Oleh:
Soni
Gunawan Somali
Jurusan
Ilmu Pemerintahan Universitas
Langlangbuana Bandung
e-mail:
sogunsomali66@yahoo.co.id
ABSTRAK
Etika
pemerintahan meliputi etika aparatur pemerintah dalam bernegara, dalam
berorganisasi, bermasyarakat, terhadap diri sendiri, dan terhadap sesama
aparatur yang wajib dilaksanakan oleh aparatur pemerintah. Etika Aparatur
Pemerintah mewujudkan aparatur yang berdisiplin, aparatur
yang menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam pelaksanaan tugas, termasuk di dalamnya menaati peraturan disiplin aparatur pemerintah/ pegawai negeri sipil, di mana aparatur pemerintah yang beretika tidak akan melanggar peraturan disiplin dan tidak akan dijatuhi hukuman disiplin.
yang menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam pelaksanaan tugas, termasuk di dalamnya menaati peraturan disiplin aparatur pemerintah/ pegawai negeri sipil, di mana aparatur pemerintah yang beretika tidak akan melanggar peraturan disiplin dan tidak akan dijatuhi hukuman disiplin.
Kata kunci: Etika
pemerintahan, aparatur, disiplin.
ABSTRACT
Government
ethics includes ethics in state government apparatus, organizational and
societal, must be implemented by government officials. Apparatus
Government Ethics embodies disciplined apparatus, the apparatus which obey the laws
and regulations in force in the execution of tasks. Government officials obey
the rules of civil servants disciplinary, in which they will not violate
ethical rules of discipline and will be subject to disciplinary action.
Keywords: Ethics
administration, personnel, discipline
PENDAHULUAN
Etika pemerintahan diperlukan dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Etika pemerintahan terbentuk sebagai suatu bentuk tuntutan
masyarakat yang menghendaki agar jalannya pemerintahan berjalan sesuai dengan
prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Nilai-nilai yang ada dan berkembang dalam masyarakat
akan mewarnai sikap dan perilaku pemerintah, di pandang etis atau
tidak etis dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan sesuai dengan
prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dan merupakan upaya mengikis budaya
paternalistik yang berjalan pada masa pemerintahan orde baru.
Pelaksanaan etika pemerintahan dalam penyelenggaraan
pemerintahan di Indonesia perlu disertai dengan sanksi bagi setiap aparat
pemerintah yang melakukan kesalahan mengingat dalam konsep etika tidak dikenal
adanya sanksi yang bersifat fisik tetapi sanksi yang bersifat sosial.
Pemerintahan yang baik merupakan suatu kondisi yang
dicita-citakan oleh seluruh masyarakat Indonesia guna mewujudkan suatu
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945.
Kegiatan membangun pemerintahan yang baik, tidak
saja menjadi tugas pemerintah, tetapi juga melibatkan seluruh lapisan
masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Keberhasilan mewujudkan suatu pemerintahan yang baik
sangat ditentukan oleh sejauh mana moral dan etika yang dimiliki pemerintah
sebagai pedoman bagi keberhasilan pembangunan nasional. Fenomena yang sering
terlihat saat ini adalah masih adanya penyalahgunaan wewenang oleh aparat
pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam bentuk tindakan korupsi,
kolusi dan nepotisme dalam segala bidang.
PENGERTIAN ETIKA
Kata etika sering kita dengar di dalam percakapan
sehari-hari seperti dalam lingkungan tempat tinggal, kantor, sekolah,
pemberitaan koran, majalah dan sebagainya.
Secara etimologis, kata etika berasal dari bahasa
Yunani, yaitu “ethos” yang berarti
adat istiadat, kebiasaan, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam
bentuk jamak, etika berasal “ta etha”
yang berarti adat kebiasaan.
Dalam perkembangan selanjutnya dari bahasa Perancis
kuno, kata etika berasal dari kata “ethique”
yang berarti sejumlah prinsip moral.
Dalam
Ensiklopedia Indonesia, etika disebut sebagai ilmu tentang kesusilaan yang
menentukan bagaimana patutnya manusia hidup dalam masyarakat, apa yang baik dan
apa yang buruk. Dari pengertian tersebut
dapat disimpulkan bahwa etika selalu dihubungkan dengan adat istiadat atau
kebiasaan manusia, baik itu merupakan kebiasaan yang baik maupun kebiasaan yang
menyimpang atau kebiasaan buruk, bagaimana manusia seharusnya bersikap tindak
di dalam berinteraksi dengan manusia lainnya.
Bertens (2011) memberikan tiga pengertian pada kata
etika, yaitu: Pertama, kata etika bisa
dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua, kata etika berarti
juga kumpulan asas atau nilai moral. Maksud kumpulan asas atau nilai moral di
sini adalah kode etik yang disepakati di antara anggota suatu
kelompok atau organisasi. Ketiga, kata etika mempunyai
arti ilmu tentang yang baik atau yang buruk. Kata etika disini sama artinya
dengan filsafat moral.
Berdasarkan uraian tentang kata etika tersebut di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa etika adalah:
1.
Nilai-nilai
atau norma yang menjadi pedoman bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur
tingkah lakunya.
2.
Norma
yang disepakati oleh anggota kelompok atau organisasi untuk menjalankan
organisasinya.
3.
Ilmu
yang mempelajari tentang baik atau yang menyimpang.
Fungsi etika adalah untuk membina kehidupan yang
baik berdasarkan nilai-nilai moral tertentu.
Hal tersebut mengingat bahwa kehidupan manusia seperti saat ini bersifat
multi dimensional yang meliputi bidang sosial, ekonomi, politik, kebudayaan dan
sebagainya, yang kesemuanya memerlukan etika dalam mencapai tujuannya, termasuk
di dalamnya kehidupan pemerintah.
Dilihat dari perspektif pemerintahan, salah satu makna
yang terpenting tentang etika adalah bahwa etika sebagai nilai-nilai dan
norma-norma moral yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya.
Dalam pengertian ini, etika berkaitan dengan
kebiasaan yang baik, tata cara hidup yang baik, baik bagi dirinya sendiri, baik
bagi orang lain, dan baik bagi masyarakat.
Nilai-nilai dalam etika di sini dipahami sebagai nilai yang
dipergunakan sebagai pedoman, petunjuk, orientasi, arah bagaimana manusia harus
hidup baik sebagai manusia, di mana
etika berisi perintah yang harus dipatuhi dan larangan yang tidak dapat
dilanggar, tentang salah atau benar, tentang baik dan buruk perilaku manusia.
Dengan demikian, etika dapat dipandang sebagai suatu
sistem nilai yang dipahami sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral yang
dipergunakan sebagai pedoman, petunjuk, orientasi, arah bagaimana seseorang
atau suatu kelompok manusia harus bertindak, berperilaku dalam menjalin
hubungan dengan manusia lainnya dalam suatu kelompok.
ETIKA PEMERINTAHAN
Etika dalam lingkup pemerintahan saat ini sering
menjadi pembicaraan terutama dalam mewujudkan aparatur yang bersih dan
berwibawa. Kecenderungan atau gejala yang muncul saat ini adalah banyak
birokrat sebagai aparatur pemerintah dalam melaksanakan tugasnya sering
melanggar aturan yang telah ditetapkan.
Etika dalam penyelenggaraan pemerintahan sangat
terkait dengan moralitas dan mentalitas aparatur dalam melaksanakan tugas-tugas
pemerintahan yang tercermin dari fungsi pokok pemerintahan, yaitu fungsi
pelayanan, fungsi pengaturan atau regulasi dan fungsi pemberdayaan
masyarakat. Etika pemerintahan berkaitan
dengan bagaimana aparatur pemerintah dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya
sesuai dengan ketentuan yang seharusnya dan semestinya pantas untuk dilakukan dan
wajar karena telah ditentukan atau diatur untuk ditaati dan dilaksanakan.
Permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah adalah
bagaimana proses penentuan etika dalam penyelenggaraan pemerintahan, siapa yang
akan mengukur seberapa jauh etis atau tidak, bagaimana kondisi saat itu dan
daerah tertentu yang mengatakan bahwa sesuatu dianggap etis atau dapat
dibenarkan, tetapi di tempat lain belum tentu.
Secara khusus dapat dikatakan bahwa etika dalam penyelenggaraan pemerintahan
sangat tergantung pada seberapa jauh pelanggaran yang terjadi di tempat atau di
daerah mana, kapan dilakukannya dan pada saat yang bagaimana, serta sanksi apa
yang akan diterapkan, sanksi sosial atau sanksi moral ataukah sanksi hukum.
Saat ini etika menjadi sangat penting dan mendasar
karena etika merupakan landasan bagi manusia organisasional dalam menentukan
tujuan dan melaksanakan tujuan. Secara
garis besar, etika pemerintahan berada diantara etika profesi dan etika
politik. Asumsi yang digunakan adalah bahwa seorang aparatur adalah orang yang
harus menerapkan ilmu manajemen dan organisasi secara profesional. Dia harus
mampu memecahkan masalah-masalah taktis dengan baik serta mampu mengelola
organisasi secara efisien. Oleh karena itu ia dituntut untuk memiliki kepekaan
yang tinggi terhadap masalah-masalah politis. Dilema yang dihadapi oleh
aparatur bukan sekedar bagaimana supaya organisasi publik dapat berjalan secara
efisien, tetapi juga bagaimana supaya organisasi itu dapat memberikan pelayanan
yang memuaskan publik.
Menurut Tamin (2004), ada 5 (lima) permasalahan yang
dihadapi bangsa Indonesia dan satu sama lain saling berkaitan, belum dapat
diatasi secara menyeluruh, yaitu:
1.
Fakta
dan gejala disintegrasi bangsa serta di sana-sini terjadi
konflik sosial.
2.
Lemahnya
penegakkan hukum dan hak asasi manusia.
3.
Lambatnya
pemulihan ekonomi.
4.
Rendahnya
kesejahteraan rakyat, meningkatnya penyakit sosial dan lemahnya ketahanan
budaya nasional.
5.
Kurang
berkembangnya potensi pembangunan daerah dan masyarakat.
Thompson (2002) mengemukakan bahwa seorang pejabat
harus bertanggung jawab secara moral atas suatu produk kebijakan jika:
1.
Tindakan
atau kelalaian pejabat itu merupakan sebab dari produk kebijakan.
2.
Tindakan
atau kelalaian ini tidak dilakukan dalam ketidak-tahuan atau di bawah tekanan.
Alasan pertama merujuk kepada tanggung jawab kausal,
sedangkan alasan kedua merujuk kepada tanggung jawab atas kemauan sendiri.
Kriteria tanggung jawab kausal dapat dikatakan lemah, sedangkan tanggung jawab
atas kemauan sendiri menetapkan bahwa seseorang bertanggung jawab atas suatu
tindakan sejauh dia dapat melakukan yang sebaliknya.
Menilai tindakan seseorang apakah sudah sesuai
dengan norma etika merupakan bukan hal yang mudah. Pada umumnya orang menilai
suatu perbuatan disebut bermoral atau beretika apabila tindakan atau perbuatan
tersebut memiliki tujuan yang baik, tidak merugikan orang lain maupun dirinya
sendiri, tidak mementingkan dirinya sendiri serta menjunjung tinggi harkat dan
martabat sebagai manusia.
Kumorotomo (2005) mengutip pendapat Flippo yang
mengemukakan 10 bentuk penyalahgunaan wewenang yang mungkin dilakukan oleh
seorang pegawai negara atau aparatur selama menjalankan tugasnya, yaitu:
1.
Ketidakjujuran,
dimana para pejabat negara selalu mempunyai peluang untuk melakukan
tindakan-tindakan yang tidak jujur dalam tugas-tugasnya. Berbagai pungutan liar
adalah contoh paling nyata yang sering kita jumpai.
2.
Perilaku
buruk, di mana
dalam peraturan-peraturan yang berlaku sering terdapat celah-celah yang
memungkinkan para pejabat yang kurang memiliki moral baik untuk melakukan
penyimpangan. Tindakan penyuapan atau gratifikasi, pemberian uang sogok atau
suap merupakan contoh perilaku buruk.
3.
Konflik
kepentingan, di mana
pejabat publik seringkali dihadapkan pada posisi yang dipenuhi konflik
kepentingan. Dalam situasi seperti ini, hukum sering tidak dapat berfungsi
sebagaimana mestinya.
4.
Melanggar
peraturan perundang-undangan yang berlaku, di mana seorang pejabat
mungkin tidak pernah menerima uang sogok, uang pelicin dan sebagainya. Tetapi
bisa saja terjadi bahwa tanpa sadar dia telah bertindak menyalahi wewenang yang
dimilikinya dalam arti dia tidak melakukan tindakan-tindakan yang buruk, tetapi
dia telah melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5.
Perlakuan
tidak adil terhadap bawahan, di mana
seorang pegawai sering diberhentikan oleh atasannya dengan alasan yang tidak
berhubungan dengan tindakannya yang tidak efisien atau kesalahan lainnya.
Mungkin pejabat yang berwenang tersebut memiliki alasan-alasan yang kuat untuk
memberhentikannya, tetapi bawahan mengetahui alasan tersebut setelah ia
diberhentikan. Di sini
pejabat tersebut telah menghapus peluang bawahan untuk memperbaiki diri, bahkan
rasa suka atau tidak suka turut mempengaruhi tindakan pemberhentian tersebut.
6.
Pelanggaran
terhadap prosedur, di mana
prosedur yang ditetapkan pemerintah kadang-kadang tidak tertulis dalam
peraturan perundang-undangan, tetapi sesungguhnya prosedur tersebut memiliki
kekuatan seperti peraturan perundang-undangan sehingga setiap instansi akan
lebih baik jika melaksanakannya secara konsisten.
7.
Tidak
menghormati kehendak pembuat peraturan perundang-undangan di mana pejabat negara
dalam tindakannya telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan prosedur
yang berlaku, namun tidak mungkin bahwa mereka sebenarnya gagal dalam mengikuti
kehendak pembuat peraturan. Peraturan perundang-undangan dimaksudkan untuk
memelihara kepentingan umum merupakan hal yang harus dipegang oleh pejabat
negara.
8.
Inefisiensi
atau pemborosan, di mana
inventaris adalah milik negara yang juga berarti milik masyarakat. Oleh karena
itu, pemborosan dana, waktu, barang atau sumber daya milik organisasi tanpa
alasan yang dapat dipertanggungjawabkan adalah tindakan yang tidak dapat
dibenarkan.
9.
Menutup-nutupi
kesalahan, di mana
pejabat publik seringkali menolak untuk memberikan keterangan yang sesungguhnya
kepada badan-badan legislatif. Dalam
organisasi, mungkin telah terjadi penyelewengan-penyelewengan berat, tetapi
pejabat bisa saja menutup mata dari penyelewengan tersebut. Hal ini merupakan tindakan yang melanggar
norma etika.
10.
Kegagalan
mengambil prakarsa, di mana
pejabat-pejabat sering gagal dalam membuat keputusan yang positip dalam
melaksanakan kewenangan menurut hukum. Tidak adanya prakarsa dapat disebabkan
oleh: ketakutan terhadap kritik yang mungkin terlontar meskipun organisasi
sangat memerlukan perbaikan, perasaan tidak aman untuk berbuat karena enggan
mengambil resiko, dan perasaan bahwa mengambil prakarsa berarti menambah
pekerjaan.
KENDALA PENERAPAN
ETIKA
Meskipun dalam perkembangannya telah terjadi pergeseran
paradigma etika dalam penyelenggaraan pemerintahan, tidak berarti bahwa
paradigma etika mudah diimplementasikan. Hal ini terjadi karena dalam praktek
kehidupan sehari-hari masih banyak terdapat dilema atau konflik pragmatis yang
cenderung menyangkut pandangan absolutis versus relativis dan adanya hierarki
etika.
Dalam
penyelenggaraan pemerintahan, dikenal norma-norma yang bersifat absolut dan
relatif diterima orang. Norma-norma yang bersifat absolut cenderung diterima
dimana-mana atau dapat dianggap sebagai universal
rules. Norma-norma ini ada dan terpelihara sampai saat ini di semua atau
hampir di semua masyarakat di dunia yang berfungsi sebagai penuntun perilaku
dan standar pembuatan keputusan.
Kaum deontologis sebagai salah satu pendekatan dalam
etika menilai bahwa norma-norma ini memang ada hanya saja manusia belum
sepenuhnya memahami, atau masih dalam proses pemahaman. Norma-norma ini
biasanya bersumber dari ajaran agama dan filsafat hidup, dan perlu
dipertahankan karena memiliki pertimbangan atau alasan logis untuk dijadikan
dasar pembuatan keputusan. Misalnya
dalam pelayanan publik atau pelayanan kepada masyarakat diperlukan norma
tentang kebenaran, bukan
kebohongan, pemenuhan janji kepada publik/masyarakat, menjalankan berbagai
kewajiban, keadilan, dsb.,
merupakan justifikasi moral yang semakin didukung masyarakat di mana-mana.
Melalui proses konsensus tertentu, norma-norma tersebut biasanya dimuat dalam
konstitusi kenegaraan yang daya berlakunya relatif lama. Mereka yang yakin
dengan kenyataan ini dapat digolongkan sebagai kaum absolutis.
Sementara itu, ada juga yang kurang yakin dengan
keabsolutan norma-norma tersebut. Mereka digolongkan sebagai kaum relativis.
Kaum teleologist sebagai salah satu aliran pendekatan dalam etika relativis
mengemukakan bahwa tidak ada “universal
moral”. Suatu norma dapat dikatakan baik kalau memiliki konsekuensi atau out come yang baik, yang berarti bahwa
harus didasarkan pada kenyataan. Dalam hal ini kaum relativis berpendapat bahwa
nilai-nilai yang bersifat universal itu baru dapat diterima sebagai sesuatu
yang etis bila diuji dengan kondisi atau situasi tertentu.
Implikasi dari adanya dilema di atas, maka sulit
memberi penilaian apakah aparatur pemerintah telah melanggar nilai moral yang
ada atau tidak, tergantung kepada keyakinannya apakah tergolong absolutis atau
relativis. Hal ini telah menumbuhkan suasana korupsi, kolusi dan nepotisme di
Indonesia.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, dikenal 4
(empat) tingkatan etika, yaitu:
1.
Etika
atau moral pribadi,
yaitu yang memberikan teguran tentang baik atau buruk yang sangat tergantung
kepada beberapa faktor antara lain, pengaruh
orang tua, keyakinan agama, budaya, adat istiadat, dan pengalaman masa
lalu.
2.
Etika
profesi, yaitu serangkaian norma atau aturan yang menuntun perilaku kalangan
profesi tertentu.
3.
Etika
organisasi, yaitu serangkaian aturan dan norma yang bersifat formal dan tidak
formal yang menuntun perilaku dan tindakan anggota organisasi yang
bersangkutan.
4.
Etika
sosial, yaitu norma-norma yang menuntun perilaku dan tindakan anggota
masyarakat agar keutuhan kelompok dan anggota masyarakat selalu terjaga dan
terpelihara. (Shafritz & Russell, 1997).
Dengan adanya empat hirarki etika ini, cenderung
membingungkan aparatur pemerintah seperti ketika menempatkan orang dalam posisi
atau jabatan tertentu, sangat tergantung kepada etika yang dianut oleh pejabat
yang berkuasa. Bila ia dipengaruhi oleh etika sosial, maka ia akan mendahulukan
orang yang berasal dari daerahnya sehingga sering menimbulkan kesan adanya
kegiatan kolusi, korupsi dan nepotisme. Bila ia dipengaruhi oleh etika
organisasi, maka ia akan melihat kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam
organisasi seperti menggunakan sistem senioritas yang mengutamakan mereka yang
paling senior terlebih dahulu, atau mungkin didominasi oleh sistem merit yang
berarti ia akan mendahulukan orang yang paling berprestasi.
Melihat
persoalan etika dalam penyelenggaraan pemerintahan tersebut, maka pada akhirnya
kita sering melihat aparatur pemerintah tergantung kepada seorang aktor kunci
aparatur dan kadang-kadang mereka menyerahkan keputusan akhirnya kepada pihak
lain yang mereka percaya atau segani seperti pejabat yang lebih tinggi, tokoh
kharismatik, orang pintar, dsb.
Secara umum, dalam penyelenggaraan pemerintahan,
yang menjadi kendala atau hambatan dalam menerapkan etika aparatur yaitu:
1.
Jumlah
aparatur yang dianggap terlalu banyak secara kuantitas.
2.
Aparatur
kurang memiliki responsiveness dan responsibilitas.
3.
Rendahnya
kemampuan empati aparatur.
4.
Intensitas
komunikasi antara aparatur yang rendah dan lemah.
5.
Pola
pikir dan tujuan serta kesalahan persepsi dalam memahami fungsi sebagai
aparatur.
6.
Kemahiran
aparatur membuat strategi bertahan untuk melanggengkan keberadaan dirinya pada
jabatan tertentu.
7.
Adanya
tindakan penyimpangan yang terakumulasi secara sistematis.
8.
Adanya
kekhawatiran akan terjebak dalam lingkaran yang tidak berujung pangkal.
Penerapan Etika
Pemerintahan
Berbicara etika pemerintahan tidak dapat dilepaskan
dari peraturan kepegawaian yang mengatur para aparatur. Aparatur pemerintah merupakan sebuah kumpulan
atau organisasi penyelenggara pemerintahan yang terstruktur dari pusat sampai
ke daerah dan memiliki jenjang atau tingkatan yang disebut hirarki. Etika pemerintahan sangat terkait dengan
tingkah laku para aparatur atau birokrasi dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya. Aparatur pemerintah secara konkrit di negara kita adalah pegawai
negeri baik sipil maupun militer, yang secara organisatoris dan hirarkis
melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing sesuai aturan yang telah
ditetapkan.
Etika pemerintahan merupakan bagian dari aturan main
organisasi birokrasi atau pegawai negeri yang kita kenal sebagai kode etik
pegawai negeri, diatur dalam undang-undang kepegawaian. Kode etik yang berlaku
bagi pegawai negeri sipil disebut Sapta Prasetya Korps Pegawai Republik
Indonesia, dan untuk kelompok tentara nasional Indonesia disebut Sapta
Marga. Kode etik tersebut sering
diingatkan kepada mereka dengan maksud untuk menciptakan kondisi-kondisi moril
yang menguntungkan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan menumbuhkan sikap
mental dan moral yang baik.
Tindak lanjut atau perwujudan dari etika
pemerintahan adalah kode etik yang lebih mengikat atau mengatur pemerintah agar
lebih beretika dan bermoral. Namun
sampai sekarang sering kita mendengar belum diketahui sampai sejauhmana dan
belum dapat dilihat secara jelas apakah perbuatan seseorang melanggar etika
atau kode etik karena belum jelas batasannya dan sanksinya.
Kode etik aparatur pemerintah disusun dengan maksud
untuk membentuk atau terciptanya aparatur pemerintah yang lebih jujur, lebih
bertanggung jawab, lebih berdisiplin, lebih rajin serta memiliki moral yang
baik serta terhindar dari perbuatan tercela seperti korupsi, kolusi dan
nepotisme.
Untuk mewujudkan aparatur pemerintah yang lebih
beretika, maka diperlukan usaha dan latihan ke arah tersebut serta penegakkan
sanksi yang jelas dan tegas kepada mereka yang melanggar kode etik atau aturan
yang telah ditetapkan.
Adapun aturan-aturan pokok yang mengikat aparatur
pemerintah guna menjadi acuan kode etik aparatur pemerintah adalah sebagai
berikut:
1.
Aturan
mengenai pembinaan pegawai negeri sipil
Untuk menjamin terselenggaranya tugas-tugas umum
pemerintahan secara berdaya guna dan berhasilguna dalam rangka mewujudkan
masyarakat Indonesia yang adil dan makmur baik material maupun spiritual,
diperlukan adanya aparatur yang penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945, bersih, berwibawa,
bermutu tinggi dan sadar akan tugas serta tanggung jawabnya, maka Undang-Undang Nomor 43 tahun
1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian
telah menggariskan dasar yang kuat untuk mewujudkan aparatur pemerintah yang
baik melalui pengaturan kedudukan dan kewajiban aparatur.
2.
Aturan
mengenai kedudukan pegawai negeri sipil
Pegawai negeri sipil merupakan unsur aparatur
negara, abdi negara dan abdi masyarakat yang dengan kesetiaan dan ketaatan
kepada Pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintah, menyelenggarakan tugas
pemerintahan dan pembangunan, pelayanan kepada masyarakat atau regulasi dan memberdayakan
masyarakat. Kesetiaan dan ketaatan tersebut mengandung makna bahwa pegawai
negeri sipil berada sepenuhnya di bawah peraturan yang berlaku.
3.
Penghargaan
pegawai negeri sipil
Kepada pegawai negeri dapat diberikan penghargaan
apabila telah menunjukkan kesetiaan dan prestasi kerja dan memiliki etika kerja
yang baik, maka dianggap berjasa bagi negara dan masyarakat. Bentuk penghargaan
yang diberikan berupa tanda jasa, kenaikan pangkat istimewa yang diiringi
dengan kenaikan gaji sesuai pangkatnya. Tujuan pemberian penghargaan ini adalah
agar mereka dapat menjadi contoh bagi yang lain dalam menjalankan tugas dan
fungsinya.
4.
Keanggotaan
pegawai negeri dalam partai politik
Untuk menjaga netralitas dalam melaksanakan tugas
dan fungsinya agar lebih beretika dan bermoral dan agar terhindar dari
kepentingan partai politik, maka pegawai negeri tidak dianjurkan masuk dalam
politik praktis demi menjaga moralitas yang merupakan etika aparatur.
5.
Peraturan
disiplin pegawai negeri sipil
Ketentuan tentang disiplin pegawai negeri sipil
diatur dalam Peraturan
Pemerintah
Nomor
53 Tahun
2010 tentang disiplin pegawai negeri sipil yang mengatur tentang kewajiban,
larangan, sanksi, tata cara pemeriksaan, tata cara pengajuan keberatan terhadap
hukuman disiplin, dsb.
Dari aturan-aturan
tersebut di atas, permasalahannya adalah kepada penegakkan sanksi atas
pelanggaran etika tersebut, betul-betul dilaksanakan atau ditegakkan kepada
mereka yang melanggar atau hanya sebatas retorika ataupun sanksi sosial saja.
Sanksi sosial hanya efektif apabila aparatur berada di tengah-tengah
masyarakat, sedangkan dalam organisasi birokrasi harus tegas sanksi hukumannya
sesuai aturan yang berlaku.
Jadi selain etika yang berlaku di masyarakat,
aparatur pemerintah memiliki aturan tertentu yang mengaturnya dalam
melaksanakan tugas dan fungsi aparatur agar lebih beretika dan bermoral.
Etika aparatur pemerintah diperlukan dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Etika
pemerintahan terbentuk sebagai tuntutan masyarakat yang menghendaki agar
jalannya pemerintahan dapat berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip
penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Etika aparatur Pemerintah dalam pelaksanaan tugas
dan pergaulan sehari-hari berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004,
antara lain meliputi:
1.
Etika
dalam bernegara.
2.
Etika
dalam berorganisasi.
3.
Etika
dalam bermasyarakat.
4.
Etika
terhadap diri sendiri.
5.
Etika
terhadap sesama aparatur.
KESIMPULAN
Etika pemerintahan meliputi etika aparatur
pemerintah dalam bernegara, dalam berorganisasi, bermasyarakat, terhadap diri
sendiri, dan terhadap sesama aparatur yang wajib dilaksanakan oleh aparatur
pemerintah.
Aparatur pemerintah wajib melaksanakan dan
menerapkan kode etik aparatur pemerintah, dimana apabila aparatur pemerintah
terbukti melakukan pelanggaran kode etik, akan dikenakan sanksi moral, juga
dapat dikenakan tindakan administratif atas rekomendasi Majelis Kode Etik.
Aparatur Pemerintah juga wajib menjunjung tinggi
nilai-nilai dasar yang terkandung dalam pembinaan jiwa korps dan Kode Etik
Aparatur Pemerintah, mengingat nilai-nilai dasar dimaksud merupakan nilai-nilai
yang berkembang dalam kehidupan masyarakat, bangsa, negara dan pemerintah.
Etika Aparatur Pemerintah mewujudkan aparatur yang
berdisiplin, aparatur yang menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku
dalam pelaksanaan tugas, termasuk di dalamnya menaati peraturan disiplin
aparatur pemerintah/pegawai negeri sipil, di mana aparatur
pemerintah yang beretika tidak akan melanggar peraturan disiplin dan tidak akan
dijatuhi hukuman disiplin.
DAFTAR PUSTAKA
Kumorotomo, Wahyudi.
2005. Etika Administrasi Negara. P.T.
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Shafritz, Jay M dan
E.W. Russell. 1997. Introducing Public
Administration. New York, N.Y.: Longman.
Tamin, Feisal. 2004. Reformasi Birokrasi: Analisis Pendayagunaan
Aparatur Negara. Blantika, Jakarta.
Thompson, Dennis F.
2002. Etika Politik Pejabat Negara.
Penerjemah: Benyamin Molan, Edisi Kedua, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
DOKUMEN
Undang-Undang Nomor 43
Tahun 1999 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian.
Peraturan Pemerintah
Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin
Pegawai Negeri Sipil.
Peraturan Pemerintah
Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan
Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil.