Tentang SosioHumanitas Unla

SosioHumanitas Unla merupakan Jurnal Ilmu-ilmu Sosial & Humaniora Universitas Langlangbuana.

Sosiohumanitas berisi karya ilmiah hasil penelitian atau pemikiran berdasarkan kajian literatur yang dimuat dalam bentuk media cetak oleh LPPM Universitas Langlangbuana Bandung.

Materi yang dibahas mencakup masalah dan isu-isu yang aktual mengenai aspek sosial budaya dan kemanusiaan lainnya.

ISSN 1410-9263.

Etika Pemerintahan


Oleh:
Soni Gunawan Somali
Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Langlangbuana Bandung
e-mail: sogunsomali66@yahoo.co.id



ABSTRAK

Etika pemerintahan meliputi etika aparatur pemerintah dalam bernegara, dalam berorganisasi, bermasyarakat, terhadap diri sendiri, dan terhadap sesama aparatur yang wajib dilaksanakan oleh aparatur pemerintah. Etika Aparatur Pemerintah mewujudkan aparatur yang berdisiplin, aparatur
yang menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam pelaksanaan tugas, termasuk di dalamnya menaati peraturan disiplin aparatur pemerintah/ pegawai negeri sipil, di mana aparatur pemerintah yang beretika tidak akan melanggar peraturan disiplin dan tidak akan dijatuhi hukuman disiplin.
Kata kunci:  Etika  pemerintahan, aparatur, disiplin.


ABSTRACT

Government ethics includes ethics in state government apparatus, organizational and societal, must be implemented by government officials. Apparatus Government Ethics embodies disciplined apparatus, the apparatus which obey the laws and regulations in force in the execution of tasks. Government officials obey the rules of civil servants disciplinary, in which they will not violate ethical rules of discipline and will be subject to disciplinary action.
Keywords: Ethics administration, personnel, discipline




PENDAHULUAN
Etika pemerintahan diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Etika pemerintahan terbentuk sebagai suatu bentuk tuntutan masyarakat yang menghendaki agar jalannya pemerintahan berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Nilai-nilai yang ada dan berkembang dalam masyarakat akan mewarnai sikap dan perilaku pemerintah, di pandang etis atau tidak etis dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dan merupakan upaya mengikis budaya paternalistik yang berjalan pada masa pemerintahan orde baru.
Pelaksanaan etika pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia perlu disertai dengan sanksi bagi setiap aparat pemerintah yang melakukan kesalahan mengingat dalam konsep etika tidak dikenal adanya sanksi yang bersifat fisik tetapi sanksi yang bersifat sosial.
Pemerintahan yang baik merupakan suatu kondisi yang dicita-citakan oleh seluruh masyarakat Indonesia guna mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Kegiatan membangun pemerintahan yang baik, tidak saja menjadi tugas pemerintah, tetapi juga melibatkan seluruh lapisan masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Keberhasilan mewujudkan suatu pemerintahan yang baik sangat ditentukan oleh sejauh mana moral dan etika yang dimiliki pemerintah sebagai pedoman bagi keberhasilan pembangunan nasional. Fenomena yang sering terlihat saat ini adalah masih adanya penyalahgunaan wewenang oleh aparat pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam bentuk tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme dalam segala bidang.



