Perempuan
Konstruksi gender telah di- lembagakan dalam berbagai pranata sosial di dalam keluarga dan di dalam masyarakat, serta diwujudkan dalam status dan peranan masing-masing individu maupun kelompok.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, dalam hal pembagian kerja dalam rumah tangga, masih menunjukkan perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan. Perempuan biasanya mengerjakan pekerjaan yang berhubungan dengan ketelitian dan kesabaran, yaitu memasak, mencuci, mengasuh anak, membersihkan rumah, dan lain-lain yang bersifat domestik.
Sementara laki-laki mengerjakan pekerjaan yang membutuhkan kekuatan fisik, yaitu membangun rumah, memperbaiki rumah, mencari pakan ternak, mencari pasir dan sebagainya.
Meskipun demikian beberapa contoh jenis pekerjaan yang disebutkan itu seringkali juga dikerjakan baik oleh laki-laki maupun perempuan.
Misalkan ibu SR mengemukakan bahwa dia sering juga mencari rumput ke pegunungan untuk ternaknya (Wawancara, 24 April 2011). Sedangkan  suaminya memasak di dapur karena kebetulan makanan tidak disiapkan oleh ibu SR sebelum dia mencari rumput.
Demikian juga ibu WR membawa ember besar untuk mengangkut air dari tempat penampungan air bersih yang merupakan bantuan dari pemerintah daerah untuk masyarakat pasca erupsi merapi. Pekerjaan ini terhitung sangat berat, namun ibu WR melakukannya dengan senang hati untuk memenuhi kebutuhan air minum di rumahnya (Wawancara, 24 April 2011). 
Di daerah lokasi tidak ditemukan adanya kecenderungan dominasi - subordinasi antara perempuan dan laki-laki.
Warga Banjarsari juga masih menganut nilai adat yang tradisional dalam bidang pendidikan. Bagi mereka yang wajib sekolah tinggi adalah seorang laki-laki, hal ini disebabkan karena nantinya yang akan menjadi tulang punggung adalah anak laki-laki, sementara anak perempuan bertugas sebagai pendamping suami dan mengurus suami.
Oleh sebab itu bagi masyarakat di sini, anak perempuan tidak perlu mengenyam pendidikan yang tinggi, karena akhirnya akan turun ke dapur juga. Jadi anak perempuan di lereng Gunung merapi hanya mengenyam pendidikan dasar saja.
Hal ini selain disebabkan adanya nilai adat yang masih berlaku juga diperkuat oleh keadaan ekonomi yang sangat terbatas. Dengan demikian anak perempuan disosialiasikan dengan pekerjaan yang bersifat domestik saja, dan akhirnya akan perempuan mengambil nikah dalam usia muda, walau pun secara hukum sudah memenuhi syarat. 
Di samping itu anak perempuan juga masih sangat terbatas geraknya, karena anak perempuan banyak membawa “aib” bagi keluarga, karena anak perempuan terhitung sangat rentan akan pergaulan muda-mudi.
Anak perempuan akan di pandang rendah bila anak perempuan memasuki pergaulan yang salah. Demikian halnya dengan status anak perempuan yang tidak menikah atau menikah tapi tidak mempunyai anak.
Perempuan harus setia dan mengabdi penuh kepada suami, termasuk juga menentukan tempat tinggal. Seorang tidak mempunyai suara untuk menentukan pindah rumah atau memilih tempat di luar keputusan suami.
Anggapan suwargo nunut neraka katut, tidak boleh di bantah oleh seorang istri. Sementara seorang suami akan merasa sempurna kalau mempunyai lima hal: wisma (rumah), turangga (kuda), kukila (burung), curiga (keris), dan wanita.
Dengan demikian konstruksi gender yang dibangun oleh masyarakat setempat membentuk pola pikir bahwa perempuan berada di bawah naungan seorang suami dan perempuan harus menuruti apa yang diinginkan oleh suami.
