Oleh:
Arnia Fajarwati
Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Langlangbuana Bandung
e-mail:
arnia.fajarwati@yahoo.com
ABSTRAK
Masalah
kemiskinan dan pengangguran di Indonesia bukan lagi masalah yang temporer,
melainkan sudah terjadi dalam rentang waktu yang cukup panjang dan mencapai
tingkat yang mengkhawatirkan. Risalah islam diturunkan oleh
Allah SWT untuk mengatur hidup manusia guna mewujudkan ketentraman hidup, bukan
sekedar memenuhi kebutuhan (atau keinginan), serta menjadikan perolehan
kebahagian (Al-hasanaf) di dunia dan akhirat sebagai
nilai tertinggi yang hendak diwujudkan oleh manusia. Oleh karena itu, islam
menjadikan paradigma ekonomi berhubungan dengan perintah dan larangan-larangan
Allah. Yakni dengan menghubungkan gagasan-gagasan yang menjadi dasar kepengurusan
individu dan masyarakat, serta menjadikan langkah-langkah ekonomi sesuai dengan
pendapat (fara), pemikiran (afkar) dan
hukum (ahkam)
islam. Menurut konsep islam, kemiskinan
dapat diatasi melalui beberapa cara yaitu dengan menggunakan ekonomi syariah,
jaminan keluarga dekat, zakat dan sumbangan sukarela dari orang-orang yang
mampu.
Kata Kunci: Kemiskinan, pengangguran, paradigma ekonomi Islam.
ABSTRACT
Problems of poverty and unemployment in
Indonesia is no longer a temporary
problem, but it has happened in a long
enough time span and reach an alarming rate. Risalah of Islam revealed by God
to organize human
life in order to realize
the tranquility of life, not just to meet the needs (or desires),
and makes the acquisition of happiness (Al-hasanaf)
in the world and
the hereafter as the
highest value to be realized by
humans. Therefore, Islam makes economic
paradigm associated with commands and
prohibitions of Allah. It is however by connecting the ideas based on the
management of the individual and
society, as well as making economic measures in accordance with the opinion (fara), thinking (Afkar)
and laws (Ahkam)
of Islam. According to the Islamic concept, poverty
can be addressed in several ways,
namely Islamic economics, guarantees
for family, charity and voluntary donations from those who can afford.
Keywords: Poverty, unemployment, economic
paradigm of Islam.
PENDAHULUAN
Kesejahteraan yang adil dan makmur
adalah cita-cita semua bangsa, namun masih sedikit negara yang mampu
mewujudkannya. Oleh karena
itu pemberantasan kemiskinan dan pengangguran masih merupakan salah satu agenda
dunia yang perlu segera dituntaskan. Pelaksanaan berbagai program penaggulangan
kemiskinan selama ini, baik dalam skala nasional maupun internasional, belum
mendatang- kan hasil yang memuaskan. Kesempatan
kerja dengan tingkat penghasilan yang layak masih jauh di bawah jumlah angkatan
kerja yang membutuhkannya, sehingga kelompok pengangguran dan setengah
pengangguran makin meningkat. Kondisi seperti ini pada gilirannya juga akan
meningkatkan angka kemiskinan.
Masalah
kemiskinan bukanlah masalah yang baru bagi Indonesia. Pada jaman kolonial,
khususnya pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, keprihatinan terhadap
luasnya kemiskinan di Indonesia telah mendorong berbagai pemikiran dan saran
kebijaksanaan untuk mengatasinya. Di mulai
pelita I pada Tahun 1969, orang mulai berdebat tentang bagaimana sebaiknya
memberikan prioritas dalam pembangunan nasional, apakah dengan cara melaksanakan
pertumbuhan ekonomi yang cepat lebih dahulu atau dengan
cara segera melenyapkan kemiskinan yang diderita sebagaian besar rakyat
terutama di daerah-daerah pedesaan.