PENGERTIAN ETIKA
Kata etika sering kita dengar di dalam percakapan sehari-hari seperti dalam lingkungan tempat tinggal, kantor, sekolah, pemberitaan koran, majalah dan sebagainya.
Secara etimologis, kata etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu “ethos” yang berarti adat istiadat, kebiasaan, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak, etika berasal “ta etha” yang berarti adat kebiasaan.
Dalam perkembangan selanjutnya dari bahasa Perancis kuno, kata etika berasal dari kata “ethique” yang berarti sejumlah prinsip moral.
Dalam Ensiklopedia Indonesia, etika disebut sebagai ilmu tentang kesusilaan yang menentukan bagaimana patutnya manusia hidup dalam masyarakat, apa yang baik dan apa yang buruk.  Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa etika selalu dihubungkan dengan adat istiadat atau kebiasaan manusia, baik itu merupakan kebiasaan yang baik maupun kebiasaan yang menyimpang atau kebiasaan buruk, bagaimana manusia seharusnya bersikap tindak di dalam berinteraksi dengan manusia lainnya.
Bertens (2011) memberikan tiga pengertian pada kata etika, yaitu: Pertama, kata etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua, kata etika berarti juga kumpulan asas atau nilai moral. Maksud kumpulan asas atau nilai moral di sini adalah kode etik yang disepakati di antara anggota suatu kelompok atau organisasi. Ketiga, kata etika mempunyai arti ilmu tentang yang baik atau yang buruk. Kata etika disini sama artinya dengan filsafat moral.
Berdasarkan uraian tentang kata etika tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa etika adalah:
1.        Nilai-nilai atau norma yang menjadi pedoman bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
2.        Norma yang disepakati oleh anggota kelompok atau organisasi untuk menjalankan organisasinya.
3.        Ilmu yang mempelajari tentang baik atau yang menyimpang.

Fungsi etika adalah untuk membina kehidupan yang baik berdasarkan nilai-nilai moral tertentu.  Hal tersebut mengingat bahwa kehidupan manusia seperti saat ini bersifat multi dimensional yang meliputi bidang sosial, ekonomi, politik, kebudayaan dan sebagainya, yang kesemuanya memerlukan etika dalam mencapai tujuannya, termasuk di dalamnya kehidupan pemerintah.
Dilihat dari perspektif pemerintahan, salah satu makna yang terpenting tentang etika adalah bahwa etika sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Dalam pengertian ini, etika berkaitan dengan kebiasaan yang baik, tata cara hidup yang baik, baik bagi dirinya sendiri, baik bagi orang lain, dan baik bagi masyarakat.  Nilai-nilai dalam etika di sini dipahami sebagai nilai yang dipergunakan sebagai pedoman, petunjuk, orientasi, arah bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia, di mana etika berisi perintah yang harus dipatuhi dan larangan yang tidak dapat dilanggar, tentang salah atau benar, tentang baik dan buruk perilaku manusia.
Dengan demikian, etika dapat dipandang sebagai suatu sistem nilai yang dipahami sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral yang dipergunakan sebagai pedoman, petunjuk, orientasi, arah bagaimana seseorang atau suatu kelompok manusia harus bertindak, berperilaku dalam menjalin hubungan dengan manusia lainnya dalam suatu kelompok.