Nilai-nilai adat tersebut di sosialisasikan di dalam masyarakat dan di lingkungan keluarga sejak anak itu di lahirkan. Sehingga tidak jarang para perempuan tidak memberikan respons yang berlebihan terhadap adanya konstruksi gender ini, sehingga kegiatan mereka dibatasi oleh kuatnya adat yang masih membingkai kehidupan mereka. 
Kegiatan sosial dan keagamaan yang ada di Cangkringan juga berbagai kegiatan.
Dalam kegiatan sosial masih dikenal dengan sebutan rewang. Rewang disini menunjukkan bahwa masyarakat masih kuatnya kekeluargaan. Dalam hal budaya rewang, perempuan biasanya membantu dalam hal-hal yang bersifat domestik, sedangkan laki-laki membantu dalam hal yang sifatnya fisik yang membutuhkan energi.
Namun dalam hal rewang masyarakat melakukan dengan suka rela tanpa membeda-bedakan posisi dan peran yang dijalankan.
                       
C.    Respon Perempuan Lokal Ter- hadap Wisatawan Bencana
Respon perempuan lokal dalam penelitian ini ditangkap dari pandangan perempuan lokal mencakup nilai moral, adat, gaya hidup, sosial keagamaan.
Berdasarkan hasil wawancara mendalam tentang respon perempuan lokal terhadap wisatawan pasca erupsi merapi adalah sebagai berikut:

1.    Respon budaya pada tingkat kognisi
Perempuan lokal umumnya melihat bahwa wisatawan bencana tidak mengancam eksistensi nilai moral penduduk lokal.
Hal ini disebabkan para wisatawan yang berkunjung pada umumnya adalah untuk melihat secara langsung bencana yang menimpa masyarakat sekitar. Oleh sebab itu kehadiran wisatawan tidak menyebabkan menghilangnya moralitas perempuan lokal, karena kesempatan untuk bersenang-senang bagi wisatawan sangat terbatas.
Hal ini dikemukan oleh  informan SR: Pengunjung berdatangan silih berganti, lokasi ini ramai tidak seperti biasanya, namun keramaian ini terasa sepi, karena pengunjung rata-rata diam. Tidak banyak kata yang terungkap kepada kami, selain hanya berkata: yang sabar. Kedatangan mereka membawa kekuatan bagi kami karena mereka merasakan apa yang kami rasakan (wawancara, 1 Juni 2011).
Dengan demikian bahwa kehadiran wisatawan tidak menyebabkan menurunnya moralitas para perempuan lokal namun justru memperkuat moralitas mereka sebagai perempuan yang tangguh.
Dilihat dari segi kegiatan keagamaan, para wisatawan tidak menganggu kegiatan keagamaan perempuan lokal. Hal ini terlihat dari rutinitas kegiatan pengajian dari perkumpulan pengajian para perempuan.
Pasca erupsi merapi kegiatan pengajian sempat terhenti selama satu bulan, hal ini dikarenakan kondisi yang belum memungkinkan karena bangunan tertimbun bahan meterial yang berupa pasir dan batu. Dengan kondisi seperti ini kegiatan pengajian terhenti total.
Namun setelah sebulan mereka menempati rumah maka kegiatan pengajian dilanjutkan. Pengajian ini tidak hanya satu dusun saja namun juga dusun yang lain namun mereka tinggal di shelter karena rumah mereka tidak dapat di huni. Pengajian ini rutin dilakukan setiap minggu sekali.
Meskipun ada diantara informan yang merasa tidak nyaman melakukan kegiatan pengajian karena banyak pengunjung melihat kegiatan mereka. Alasannya adalah kegiatan mereka  bukan tontonan,  yang seharusnya tontonan adalah daerah mereka.
Perasaan sensitif dari perempuan lokal tentang kegiatan mereka menjadi tontonan tidak lain karena adanya perasaaan yang trauma karena bencana yang menimpa mereka.
Pada saat bersamaan juga ditanyakan makna secara simbolis yaitu disetiap sudut jalan terlihat tulisan “ merapi bukan tontonan, tapi butuh bantuan”. Makna yang ditulis di papan dan dipasang di setiap sudut jalanan menunjukkan bahwa masyarakat tidak ingin merespon baik terhadap kunjungan wisatawan.
Karena keadaan yang sulit membuat mereka tertutup terhadap dunia luar. Namun setelah dikonfirmasi dengan beberapa informan, tulisan yang ada bukan berarti mereka menolak terhadap kunjungan wisatawan, namun sekedar ingin membagi duka yang dialami oleh masyarakat pasca erupsi merapi.

2.    Respon pada Tingkat Gaya Hidup
Kehadiran para wisatawan ke lokasi pasca bencana walaupun kunjungan wisatawan sangat singkat, namun dapat berpengaruh kepada perempuan lokal, baik itu perubahan yang berdampak positif atau justru sebaliknya dapat menyebabkan dampak negatif.
Dalam temuan penelitian ini terlihat bahwa respon perempuan lokal terhadap gaya hidup wisatawan tidak semua diadopsi, namun perempuan lokal tetap menyesuaikan keadaan mereka sebagai korban gempa.
Hal ini disebabkan keterbatasan fasilitas ataupun karena gaya hidup sebagai perempuan yang merasa cukup, sehingga pengaruh perilaku wisatawan tidak berpengaruh negatif. Gaya hidup yang dibawa oleh wisatawan mencakup antara lain perilaku wisatawan, gaya berpakaian, berempati dan suka menolong.
Perilaku saat mengunjungi daerah wisata pasca bencana, membawa status sosial yang sangat berbeda dengan perempuan lokal. Perilaku yang ditunjukkan oleh para wisatawan yang dapat ditangkap seperti perilaku konsumtif, boros, dan tidak bisa menempatkan sebagai wisatawan bencana.
Dengan demikian pada dasarnya wisatawan tidak membawa pengaruh negatif bagi perempuan lokal, karena rata-rata pengunjung tidak menunjukkan perilaku yang berlebihan, baik dari penampilan ataupun perilaku yang dilontarkan melalui sikap.
Pengunjung wisatawan kelihatan hanya tertegun dalam melihat daerah yang sudah kering dan hangus akibat adanya erupsi merapi. Mereka juga tidak banyak berhubungan langsung dengan penduduk lokal, karena pada saat ramai kunjungan, tidak bisa lagi membedakan mana yang pengunjung dan penduduk lokal. Oleh sebab itu perilaku yang muncul dari wisatawan tidak membawa berbagai dampak yang negatif.
Uraian informan SR tersebut menunjukkan bahwa kehadiran pengunjung ke daerah pasca bencana, tidak menimbulkan dampak negatif bagi perempuan lokal, hal ini disebabkan oleh karekter perempuan lokal sudah terbiasa menghadapi berbagai perilaku dari pengunjung.
Di samping itu adanya sikap yang terbuka dan keinginan untuk bersikap akomodatif membuat mereka tidak ada konflik dengan para pengunjung. Sikap yang ramah, pandai membawa diri serta kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan baru dan pengunjung yang baru membuat daerah ini semakin ramai untuk dikunjungi.
Oleh sebab itu bagi perempuan lokal kehadiran pengunjung tidak menimbulkan hal-hal yang buruk yang dapat mempengaruhi pola perilaku mereka.
Sikap empati yang ditunjukan oleh para wisatawan mempengaruhi sedikit banyak terhadap kehidupan perempuan lokal. Hal ini terlihat bahwa tingkat keprihatian pengunjung dapat dirasakan oleh perempuan lokal.
Perempuan lokal pada dasarnya tidak menjaga jarak akan kehadiran wisatawan, namun karena para wisatawan berinteraksi dengan perempuan lokal, di antara perempuan itu merasa bahwa dirinya semakin sulit.
Hal ini dapat terlihat pada saat perempuan menceritakan kembali kejadian-kejadian yang telah dialami oleh mereka. Bagaimana mereka juga hidup di pengungsian, dan bagaimana keadaan mereka sesampai di lokasi tempat mereka tinggal.
Namun berbeda lagi pendapat informan DR, dengan hadirnya pengunjung yang menunjukkan rasa empati membuat energi baru bagi motivasi mereka, karena mereka bisa berbagi cerita duka dan mereka tidak merasa sendiri dalam menghadapi masa-masa sulit seperti ini. Mereka lebih dihargai sebagai manusia.
Pada umumnya wisatawan yang datang tidak saja melihat daerah yang terkena bencana, namun lebih dari itu biasanya mereka menolong baik material dan non material. Sikap pengunjung ini sangat membantu penghidupan perempuan lokal.
Walaupun mereka mendapatkan bantuan dari pemerintah, namun jumlahnya masih belum memadai, oleh sebab itu sikap menolong dari pengunjung sangat disambut gembira oleh para perempuan lokal.

D.    Wisatawan dan Pembentukan Tata Nilai
Kehadiran wisata pengunjung membawa tidak saja kekuatan baru bagi penduduk, tetapi juga telah mengeser cara pandang masyarakat lokal dalam memposisikan perempuan.
Pandangan yang telah terbudaya akan peran dan posisi perempuan telah membentuk citra bahwa dunianya perempuan adalah tidak jauh dari sektor domestik, sehingga perempuan lokal hanya bersifat pasif dan tunduk akan budaya patriarkhi.
Namun pasca erupsi, pandangan yang bersifat tradisional tersebut telah mengalami perubahan. Perempuan lokal, tanpa dimobilisasi turut ber- partisipasi dalam berbagai kegiatan yang berbentuk publik.
Mereka menginisiasi usaha baru yang jauh berbeda dari kegiatan mereka di masa sebelum bencana yang merupakan ibu rumah tangga dan melaksanakan pekerjaan di rumah seperti mencari makan ternak, dan memberi makan ternak sapi.
Pasca bencana erupsi merapi, para perempuan lokal melakukan usaha yang sifatnya pelayanan pada pengunjung wisata bencana antara lain menjual bensin, menjual souvenir, menjual minuman, dan penyewaan jasa berupa guide wisata bencana. 
Tradisi masyarakat di lereng merapi masih sangat kuat budaya patriarkhi sehingga menyebabkan perempuan dianggap sebagai the second sex, yang tidak  mempunyai kekuatan secara ekonomi, sosial dan budaya. Pemahaman itu terjadi selama bertahun-tahun ditambah lagi dengan munculnya berbagai pendampingan yang diberikan oleh pemerintah atau pun LSM baik selama mereka di pengungsian ataupun sudah berada di tempat tinggal mereka.
Adanya bantuan dan pendam- pingan ini menambah panjang sejarah bahwa perempuan itu adalah makhluk yang lemah, yang harus dilindungi, rentan akan bencana dibanding laki-laki, dan berbagai anggapan-anggapan lain yang akhirnya menyudutkan perempuan.
Sebagai dampaknya perempuan di sekitar lereng merapi tidak pernah disertakan dalam berbagai kegiatan-kegiatan seperti dalam rapat desa, atau kegiatan yang bersifat menentukan regulasi terkait dengan pengembangan daerah mereka, kalaupun mereka disertakan, maka bentuk partisipasi mereka hanya berkutat di wilayah domestik, seperti menyediakan makan dan minum, mengurusi tempat yang akan dijadikan rapat, dan duduk mendengarkan berjalannya rapat.
Oleh sebab itu peran mereka dalam berbagai bidang sangat minim, kalaupun perempuan berpartisipasi maka sifatnya hanya membantu para suami.
Berbagai ketrampilan yang dimiliki oleh perempuan lokal secara langsung sedikit banyak dipengaruhi oleh kehadiran dari wisatawan bencana, karena mereka yang berhubungan langsung dengan wisatawan.
Mereka juga menjadi tuan rumah bagi pengunjung wisata, karena pada saat terjadinya kunjungan wisata, kaum laki-laki tidak berada di tempat, dengan berbagai urusan seperti bekerja menggali pasir ataupun bekerja di bidang lain.
Dengan demikian perempuan mempunyai posisi yang kuat dalam bersentuhan langsung dengan para wisatawan bencana.
Perempuan lokal daerah pasca bencana berperan sebagai pedagang yang melayani para wisatawan bencana, seperti berjualan minuman, souvenir, dan bensin.
Selain itu mereka juga dapat berperan menjadi guide lepas, yang mengantarkan para pengunjung dan memberikan keterangan-keterangan terkait dengan terjadinya bencana.
Di samping itu juga perempuan menjadi pengelola organisasi yang mereka bentuk sendiri. Hal ini menjadi tatanan baru bagi perempuan lokal yang sebelumnya tidak ditemukan aktivitas seperti ini.

KESIMPULAN
Dari temuan hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa, pada dasarnya perempuan lokal tidak menolak kehadiran wisatawan baik domestik maupun mancanegara terhadap kunjungan.
Perempuan juga tidak terpengaruh terhadap budaya, gaya hidup dan perilaku dari wisatawan bencana. Respon yang diberikan oleh perempuan lokal lebih bersifat terbuka dalam berbagai hal, dan juga mengembangkan kebudayaan lama yang mereka anut.
Hal ini dapat terlihat bahwa adat yang kuat yang tadinya membelenggu kegiatan mereka, telah mengalami pergeseran pasca bencana erupsi merapi. Berbagai gerakan sosial dilakukan oleh perempuan lokal baik dalam bidang sosial, ekonomi dan budaya dan hal ini memperoleh dukungan dari berbagai pihak seperti keluarga dan masyarakat setempat.
Sikap yang terbuka dalam menerima kunjungan wisatawan bencana tidak membahayakan kehidupan para perempuan lokal, atau membuat kesenjangan sosial sehingga dapat menyebabkan kecemburuan sosial.
Hal ini tidak terjadi karena pada dasarnya perempuan lokal mempunyai modal sosial yaitu adanya sifat yang terbuka dan tidak pernah menganggap curiga pada pendatang. Demikian juga dalam merespon berbagai sikap yang muncul dalam menghadapi wisawatan, perempuan lokal tidak terpengaruh apalagi dapat merusak pola tatanan kehidupan mereka.
Hal ini juga disebabkan karena kemampuan mereka dalam berkomunikasi dan kecepatan dalam mengatasi persoalan hidup yang mereka hadapi termasuk juga dalam kemampuan perempuan lokal dalam menangkap peluang untuk mempertahankan hidup mereka.
Kehadiran wisawatan bencana menjadikan energi baru Seperti mereka merasa tidak sendiri dalam menjalankan kehidupan yang berat akibat adanya erupsi merapi.
Di samping itu mereka juga mempunyai semangat untuk maju karena daerah wisata yang mereka dambakan tidak punah bahkan membentuk daerah wisata baru. Oleh sebab itu kesempatan-kesempatan baru juga bermunculan termasuk kekuatan yang mereka miliki.
Dengan adanya respon yang terbuka terhadap pengunjung wisata bencana, telah pula membentuk perubahan dalam posisi dan peran perempuan dalam menghadapi konstruksi gender yang selama ini membelenggu.
Hadirnya perempuan lokal disektor publik, juga telah mendapat legitimasi oleh masyarakat sekitar khususnya kaum laki-laki, dengan demikian peran dan posisi perempuan telah mengalami pergeseran dari pengklaiman terhadap pendomestikan.
Sehingga  perempuan lokal telah meninggalkan konstruk yang telah bertahun-tahun mengakar dalam pelabelan tersebut. Dengan demikian perempuan lokal  telah membentuk energi baru yaitu  posisi perempuan telah menguat pasca erupsi merapi.


DAFTAR PUSTAKA

Dogan, Z.H. 1989. “Forms of adjust- ment, Sociocultural Impacts of Touris”, Annual of Tourism Research, Vol 16 pp. 216 – 236.
Nugroho, H. 1996. “Turisme dan Respon Budya Lokal”.  Laporan Penelitian. Yogyakarta: Gadjah Mada University.