Merupakan kenyataan bahwa masalah
kemiskinan bukan hanya dihadapi oleh Indonesia akan tetapi juga negara industri
maju seperti Amerika Serikat (AS) sebagai salah satu Negara terkaya di dunia
masih menyimpan jutaan penduduk yang tergolong miskin. Sharp. et.al (1996) yang dikutip oleh
Kuncoro (1997) menyatakan sebagai berikut: "Poverty amidst plenty" is a striking
feature of American scene. Our nation is the richest in the world, yet millions
of people are poor, and millions more that do not live in poverty are poor
relative to others. This is not the American dream, it is the American paradox".
Hal ini menggambarkan, bahwa di AS ada kelompok penduduk yang tergolong
miskin dan ada juga kelompok penduduk yang relatif miskin dibanding dengan
penduduk lainnya.
Refleksi
terhadap perkembangan pendekatan pembangunan di Indonesia dalam kaitannya
dengan upaya pengentasan dan penanggulangan kemiskinan dan pengangguran,
setidaknya diketahui ada pendekatan pembangunan yang berorientasi kepada
"pertumbuhan ekonomi" (paradigma pertumbuhan); kemudian ada lagi yang
dikenal dengan konsep pembangunan yang berorientasi kepada "pertumbuhan
dan pemeratan pembangunan" dan selanjutnya muncul konsep "pembangunan
berkelanjutan dan pembangunan manusia" yang berorientasi kepada "pembangunan
manusia seutuhnya". Pendekatan
yang ketiga ini di pandang
sebagai paradigma baru pembangunan karena telah berhasil mengintegrasikan
proses dan tujuan dari pendekatan pembangunan lainnya.
Seperti
yang kita ketahui, tata cara perencanaan kita jauh berbeda dibandingkan dengan
perencanaan kurun waktu sebelum reformasi. Sistem politik kita juga jauh
berbeda, dahulu, Presiden yang merupakan Mandataris MPR diangkat untuk
melaksanakan GBHN. GBHN menjadi kunci arah pembangunan kita. Perencanaan, baik
yang lima tahunan (REPELITA), maupun yang tahunan, semua berpatokan kepada
GBHN. Sekarang kita hidup di jaman yang sangat berbeda. Visi dan misi seorang
calon Presiden dan wakilnya, seandainya di terpilih, maka visi dan misi
Presiden itulah yang merupakan arah kebijakan pemerintah selama 5 tahun.
Lebih dari setengah abad para
ekonom berupaya keras memunculkan berbagai teori untuk menghilangkan kemiskinan
dan kesenjangan pembangunan ataupun mengatasi masalah pengangguran. Di mulai dari teori pertumbuhan
sederhana, sampai pada teori yang rumit dengan memunculkan berbagai variabel
baru seperti moral
hazard, korupsi, kelembagaan dan
sebagainya ke dalam model-model ekonomi,
namun solusi untuk bebagai permasalahan ini
tetap tidak tuntas. Sangat wajar
jika kemudian para
ekonom hanya mampu menjelaskan (explain) keadaan
yang terjadi, tanpa berdaya untuk memberikan prediksi yang akurat apalagi memunculkan solusi yang tepat.
Beranjak
dari kenyataan tersebut, tulisan ini mencoba mencarikan solusi dan sumber yang sementara ini tidak banyak
digali orang yaitu sumber-sumber islami. Sekalipun kondisi sosio-ekonomi
Negara-negara islam
mayoritas tergolong
negara miskin dengan tantangan pendapatan perkapita rendah dan pertumbuhan
penduduk yang tinggi, namun ini tidak berarti
islam sebagai suatu
ajaran tidak memiliki solusi masalah kemiskinan dan pengangguran. Akan tetapi
masalahnya terletak pada ketidakseriusan dalam
mengadopsi dan sekaligus meng- implementasikan
solusi yang islami tersebut.
Solusi
Islam dalam Mengentaskan
Kemiskinan dan Pengangguran
Jika
kemiskinan dan pengangguran sudah terjadi maka bagaimapun harus
diatasi. Mengatasi kemiskinan dan pengangguran dengan bekerja merupakan andalan
islam, karena dengan bekerja orang akan menghasilkan harta benda (kekayaan).
Setiap muslim harus berusaha untuk bekerja dalam bidang apapun seperti
pertanian, perdagangan, administrasi perkantoran dan pekerjaan lain yang bias bermanfaat untuk dirinya atau orang lain, baik
secara individual maupun kolektif
dan tidak melanggar aturan syariah.
Motivasi
dan reward untuk bekerja
ini cukup banyak diberikan Al-quran dan Hadist. Dalam Al-quran (62;10), disebutkan "Apabila telah ditunaikan sholat,
maka bertebaranlah di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung".
Kemudian
dalam Al-quran (94;7),
juga dikatakan "Maka
apabila kamu telah selesai (dan suatu urusan), kenakanlah dengan
sungguh-sungguh urusan yang lain". Dengan
demikian jelaslah bahwa dalam pandangan islam bekerja hanya dihentikan ketika
melakukan shalat, istirahat dan jeda waktu yang penting lainnya. Bukan berhenti
karena malas.
Selain
itu, bekerja adalah kewajiban dimana setiap orang akan dimintai pertanggung
jawabannya. Al-quran (53;39), menyebutkan; "... bahwa seorang manusia tidak akan
memperoleh sesuatu selain apa yang dia kerjakan". Artinya
pendapatan seseorang haruslah bersumber dari apa yang dikerjakannya. Imbalan
hasil kerja dalam islam, selain material, terdapat pula ganjaran spiritual,
karena islam menganggap kerja sebagai bagian dari ibadah.
Qardhawi
(2004), dalam bukunya "Daurul Qiyam Wal Akhlaq Fit
Iqtishadil Islam” yang
diterjemahkan dengan judul "Norma dan Etika Ekonomi Islam" menyebutkan;
"... tidak
kita temukan dalam ajaran manapun sanjungan terhadap pekerjaan yang lebih
tinggi daripada dalam agama kita" demikian
kerasnya dorongan islam terhadap kerja, belajar dan inovasi sehingga seharusnya
dalam komunitas seperti ini tidak akan ditemukan pengangguran. Pengangguran
yang mungkin ada hanyalah apa yang dalam buku teks disebut dengan pengangguran friksi (frictional unemployment).
Islam
juga mengingatkan bahwa dalam situasi yang sulit seseorang tidak dibenarkan
terlalu memilih-milih pekerjaan karena pada prinsipnya semua pekerjaan yang
produktif dan tidak menyalahi aturan itu adalah baik. Ada Hadist yang
menyebutkan; "sungguh
alangkah baiknya jika salah seorang diantara kalian (umatku) yang mau mencari kayu bakar
dan mengikatnya, kemudian memikul dan menjualnya dengan membuka wajah (tanpa rasa malu) karena Allah, daripada
meminta-minta kepada orang lain, baik diberi
maupun tidak". Apabila di suatu tempat sudah tidak didapatkan lapangan kerja, maka islam
menganjurkan untuk mencari pekerjaan ke tempat lain (Qardhawi, 2004). Artinya islam tidak
memperboleh- kan seorang muslim untuk menyerah bila di daerah tempat tinggalnya
lapangan kerja sudah tidak tersedia.
Menurut Qardhawi (2004), selain
menghindari masalah kemiskinan dengan bekerja, upaya mengatasi kemiskinan
adalah mendorong kelompok kaya untuk membantu orang-orang miskin. Al-quran
datang untuk mengajak para hartawan agar menginfakan sebagian hartanya untuk
orang lain. Jadi di sini kebijakan pemerintah diperlukan untuk menjembatani berbagai aspek
kesenjangan ini, yaitu antara lain dengan:
1.
Ekonomi Syariah
Risalah islam diturunkan oleh
Allah SWT untuk mengatur hidup manusia guna mewujudkan ketentraman hidup, bukan
sekedar memenuhi kebutuhan (atau keinginan), serta menjadikan perolehan
kebahagian (Al-hasanaf)
di dunia dan akhirat sebagai nilai tertinggi yang
hendak diwujudkan oleh manusia.
Oleh karena itu, islam menjadikan
paradigma ekonomi berhubungan dengan perintah dan larangan-larangan Allah.
Yakni dengan menghubungkan gagasan-gagasan yang menjadi dasar kepengurusan individu dan masyarakat,
serta menjadikan langkah-langkah ekonomi sesuai dengan pendapat fara),
pemikiran (afkar) dan
hukum (ahkam) islam.
Membatasi
perbuatan ekonomi dengan syariah islam sebagai undang-undang yang membolehkan
apa yang dibolehkan islam, melarang apa yang harus dilarang dan membatasi apa
yang harus dibatasi. Jadi ekonomi dalam islam digerakan di atas rel syariah.
Inilah pengertian
kegiatan ekonomi dalam islam sebagian dari ibadah kepada Allah yang
implikasinya tidak berhenti di dunia saja, tapi sampai ke negeri akhirat karena
semua itu akan dimintai pertanggung jawaban.
Keyakinan
Islam juga mengatakan bahwa syariah pastilah membawa rahmat. Artinya, di dalam
syariah pasti terkandung kebaikan-kebaikan itu akan dirasakan oleh individu
maupun masyarakat. Dengan keyakinan seperti itu, disimpulkan bahwa kegiatan
ekonomi yang baik adalah apa yang dikatakan baik oleh syariah dan yang buruk
adalah apa yang dikatakan buruk oleh syariah (al-hasan ma hassanahu al syar'u,
al-qabih ma qabbahahu al'syar'u).
Melaksanakan
sistem ekonomi islam di bidang ekonomi yang dilandaskan pada syariah, bila
dilaksanakan dengan benar dan penuh amanah oleh para pelaku ekonomi, pasti
dengan sendirinya akan tercipta tatanan ekonomi yang berkeadilan. Sementara
itu, agar syariah, dapat selalu menjawab tantangan perkembangan ekonomi, ijtihad di
bidang ekonomi, khususnya tentang perkara-perkara baru seperti tentang kartu
kredit, smart
card, e-commerce,
dan sebagainya harus
terus dilakukan.
Dalam
upaya memposisikan ekonomi syariah di Indonesia, maka harus diperhatikan dari
segi kualitas dan kuantitas. Yang harus diperhatikan dari segi kualitas adalah:
a. Berkaitan tentang konsep ekonomi syariah,
dimana perlu dirumuskan konsep ekonomi syariah yang komperehensip,
b. Regulasi, artinya pelaksanaan ekonomi
syariah di Indonesia harus diperkuat dengan regulasi yang memadai, sebab
regulasi menjadi faktor terpenting dalam melaksanakan ekonomi syariah di
Indonesia, seperti pengalaman perbankan syariah, ketika regulasinya belum
memadai, perbankan syariah stagnan, tetapi setelah amandemen UU perbankan pada
tahun 1998, maka perbankan syariah dapat berkembang dengan cepat.
c. Sosialisasi, ini menjadi penting karena
konsep ekonomi syariah di Indonesia tergolong baru oleh itu perlu sosialisasi.
d. Perlu adanya advokasi.
e. Implementasi.
Semua
itu diperlukan dalam upaya menunjang pelaksanaan ekonomi syariah serta syariah
bisnis di Indonesia. Selain kualitas juga harus diperhatikan aspek kuantitas
yaitu dengan memperbanyak Syariah Financial Institution (Money Market & Capital
Market),
Syariah Business
Institution (Riel Market), Syariah Sosial Institution (Social Market). Alasan
pemilihan Lembaga Keuangan Syariah untuk solusi permasalahan ekonomi, karena
Lembaga Keuangan Syariah mempunyai prinsip:
a. Menjawab permasalahan yang dihadapi
masyarakat misalnya Modal.
b. Bertumpu pada kegiatan sektor riil.
c. Berorientasi kepada membuka peluang
usaha, peluang kerja, keterampilan dan pendapatan masyarakat, melalui
penggalian potensi lokal.
d. Pemberdayaan melalui peningkatan
kemampuan secara swadaya.
e. Mempunyai jaringan yang kuat antar
lembaga maupun non lembaga, serta berbasiskan kepada informasi dan teknologi.
f. Anti Maysir,
Gharar, Riba, dan Bathil.
g. Ada linkage
antara sektor moneter, sektor riil dan sosial.
2.
Zakat
Islam
benar-benar tidak melupakan nasib orang-orang miskin. Kelompok masyarakat yang
tidak bekerja dan tidak pula mempunyai famili yang mampu untuk membantu,
diberikan bantuan dalam bentuk zakat.
Zakat
adalah suatu kewajiban pembayaran yang harus dikeluarkan oleh seorang muslim
karena ia telah memenuhi persyaratan untuk dilakukannya pembayaran tersebut.
Zakat di dalam islam merupakan manifestasi semangat solidaritas sosial yang
dibebankan kepada orang-orang kaya atau orang-orang yang memiliki kekayaan
cukup. Sejatinya zakat juga adalah pembayaran yang melibatkan negara, akan
tetapi jika negara secara formal belum ada atau belum mengelola, zakat tetap
harus ditunaikan.
Zakat
adalah sarana penunjang ekonomi dalam mengumpulkan dana untuk kemudian
didistribusikan kepada masyarakat yang berhak menerima, khususnya kepada fakir
miskin. Zakat merupakan sarana untuk mempertautkan hati antara orang-orang kaya
dengan orang-orang miskin. Zakat juga merupakan bentuk ibadah untuk menjaga
agar hak-hak orang miskin tetap dapat dipenuhi.
Karena
zakat di sebagian kaum muslimin di Indonesia masih dianggap hubungan yang
bersifat personal, maka pengelolaan zakat juga belumlah optimal. Zakat masih
didekati dengan perspektif individu, sehingga dampaknya secara komunal belumlah
nyata terlihat. Zakat baru menyentuh lingkup yang sangat terbatas dan cenderung
hanya menjadi media penolong atau bantuan bagi orang miskin.
Tujuan
pertama dari zakat adalah memenuhi kebutuhan orang-orang miskin. Fakir miskin
adalah sasaran pertama dari pengeluaran zakat. Zakat bukan merupakan jumlah
yang kecil dan sumber yang bisa disepelekan. Jumlahnya mencapai 5-10% dari
hasil tani; biji-bijian, buah-buahan dan daun-daunan.
Pada
masa kini, ada beberapa hal yang dapat dianalogikan pada pertanian, yaitu
industri-industri dan sejenisnya dari berbagai potensi yang dapat memberikan
penghasilan tetap dan merupakan aset yang besar bagi sejumlah orang.
Zakat
adalah instrumen untuk meningkatkan keadilan ekonomi. Yaitu sarana bagi
penciptaan keseimbangan struktur ekonomi, sekaligus melakukan distribusi
kekayaan yang berpotensi meningkatkan statu sosial ekonomi sebuah masyarakat.
Peran perwujudan keadilan ekonomi yang dimainkan oleh zakat antara lain:
a. Memangkas kekayaan yang dimiliki
orang-orang kaya untuk kemudian didistribusikan kepada orang miskin, sehingga
dapat mengurangi kesenjangan ekonomi.
b. Menyediakan sumber dana untuk kegiatan
peningkatan ekonomi masyarakat miskin, sehingga orang-orang miskin dapat
ditingkatkan strata sosial ekonominya.
c. Membiayai penyediaan fasilitas umum yang
mendorong percepatan kegiatan masyarakat secara keseluruhan, khususnya
percepatan kegiatan ekonomi masyarakat miskin.
d. Peningkatan kapasitas dan kapabilitas
orang-orang miskin melalui berbagai kegiatan pengembangan SDM, sehingga dengan
perbaikan kualitas hidup, maka kesejahteraan ekonomi orang miskin akan dapat
ditingkatkan.
Zakat ini membuktikan bahwa islam
telah sejak dahulu memberikan perhatian
terhadap penyelesaian persoalan kemiskinan dan memberikan perlindungan terhadap
fakir miskin, tanpa harus ada revolusi atau tuntutan secara personal atau
komunal terhadap hak-hak mereka. Kepedulian ini bukan jenis perhatian dangkal,
sampingan atau sekunder dalam ajaran dan hukum-hukumnya (Qardhawi, 2004).
Zakat merupakan salah satu dari lima pilar islam yang wajib
untuk ditegakkan. Zakat tersebut merupakan instrumen perekonomian untuk menegakkan kesejahteraan masyarakat secara
lebih merata. Zakat yang dibayarkan akan dibelanjakan oleh yang berhak menerima
sehingga akumulasi konsumsi ini akan memberikan efek pengganda (multiplier effect) yang besar dan berpengaruh positif bagi
pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, pada akhirnya manfaat zakat akan
dirasakan juga secara tidak langsung oleh si pembayar zakat.
Perlu
pula dicatat bahwa zakat bukan sekedar kreativitas positif atau amal shaleh
yang bersifat individual. Lebih dari itu, zakat adalah usaha membangun tatanan
masyarakat yang teratur di bawah naungan Negara, dengan Departemen khusus yang
bertugas untuk menghimpun dan mendistribusikannya. Menurut Idris (1997:51), "zakat adalah rukun islam
yang memiliki potensi sangat besar untuk mempersatukan umat islam dapat
menunjukan kebersamaan dan kepeduliannya terhadap saudara seiman". Zakat
adalah simbol aktualisasi dari solidaritas umat islam dan umat islam akan sulit
dipersatukan tanpa solidaritas itu. Kebangkitan zakat adalah kebangkitan
kesadaran sosial ekonomi umat islam dan kesadaran ini memiliki arti yang sangat
strategis bagi kebangkitan umat.
Secara
konseptual, zakat disyariatkan untuk mengubah mustahik menjadi
muzakki, dengan
kata lain, dari miskin menjadi kaya atau
berkecukupan dan
kemudian pada gilirannya mampu pula mengeluarkan zakat. Karena itu, petunjuk Al-quran memberikan rambu-rambu yang relatif
konkrit. Misalnya tentang amil,
"Ambilah zakat dari sebagian harta mereka,
dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka". Artinya, pertama, diperintahkan untuk mengambil harta secara proaktif atau bahkan menurut
para mufasir dibolehkan mengambil harta secara
"paksa".
Perintah ini awalnya diujukan
pada Rasulullah SAW, yang waktu itu berkapasitas sebagai rasul dan kepala
pemerintahan. Jadi, disini kebijakan mengumpulkan zakat untuk memerangi
kemiskinan memang sudah digariskan sejak awal.
Panitia (amil) yang mengurus
zakat harus bekerja secara proaktif karena amil adalah mediator antara penerima
dan pembayar pajak. Hal ini dilakukan karena secara normal, orang meminta
kepada orang lain atau menerima pemberian orang lain secara psikologis akan
merasa malu. Amil pada zaman Rasulullah SAW hingga pada masa Khalifah
Utsman Bin Affan
ditangani pemerintah. Pemerintah mempunyai
kewenangan mengatur efektivitas dan profesionalitas pengelolaan zakat. Dengan
keberadaan zakat sebagai sedekah wajib, pemerintah dapat memaksa rakyatnya yang
mampu untuk menyediakan dana bagi penanggulangan kemiskinan melalui instrumen
zakat (Rofiq, 2003).
Di Indonesia dan kemungkinan
besar terjadi di Negara non islam lain yang memiliki banyak penduduk muslim, pengelolaan
zakat ini belum berjalan dengan baik. Potensi zakat yang besar tidak
termanfaatkan secara optimal, sehingga
masalah kemiskinan sulit diatasi dan ketimpangan antar kelompok
masyarakat tetap terjadi. Diperkirakan meskipun semua umat islam Indonesia sudah membayarkan
zakatnya, namun tanpa pengelolaan yang benar dan terpadu maka peranannya dalam
pengentasan kemiskinan tidak akan berhasil.
Masih besarnya potensi zakat di
Indonesia yang belum tergali, mengharuskan kita untuk berupaya meningkatkannya.
Beberapa cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan penerimaan zakat adalah:
a.
Melakukan sosialisasi tentang
objek-objek zakat, tarif zakat dan teknik menghitung zakat kepada masyarakat.
b.
Melakukan sosialisasi dan
penyadaran kepada masyarakat muslim agar membayarkan zakatnya melalui lembaga.
Sudah saatnya apabila umat islam di Indonesia untuk membayarkan zakatnya
melalui lembaga, tidak dilakukan secara langsung atau sporadis
kepada masyarakat yang memerlukan. Untuk dapat
dimobilisasi dan menjadi sumber daya ekonomi yang kuat, maka zakat harus
dibayarkan melalui lembaga.
c.
Memberikan kemudahan dan
pelayanan yang berkualitas kepada setiap pembayar zakat. Pembayar zakat harus
mendapatkan kemudahan-kemudahan dalam pembayaran zakatnya.
d.
Memberikan rangsangan bagi pembayar
zakat dengan cara setiap pembayaran zakat,
maka pembayaran zakatnya akan
menjadi pengurang pembayaran zakat.
Rangsangan ini akan mendorong pembayar zakat untuk semakin meningkatkan
pembayaran zakatnya.
3.
Sumber
lain selain Zakat
Selain dari zakat, baitul maal (kas islam) juga mempunyai sumber dana lain yang dikelola dan
dipergunakan untuk kepentingan umum, baik dikelola sendiri, disewakan atau
dikelola pihak lain. Misalnya, wakaf untuk kepentingan umum, pertambangan dan
kekayaan alam. Sumber ekonomi itu tidak boleh dipegang oleh indivdu, apalagi
untuk kepentingan sendiri, melainkan harus berada di tangan Negara agar semua
orang dapat merasakan manfaatnya. Seluruh pemasukan terhadap kas islam
merupakan sumber ekonomi bagi fakir miskin, ketika perolehan zakat tidak
mencukupi permintaan (Qardhawi, 2004).
Selain zakat, ada juga hak-hak
material lain yang harus dipenuhi oleh seorang muslim, karena sebab-sebab yang
beragam. Semuanya merupakan sumber dana untuk memberikan bantuan terhadap fakir
miskin, sekaligus berfungsi sebgai sarana untuk menghilangkan kemiskinan.
Hak-hak tersebut di antaranya; hak bertetangga, Qurban pada Hari Raya Idul
Adha, sanksi pelanggaran sumpah (memberikan makan kepada sepuluh orang miskin),
sanksi dhihar (memberi makan 60 orang miskin), sanksi melakukan hubungan suami istri
dalam bulan Ramadhan (sama dengan sanksi dhihar),
fidyah seorang jompo yang tidak mampu lagi berpuasa, hady (pemberian orang yang melakukan haji atau umrah
berupa unta, sapi atau
kambing) akibat melakukan sesuatu yang dilarang waktu ihram, dan hak tanggungan fakir miskin jika
harta zakat tidak mencukupi (Qardhawi,
2004).
Di samping hak-hak yang diwajibkan dan
aturan-aturan yang telah dijelaskan di atas, islam juga mengupayakan
pembentukan pribadi luhur, dermawan dan rela berkorban. Yaitu figur pribadi
yang bisa memberikan lebih banyak dari yang diminta, menginfakkan lebih dari
yang diwajbkan, bahkan bisa memberi tanpa diminta sekalipun, dalam setiap
situasi dan kondisi (Qardhawi, 2004).
Selain
dari beberapa cara atau instrumen yang dikemukakan oleh Qardhawi, kita juga
dapat melihat adanya kegiatan sosial yang memberikan dampak positif terhadap
penanggulangan kemiskinan. Kegiatan sosial tersebut antara lain "orang tua
asuh" yaitu turun tangannya orang-orang yang mampu untuk mendanai
kebutuhan anak telantar atau anak yang orang tuanya kurang mampu. Dana yang
ditanggung biasanya untuk kebutuhan pendidikan dan kebutuhan hidup.
Dan
yang tak kalah penting adalah adanya jaminan keluarga dekat yang mampu. Di mana cengkeraman kemiskinan dan lilitan
kebutuhan hidup yang tidak terpenuhi menurut islam juga dapat diatasi dengan
adanya jaminan dari masing-masing anggota keluarga. Islam menempatkan famili
dekat atau posisi kerabat sebagai orang yang harus peduli dan saling membantu kesulitan
kerabatan yang lain.
4.
Peran Pemerintah
Dalam
mengatasi berbagai permasalahan dalam bidang ekonomi perlu terlebih dahulu
dimulai dari pembenahan perilaku individu. Perilaku yang seirama dengan syariat
islam dan menyatu dalam diri individu menyebabkan apapun posisi dan peran yang
dipegangnya akan berjalan sesuai dengan norma yang islami. Konsumen tidak akan
mengkonsumsi secara berlebihan dan sebagai produsen. Ia tidak akan berinvestasi
dalam bidang-bidang terlarang dan akan memperlakukan tenaga kerja sebagai
mitra, sedangkan sebagai penguasa ia akan senantiasa mendahulukan kepentingan
umum.
Jika
saja para pelaku ekonomi dan penguasa memiliki internalized-behaviour semacam
ini, maka permasalahannya akan mudah dan sistem perekonomian akan memberikan hasil
yang terbaik karena menjadi bekerjanya invisible-hand yang
islami. Kemiskinan dan pengangguran tidak akan merebak di tengah-tengah
masyarakat.
Dalam
kaitan ini, salah satu tugas penting pemerintah dalam bidang jaminan adalah membebaskan masyarakat dari jerat
kemiskinan dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat secara adil. Penanggulangan kemiskinan bertujuan untuk
melahirkan masyarakat yang sejahtera (lahir bathin) dan berkeadilan. Indikator
kesejahteraan tersebut adalah terbebas dari kekufuran, kemusyrikan, kelaparan
dan rasa takut. Sasaran yang ingin dicapai tersebut mempunyai dimensi yang
cukup luas. Islam dari awal sudah mengamanatkan bahwa pemerintah berkewajiban
untuk berupaya secara aktif mengatasi kemiskinan dan pengangguran.
Dengan
demikian, secara lebih spesifik langkah-langkah yang dapat diambil pemerintah
dalam kerangka ekonomi islam untuk mengatasi masalah kemiskinan dan
pengangguran antara lain sebagai berikut:
a. Memposisikan Ekonomi Syariah.
b. Mengelola dana Zakat, Infak, Wakaf,
Sedekah dan Sumbangan Sukarela untuk tujuan produktif.
c. Kebijakan fiskal
untuk menciptakan kesempatan
kerja (full employment)
d. Kebijakan jangka panjang.
KESIMPULAN
Secara
universal pandangan manapun tidak dapat menafikan adanya kemiskinan, dan pada
umumnya semua orang berpendapat bahwa kemiskinan harus diperangi atau di berantas.
Akar
masalah kemiskinan dapat ditelusuri dari berbagai sudut pandang. Dari sisi
individual, kemiskinan dapat disebabkan oleh kemalasan. Buruknya etos kerja ini
berakibat pada titik termanfaatkannya semua sumber daya yang dimiliki secara
optimal.
Kendati
konsep penanggulangan kemiskinan dan pengangguran sudah banyak juga dikemukakan
dan sebagiannya telah diterapkan, namun kenyataannya belum membawa hasil yang
efektif. Menurut konsep islam, kemiskinan dapat diatasi melalui beberapa cara
yaitu dengan menggunakan ekonomi syariah, bekerja, jaminan keluarga dekat yang
mampu, zakat dan sumbangan sukarela dari orang-orang yang mampu. Dan peran
pemerintah yang sangat penting dalam penanggulangannya.
DAFTAR PUSTAKA
……, 2006, Al-
Qur’an Al-Karim wa tafsiruhu (Al-Qur’an dan Tafsirnya) Jilid 5,
Departemen Agama.
Idris, S., 1997.
Gerakan Zakat Dalam Pemberdayaan
Ekonomi Ummat. PT. Citra
Bangsa; Jakarta.
Kuncoro, M.,
1997. Ekonomi Pembangunan Teori,
Masalah, dan Kebijakan. UPP
AMP YKPN, Yogyakarta.
Qardhawi, Y.,
2004. Norma dan Etika Ekonomi Islam, Diterjemahkan dari Daurul Qiyam
Wal Akhlaq Fil Iqtishadil Islami (1997). Gema
Insani Press, Bandung.
Rofiq, A., 2003.
Menakar Efektivitas Zakat. Suara
Merdeka, Jumat 14 November.