ETIKA PEMERINTAHAN
Etika dalam lingkup pemerintahan saat ini sering menjadi pembicaraan terutama dalam mewujudkan aparatur yang bersih dan berwibawa. Kecenderungan atau gejala yang muncul saat ini adalah banyak birokrat sebagai aparatur pemerintah dalam melaksanakan tugasnya sering melanggar aturan yang telah ditetapkan.
Etika dalam penyelenggaraan pemerintahan sangat terkait dengan moralitas dan mentalitas aparatur dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan yang tercermin dari fungsi pokok pemerintahan, yaitu fungsi pelayanan, fungsi pengaturan atau regulasi dan fungsi pemberdayaan masyarakat.  Etika pemerintahan berkaitan dengan bagaimana aparatur pemerintah dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan ketentuan yang seharusnya dan semestinya pantas untuk dilakukan dan wajar karena telah ditentukan atau diatur untuk ditaati dan dilaksanakan.
Permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah adalah bagaimana proses penentuan etika dalam penyelenggaraan pemerintahan, siapa yang akan mengukur seberapa jauh etis atau tidak, bagaimana kondisi saat itu dan daerah tertentu yang mengatakan bahwa sesuatu dianggap etis atau dapat dibenarkan, tetapi di tempat lain belum tentu.  Secara khusus dapat dikatakan bahwa etika dalam penyelenggaraan pemerintahan sangat tergantung pada seberapa jauh pelanggaran yang terjadi di tempat atau di daerah mana, kapan dilakukannya dan pada saat yang bagaimana, serta sanksi apa yang akan diterapkan, sanksi sosial atau sanksi moral ataukah sanksi hukum.
Saat ini etika menjadi sangat penting dan mendasar karena etika merupakan landasan bagi manusia organisasional dalam menentukan tujuan dan melaksanakan tujuan.  Secara garis besar, etika pemerintahan berada diantara etika profesi dan etika politik. Asumsi yang digunakan adalah bahwa seorang aparatur adalah orang yang harus menerapkan ilmu manajemen dan organisasi secara profesional. Dia harus mampu memecahkan masalah-masalah taktis dengan baik serta mampu mengelola organisasi secara efisien. Oleh karena itu ia dituntut untuk memiliki kepekaan yang tinggi terhadap masalah-masalah politis. Dilema yang dihadapi oleh aparatur bukan sekedar bagaimana supaya organisasi publik dapat berjalan secara efisien, tetapi juga bagaimana supaya organisasi itu dapat memberikan pelayanan yang memuaskan publik.
Menurut Tamin (2004), ada 5 (lima) permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia dan satu sama lain saling berkaitan, belum dapat diatasi secara menyeluruh, yaitu:
1.        Fakta dan gejala disintegrasi bangsa serta di sana-sini terjadi konflik sosial.
2.        Lemahnya penegakkan hukum dan hak asasi manusia.
3.        Lambatnya pemulihan ekonomi.
4.        Rendahnya kesejahteraan rakyat, meningkatnya penyakit sosial dan lemahnya ketahanan budaya nasional.
5.        Kurang berkembangnya potensi pembangunan daerah dan masyarakat.
Thompson (2002) mengemukakan bahwa seorang pejabat harus bertanggung jawab secara moral atas suatu produk kebijakan jika:
1.        Tindakan atau kelalaian pejabat itu merupakan sebab dari produk kebijakan.
2.        Tindakan atau kelalaian ini tidak dilakukan dalam ketidak-tahuan atau di bawah tekanan.
Alasan pertama merujuk kepada tanggung jawab kausal, sedangkan alasan kedua merujuk kepada tanggung jawab atas kemauan sendiri. Kriteria tanggung jawab kausal dapat dikatakan lemah, sedangkan tanggung jawab atas kemauan sendiri menetapkan bahwa seseorang bertanggung jawab atas suatu tindakan sejauh dia dapat melakukan yang sebaliknya.
Menilai tindakan seseorang apakah sudah sesuai dengan norma etika merupakan bukan hal yang mudah. Pada umumnya orang menilai suatu perbuatan disebut bermoral atau beretika apabila tindakan atau perbuatan tersebut memiliki tujuan yang baik, tidak merugikan orang lain maupun dirinya sendiri, tidak mementingkan dirinya sendiri serta menjunjung tinggi harkat dan martabat sebagai manusia.
Kumorotomo (2005) mengutip pendapat Flippo yang mengemukakan 10 bentuk penyalahgunaan wewenang yang mungkin dilakukan oleh seorang pegawai negara atau aparatur selama menjalankan tugasnya, yaitu:
1.        Ketidakjujuran, dimana para pejabat negara selalu mempunyai peluang untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak jujur dalam tugas-tugasnya. Berbagai pungutan liar adalah contoh paling nyata yang sering kita jumpai.
2.        Perilaku buruk, di mana dalam peraturan-peraturan yang berlaku sering terdapat celah-celah yang memungkinkan para pejabat yang kurang memiliki moral baik untuk melakukan penyimpangan. Tindakan penyuapan atau gratifikasi, pemberian uang sogok atau suap merupakan contoh perilaku buruk.
3.        Konflik kepentingan, di mana pejabat publik seringkali dihadapkan pada posisi yang dipenuhi konflik kepentingan. Dalam situasi seperti ini, hukum sering tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
4.        Melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, di mana seorang pejabat mungkin tidak pernah menerima uang sogok, uang pelicin dan sebagainya. Tetapi bisa saja terjadi bahwa tanpa sadar dia telah bertindak menyalahi wewenang yang dimilikinya dalam arti dia tidak melakukan tindakan-tindakan yang buruk, tetapi dia telah melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5.        Perlakuan tidak adil terhadap bawahan, di mana seorang pegawai sering diberhentikan oleh atasannya dengan alasan yang tidak berhubungan dengan tindakannya yang tidak efisien atau kesalahan lainnya. Mungkin pejabat yang berwenang tersebut memiliki alasan-alasan yang kuat untuk memberhentikannya, tetapi bawahan mengetahui alasan tersebut setelah ia diberhentikan. Di sini pejabat tersebut telah menghapus peluang bawahan untuk memperbaiki diri, bahkan rasa suka atau tidak suka turut mempengaruhi tindakan pemberhentian tersebut.
6.        Pelanggaran terhadap prosedur, di mana prosedur yang ditetapkan pemerintah kadang-kadang tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan, tetapi sesungguhnya prosedur tersebut memiliki kekuatan seperti peraturan perundang-undangan sehingga setiap instansi akan lebih baik jika melaksanakannya secara konsisten.
7.        Tidak menghormati kehendak pembuat peraturan perundang-undangan di mana pejabat negara dalam tindakannya telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan prosedur yang berlaku, namun tidak mungkin bahwa mereka sebenarnya gagal dalam mengikuti kehendak pembuat peraturan. Peraturan perundang-undangan dimaksudkan untuk memelihara kepentingan umum merupakan hal yang harus dipegang oleh pejabat negara.
8.        Inefisiensi atau pemborosan, di mana inventaris adalah milik negara yang juga berarti milik masyarakat. Oleh karena itu, pemborosan dana, waktu, barang atau sumber daya milik organisasi tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan.
9.        Menutup-nutupi kesalahan, di mana pejabat publik seringkali menolak untuk memberikan keterangan yang sesungguhnya kepada badan-badan legislatif.  Dalam organisasi, mungkin telah terjadi penyelewengan-penyelewengan berat, tetapi pejabat bisa saja menutup mata dari penyelewengan tersebut.  Hal ini merupakan tindakan yang melanggar norma etika.
10.    Kegagalan mengambil prakarsa, di mana pejabat-pejabat sering gagal dalam membuat keputusan yang positip dalam melaksanakan kewenangan menurut hukum. Tidak adanya prakarsa dapat disebabkan oleh: ketakutan terhadap kritik yang mungkin terlontar meskipun organisasi sangat memerlukan perbaikan, perasaan tidak aman untuk berbuat karena enggan mengambil resiko, dan perasaan bahwa mengambil prakarsa berarti menambah pekerjaan.



KENDALA PENERAPAN ETIKA
Meskipun dalam perkembangannya telah terjadi pergeseran paradigma etika dalam penyelenggaraan pemerintahan, tidak berarti bahwa paradigma etika mudah diimplementasikan. Hal ini terjadi karena dalam praktek kehidupan sehari-hari masih banyak terdapat dilema atau konflik pragmatis yang cenderung menyangkut pandangan absolutis versus relativis dan adanya hierarki etika.
 Dalam penyelenggaraan pemerintahan, dikenal norma-norma yang bersifat absolut dan relatif diterima orang. Norma-norma yang bersifat absolut cenderung diterima dimana-mana atau dapat dianggap sebagai universal rules. Norma-norma ini ada dan terpelihara sampai saat ini di semua atau hampir di semua masyarakat di dunia yang berfungsi sebagai penuntun perilaku dan standar pembuatan keputusan.
Kaum deontologis sebagai salah satu pendekatan dalam etika menilai bahwa norma-norma ini memang ada hanya saja manusia belum sepenuhnya memahami, atau masih dalam proses pemahaman. Norma-norma ini biasanya bersumber dari ajaran agama dan filsafat hidup, dan perlu dipertahankan karena memiliki pertimbangan atau alasan logis untuk dijadikan dasar pembuatan keputusan.  Misalnya dalam pelayanan publik atau pelayanan kepada masyarakat diperlukan norma tentang kebenaran, bukan kebohongan, pemenuhan janji kepada publik/masyarakat, menjalankan berbagai kewajiban, keadilan, dsb., merupakan justifikasi moral yang semakin didukung masyarakat di mana-mana. Melalui proses konsensus tertentu, norma-norma tersebut biasanya dimuat dalam konstitusi kenegaraan yang daya berlakunya relatif lama. Mereka yang yakin dengan kenyataan ini dapat digolongkan sebagai kaum absolutis.
Sementara itu, ada juga yang kurang yakin dengan keabsolutan norma-norma tersebut. Mereka digolongkan sebagai kaum relativis. Kaum teleologist sebagai salah satu aliran pendekatan dalam etika relativis mengemukakan bahwa tidak ada “universal moral”. Suatu norma dapat dikatakan baik kalau memiliki konsekuensi atau out come yang baik, yang berarti bahwa harus didasarkan pada kenyataan. Dalam hal ini kaum relativis berpendapat bahwa nilai-nilai yang bersifat universal itu baru dapat diterima sebagai sesuatu yang etis bila diuji dengan kondisi atau situasi tertentu.
Implikasi dari adanya dilema di atas, maka sulit memberi penilaian apakah aparatur pemerintah telah melanggar nilai moral yang ada atau tidak, tergantung kepada keyakinannya apakah tergolong absolutis atau relativis. Hal ini telah menumbuhkan suasana korupsi, kolusi dan nepotisme di Indonesia.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, dikenal 4 (empat) tingkatan etika,  yaitu:
1.        Etika atau moral pribadi, yaitu yang memberikan teguran tentang baik atau buruk yang sangat tergantung kepada beberapa faktor antara lain, pengaruh  orang tua, keyakinan agama, budaya, adat istiadat, dan pengalaman masa lalu.
2.        Etika profesi, yaitu serangkaian norma atau aturan yang menuntun perilaku kalangan profesi tertentu.
3.        Etika organisasi, yaitu serangkaian aturan dan norma yang bersifat formal dan tidak formal yang menuntun perilaku dan tindakan anggota organisasi yang bersangkutan.
4.        Etika sosial, yaitu norma-norma yang menuntun perilaku dan tindakan anggota masyarakat agar keutuhan kelompok dan anggota masyarakat selalu terjaga dan terpelihara. (Shafritz & Russell, 1997).

Dengan adanya empat hirarki etika ini, cenderung membingungkan aparatur pemerintah seperti ketika menempatkan orang dalam posisi atau jabatan tertentu, sangat tergantung kepada etika yang dianut oleh pejabat yang berkuasa. Bila ia dipengaruhi oleh etika sosial, maka ia akan mendahulukan orang yang berasal dari daerahnya sehingga sering menimbulkan kesan adanya kegiatan kolusi, korupsi dan nepotisme. Bila ia dipengaruhi oleh etika organisasi, maka ia akan melihat kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam organisasi seperti menggunakan sistem senioritas yang mengutamakan mereka yang paling senior terlebih dahulu, atau mungkin didominasi oleh sistem merit yang berarti ia akan mendahulukan orang yang paling berprestasi.
 Melihat persoalan etika dalam penyelenggaraan pemerintahan tersebut, maka pada akhirnya kita sering melihat aparatur pemerintah tergantung kepada seorang aktor kunci aparatur dan kadang-kadang mereka menyerahkan keputusan akhirnya kepada pihak lain yang mereka percaya atau segani seperti pejabat yang lebih tinggi, tokoh kharismatik, orang pintar, dsb.
Secara umum, dalam penyelenggaraan pemerintahan, yang menjadi kendala atau hambatan dalam menerapkan etika aparatur yaitu:
1.        Jumlah aparatur yang dianggap terlalu banyak secara kuantitas.
2.        Aparatur kurang memiliki responsiveness dan responsibilitas.
3.        Rendahnya kemampuan empati aparatur.
4.        Intensitas komunikasi antara aparatur yang rendah dan lemah.
5.        Pola pikir dan tujuan serta kesalahan persepsi dalam memahami fungsi sebagai aparatur.
6.        Kemahiran aparatur membuat strategi bertahan untuk melanggengkan keberadaan dirinya pada jabatan tertentu.
7.        Adanya tindakan penyimpangan yang terakumulasi secara sistematis.
8.        Adanya kekhawatiran akan terjebak dalam lingkaran yang tidak berujung pangkal.

Penerapan Etika Pemerintahan
Berbicara etika pemerintahan tidak dapat dilepaskan dari peraturan kepegawaian yang mengatur para aparatur.  Aparatur pemerintah merupakan sebuah kumpulan atau organisasi penyelenggara pemerintahan yang terstruktur dari pusat sampai ke daerah dan memiliki jenjang atau tingkatan yang disebut hirarki.  Etika pemerintahan sangat terkait dengan tingkah laku para aparatur atau birokrasi dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Aparatur pemerintah secara konkrit di negara kita adalah pegawai negeri baik sipil maupun militer, yang secara organisatoris dan hirarkis melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing sesuai aturan yang telah ditetapkan.
Etika pemerintahan merupakan bagian dari aturan main organisasi birokrasi atau pegawai negeri yang kita kenal sebagai kode etik pegawai negeri, diatur dalam undang-undang kepegawaian. Kode etik yang berlaku bagi pegawai negeri sipil disebut Sapta Prasetya Korps Pegawai Republik Indonesia, dan untuk kelompok tentara nasional Indonesia disebut Sapta Marga.  Kode etik tersebut sering diingatkan kepada mereka dengan maksud untuk menciptakan kondisi-kondisi moril yang menguntungkan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan menumbuhkan sikap mental dan moral yang baik.
Tindak lanjut atau perwujudan dari etika pemerintahan adalah kode etik yang lebih mengikat atau mengatur pemerintah agar lebih beretika dan bermoral.  Namun sampai sekarang sering kita mendengar belum diketahui sampai sejauhmana dan belum dapat dilihat secara jelas apakah perbuatan seseorang melanggar etika atau kode etik karena belum jelas batasannya dan sanksinya.
Kode etik aparatur pemerintah disusun dengan maksud untuk membentuk atau terciptanya aparatur pemerintah yang lebih jujur, lebih bertanggung jawab, lebih berdisiplin, lebih rajin serta memiliki moral yang baik serta terhindar dari perbuatan tercela seperti korupsi, kolusi dan nepotisme.
Untuk mewujudkan aparatur pemerintah yang lebih beretika, maka diperlukan usaha dan latihan ke arah tersebut serta penegakkan sanksi yang jelas dan tegas kepada mereka yang melanggar kode etik atau aturan yang telah ditetapkan.
Adapun aturan-aturan pokok yang mengikat aparatur pemerintah guna menjadi acuan kode etik aparatur pemerintah adalah sebagai berikut:

1.    Aturan mengenai pembinaan pegawai negeri sipil
Untuk menjamin terselenggaranya tugas-tugas umum pemerintahan secara berdaya guna dan berhasilguna dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur baik material maupun spiritual, diperlukan adanya aparatur yang penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, bersih, berwibawa, bermutu tinggi dan sadar akan tugas serta tanggung jawabnya, maka Undang-Undang Nomor 43 tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian telah menggariskan dasar yang kuat untuk mewujudkan aparatur pemerintah yang baik melalui pengaturan kedudukan dan kewajiban aparatur.

2.    Aturan mengenai kedudukan pegawai negeri sipil
Pegawai negeri sipil merupakan unsur aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat yang dengan kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintah, menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan, pelayanan kepada masyarakat atau regulasi dan memberdayakan masyarakat. Kesetiaan dan ketaatan tersebut mengandung makna bahwa pegawai negeri sipil berada sepenuhnya di bawah peraturan yang berlaku.

3.    Penghargaan pegawai negeri sipil
Kepada pegawai negeri dapat diberikan penghargaan apabila telah menunjukkan kesetiaan dan prestasi kerja dan memiliki etika kerja yang baik, maka dianggap berjasa bagi negara dan masyarakat. Bentuk penghargaan yang diberikan berupa tanda jasa, kenaikan pangkat istimewa yang diiringi dengan kenaikan gaji sesuai pangkatnya. Tujuan pemberian penghargaan ini adalah agar mereka dapat menjadi contoh bagi yang lain dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

4.    Keanggotaan pegawai negeri dalam partai politik
Untuk menjaga netralitas dalam melaksanakan tugas dan fungsinya agar lebih beretika dan bermoral dan agar terhindar dari kepentingan partai politik, maka pegawai negeri tidak dianjurkan masuk dalam politik praktis demi menjaga moralitas yang merupakan etika aparatur.

5.    Peraturan disiplin pegawai negeri sipil
Ketentuan tentang disiplin pegawai negeri sipil diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang disiplin pegawai negeri sipil yang mengatur tentang kewajiban, larangan, sanksi, tata cara pemeriksaan, tata cara pengajuan keberatan terhadap hukuman disiplin, dsb.
 Dari aturan-aturan tersebut di atas, permasalahannya adalah kepada penegakkan sanksi atas pelanggaran etika tersebut, betul-betul dilaksanakan atau ditegakkan kepada mereka yang melanggar atau hanya sebatas retorika ataupun sanksi sosial saja. Sanksi sosial hanya efektif apabila aparatur berada di tengah-tengah masyarakat, sedangkan dalam organisasi birokrasi harus tegas sanksi hukumannya sesuai aturan yang berlaku.
Jadi selain etika yang berlaku di masyarakat, aparatur pemerintah memiliki aturan tertentu yang mengaturnya dalam melaksanakan tugas dan fungsi aparatur agar lebih beretika dan bermoral.
Etika aparatur pemerintah diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan.  Etika pemerintahan terbentuk sebagai tuntutan masyarakat yang menghendaki agar jalannya pemerintahan dapat berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Etika aparatur Pemerintah dalam pelaksanaan tugas dan pergaulan sehari-hari berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004, antara lain meliputi:
1.    Etika dalam bernegara.
2.    Etika dalam berorganisasi.
3.    Etika dalam bermasyarakat.
4.    Etika terhadap diri sendiri.
5.    Etika terhadap sesama aparatur.
       
KESIMPULAN
Etika pemerintahan meliputi etika aparatur pemerintah dalam bernegara, dalam berorganisasi, bermasyarakat, terhadap diri sendiri, dan terhadap sesama aparatur yang wajib dilaksanakan oleh aparatur pemerintah.
Aparatur pemerintah wajib melaksanakan dan menerapkan kode etik aparatur pemerintah, dimana apabila aparatur pemerintah terbukti melakukan pelanggaran kode etik, akan dikenakan sanksi moral, juga dapat dikenakan tindakan administratif atas rekomendasi Majelis Kode Etik.
Aparatur Pemerintah juga wajib menjunjung tinggi nilai-nilai dasar yang terkandung dalam pembinaan jiwa korps dan Kode Etik Aparatur Pemerintah, mengingat nilai-nilai dasar dimaksud merupakan nilai-nilai yang berkembang dalam kehidupan masyarakat, bangsa, negara dan pemerintah.
Etika Aparatur Pemerintah mewujudkan aparatur yang berdisiplin, aparatur yang menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam pelaksanaan tugas, termasuk di dalamnya menaati peraturan disiplin aparatur pemerintah/pegawai negeri sipil, di mana aparatur pemerintah yang beretika tidak akan melanggar peraturan disiplin dan tidak akan dijatuhi hukuman disiplin.

DAFTAR PUSTAKA

Kumorotomo, Wahyudi. 2005. Etika Administrasi Negara. P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Shafritz, Jay M dan E.W. Russell. 1997. Introducing Public Administration. New York, N.Y.: Longman.
Tamin, Feisal. 2004. Reformasi Birokrasi: Analisis Pendayagunaan Aparatur Negara. Blantika, Jakarta.
Thompson, Dennis F. 2002. Etika Politik Pejabat Negara. Penerjemah: Benyamin Molan, Edisi Kedua, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

DOKUMEN
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil.