Tentang SosioHumanitas Unla

SosioHumanitas Unla merupakan Jurnal Ilmu-ilmu Sosial & Humaniora Universitas Langlangbuana.

Sosiohumanitas berisi karya ilmiah hasil penelitian atau pemikiran berdasarkan kajian literatur yang dimuat dalam bentuk media cetak oleh LPPM Universitas Langlangbuana Bandung.

Materi yang dibahas mencakup masalah dan isu-isu yang aktual mengenai aspek sosial budaya dan kemanusiaan lainnya.

ISSN 1410-9263.

Kemiskinan dan Pengangguran


Oleh:
Arnia Fajarwati
Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Langlangbuana Bandung
e-mail: arnia.fajarwati@yahoo.com



ABSTRAK

Masalah kemiskinan dan pengangguran di Indonesia bukan lagi masalah yang temporer, melainkan sudah terjadi dalam rentang waktu yang cukup panjang dan mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Risalah islam diturunkan oleh Allah SWT untuk mengatur hidup manusia guna mewujudkan ketentraman hidup, bukan
sekedar memenuhi kebutuhan (atau keinginan), serta menjadikan perolehan kebahagian (Al-hasanaf) di dunia dan akhirat sebagai nilai tertinggi yang hendak diwujudkan oleh manusia. Oleh karena itu, islam menjadikan paradigma ekonomi berhubungan dengan perintah dan larangan-larangan Allah. Yakni dengan menghubungkan gagasan-gagasan yang menjadi dasar kepengurusan individu dan masyarakat, serta menjadikan langkah-langkah ekonomi sesuai dengan pendapat (fara), pemikiran (afkar) dan hukum (ahkam) islam. Menurut konsep islam, kemiskinan dapat diatasi melalui beberapa cara yaitu dengan menggunakan ekonomi syariah, jaminan keluarga dekat, zakat dan sumbangan sukarela dari orang-orang yang mampu.
Kata Kunci: Kemiskinan, pengangguran, paradigma ekonomi Islam.


ABSTRACT

Problems of poverty and unemployment in Indonesia is no longer a temporary problem, but it has happened in a long enough time span and reach an alarming rate. Risalah of Islam revealed by God to organize human life in order to realize the tranquility of life, not just to meet the needs (or desires), and makes the acquisition of happiness (Al-hasanaf) in the world and the hereafter as the highest value to be realized by humans. Therefore, Islam makes economic paradigm associated with commands and prohibitions of Allah. It is however by connecting the ideas based on the management of the individual and society, as well as making economic measures in accordance with the opinion (fara), thinking (Afkar) and laws (Ahkam) of Islam. According to the Islamic concept, poverty can be addressed in several ways, namely Islamic economics, guarantees for family, charity and voluntary donations from those who can afford.
Keywords: Poverty, unemployment, economic paradigm of Islam.





PENDAHULUAN
Kesejahteraan yang adil dan makmur adalah cita-cita semua bangsa, namun masih sedikit negara yang mampu mewujudkannya. Oleh karena itu pemberantasan kemiskinan dan pengangguran masih merupakan salah satu agenda dunia yang perlu segera dituntaskan. Pelaksanaan berbagai program penaggulangan kemiskinan selama ini, baik dalam skala nasional maupun internasional, belum mendatang- kan hasil yang memuaskan. Kesempatan kerja dengan tingkat penghasilan yang layak masih jauh di bawah jumlah angkatan kerja yang membutuhkannya, sehingga kelompok pengangguran dan setengah pengangguran makin meningkat. Kondisi seperti ini pada gilirannya juga akan meningkatkan angka kemiskinan.
Masalah kemiskinan bukanlah masalah yang baru bagi Indonesia. Pada jaman kolonial, khususnya pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, keprihatinan terhadap luasnya kemiskinan di Indonesia telah mendorong berbagai pemikiran dan saran kebijaksanaan untuk mengatasinya. Di mulai pelita I pada Tahun 1969, orang mulai berdebat tentang bagaimana sebaiknya memberikan prioritas dalam pembangunan nasional, apakah dengan cara melaksanakan pertumbuhan ekonomi yang cepat lebih dahulu atau dengan cara segera melenyapkan kemiskinan yang diderita sebagaian besar rakyat terutama di daerah-daerah pedesaan.
Merupakan kenyataan bahwa masalah kemiskinan bukan hanya dihadapi oleh Indonesia akan tetapi juga negara industri maju seperti Amerika Serikat (AS) sebagai salah satu Negara terkaya di dunia masih menyimpan jutaan penduduk yang tergolong miskin. Sharp. et.al (1996) yang dikutip oleh Kuncoro (1997) menyatakan sebagai berikut: "Poverty amidst plenty" is a striking feature of American scene. Our nation is the richest in the world, yet millions of people are poor, and millions more that do not live in poverty are poor relative to others. This is not the American dream, it is the American paradox". Hal ini menggambarkan, bahwa di AS ada kelompok penduduk yang tergolong miskin dan ada juga kelompok penduduk yang relatif miskin dibanding dengan penduduk lainnya.
Refleksi terhadap perkembangan pendekatan pembangunan di Indonesia dalam kaitannya dengan upaya pengentasan dan penanggulangan kemiskinan dan pengangguran, setidaknya diketahui ada pendekatan pembangunan yang berorientasi kepada "pertumbuhan ekonomi" (paradigma pertumbuhan); kemudian ada lagi yang dikenal dengan konsep pembangunan yang berorientasi kepada "pertumbuhan dan pemeratan pembangunan" dan selanjutnya muncul konsep "pembangunan berkelanjutan dan pembangunan manusia" yang berorientasi kepada "pembangunan manusia seutuhnya". Pendekatan yang ketiga ini di pandang sebagai paradigma baru pembangunan karena telah berhasil mengintegrasikan proses dan tujuan dari pendekatan pembangunan lainnya.
Seperti yang kita ketahui, tata cara perencanaan kita jauh berbeda dibandingkan dengan perencanaan kurun waktu sebelum reformasi. Sistem politik kita juga jauh berbeda, dahulu, Presiden yang merupakan Mandataris MPR diangkat untuk melaksanakan GBHN. GBHN menjadi kunci arah pembangunan kita. Perencanaan, baik yang lima tahunan (REPELITA), maupun yang tahunan, semua berpatokan kepada GBHN. Sekarang kita hidup di jaman yang sangat berbeda. Visi dan misi seorang calon Presiden dan wakilnya, seandainya di terpilih, maka visi dan misi Presiden itulah yang merupakan arah kebijakan pemerintah selama 5 tahun.
Lebih dari setengah abad para ekonom berupaya keras memunculkan berbagai teori untuk menghilangkan kemiskinan dan kesenjangan pembangunan ataupun mengatasi masalah pengangguran. Di mulai dari teori pertumbuhan sederhana, sampai pada teori yang rumit dengan memunculkan berbagai variabel baru seperti moral hazard, korupsi, kelembagaan dan sebagainya ke dalam model-model ekonomi,  namun solusi untuk bebagai permasalahan ini tetap tidak tuntas. Sangat wajar jika kemudian para ekonom hanya mampu menjelaskan (explain) keadaan yang terjadi, tanpa berdaya untuk memberikan prediksi yang akurat apalagi memunculkan solusi yang tepat.
Beranjak dari kenyataan tersebut, tulisan ini mencoba mencarikan solusi dan sumber yang sementara ini tidak banyak digali orang yaitu sumber-sumber islami. Sekalipun kondisi sosio-ekonomi Negara-negara islam mayoritas tergolong negara miskin dengan tantangan pendapatan perkapita rendah dan pertumbuhan penduduk yang tinggi, namun ini tidak berarti islam sebagai suatu ajaran tidak memiliki solusi masalah kemiskinan dan pengangguran. Akan tetapi masalahnya terletak pada ketidakseriusan dalam mengadopsi dan sekaligus meng- implementasikan solusi yang islami tersebut.

Solusi Islam dalam Mengentaskan Kemiskinan dan Pengangguran
Jika kemiskinan dan pengangguran sudah terjadi maka bagaimapun harus diatasi. Mengatasi kemiskinan dan pengangguran dengan bekerja merupakan andalan islam, karena dengan bekerja orang akan menghasilkan harta benda (kekayaan). Setiap muslim harus berusaha untuk bekerja dalam bidang apapun seperti pertanian, perdagangan, administrasi perkantoran dan pekerjaan lain yang bias bermanfaat untuk dirinya atau orang lain, baik secara individual maupun kolektif dan tidak melanggar aturan syariah.
Motivasi dan reward untuk bekerja ini cukup banyak diberikan Al-quran dan Hadist. Dalam Al-quran (62;10), disebutkan "Apabila telah ditunaikan sholat, maka bertebaranlah di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung".
Kemudian dalam Al-quran (94;7), juga dikatakan "Maka apabila kamu telah selesai (dan suatu urusan), kenakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain". Dengan demikian jelaslah bahwa dalam pandangan islam bekerja hanya dihentikan ketika melakukan shalat, istirahat dan jeda waktu yang penting lainnya. Bukan berhenti karena malas.
Selain itu, bekerja adalah kewajiban dimana setiap orang akan dimintai pertanggung jawabannya. Al-quran (53;39), menyebutkan; "... bahwa seorang manusia tidak akan memperoleh sesuatu selain apa yang dia kerjakan". Artinya pendapatan seseorang haruslah bersumber dari apa yang dikerjakannya. Imbalan hasil kerja dalam islam, selain material, terdapat pula ganjaran spiritual, karena islam menganggap kerja sebagai bagian dari ibadah.
Qardhawi (2004), dalam bukunya "Daurul Qiyam Wal Akhlaq Fit Iqtishadil Islam yang diterjemahkan dengan judul "Norma dan Etika Ekonomi Islam" menyebutkan; "... tidak kita temukan dalam ajaran manapun sanjungan terhadap pekerjaan yang lebih tinggi daripada dalam agama kita" demikian kerasnya dorongan islam terhadap kerja, belajar dan inovasi sehingga seharusnya dalam komunitas seperti ini tidak akan ditemukan pengangguran. Pengangguran yang mungkin ada hanyalah apa yang dalam buku teks disebut dengan pengangguran friksi (frictional unemployment).
Islam juga mengingatkan bahwa dalam situasi yang sulit seseorang tidak dibenarkan terlalu memilih-milih pekerjaan karena pada prinsipnya semua pekerjaan yang produktif dan tidak menyalahi aturan itu adalah baik. Ada Hadist yang menyebutkan; "sungguh alangkah baiknya jika salah seorang diantara kalian (umatku) yang mau mencari kayu bakar dan mengikatnya, kemudian memikul dan menjualnya dengan membuka wajah (tanpa rasa malu) karena Allah, daripada meminta-minta kepada orang lain, baik diberi maupun tidak". Apabila di suatu tempat sudah tidak didapatkan lapangan kerja, maka islam menganjurkan untuk mencari pekerjaan ke tempat lain (Qardhawi, 2004). Artinya islam tidak memperboleh- kan seorang muslim untuk menyerah bila di daerah tempat tinggalnya lapangan kerja sudah tidak tersedia.
Menurut Qardhawi (2004), selain menghindari masalah kemiskinan dengan bekerja, upaya mengatasi kemiskinan adalah mendorong kelompok kaya untuk membantu orang-orang miskin. Al-quran datang untuk mengajak para hartawan agar menginfakan sebagian hartanya untuk orang lain. Jadi di sini kebijakan pemerintah diperlukan untuk menjembatani berbagai aspek kesenjangan ini, yaitu antara lain dengan:

1.        Ekonomi Syariah
Risalah islam diturunkan oleh Allah SWT untuk mengatur hidup manusia guna mewujudkan ketentraman hidup, bukan sekedar memenuhi kebutuhan (atau keinginan), serta menjadikan perolehan kebahagian (Al-hasanaf) di dunia dan akhirat sebagai nilai tertinggi yang hendak diwujudkan oleh manusia.
Oleh karena itu, islam menjadikan paradigma ekonomi berhubungan dengan perintah dan larangan-larangan Allah. Yakni dengan menghubungkan gagasan-gagasan yang menjadi dasar kepengurusan individu dan masyarakat, serta menjadikan langkah-langkah ekonomi sesuai dengan pendapat fara), pemikiran (afkar) dan hukum (ahkam) islam.
Membatasi perbuatan ekonomi dengan syariah islam sebagai undang-undang yang membolehkan apa yang dibolehkan islam, melarang apa yang harus dilarang dan membatasi apa yang harus dibatasi. Jadi ekonomi dalam islam digerakan di atas rel syariah. Inilah pengertian kegiatan ekonomi dalam islam sebagian dari ibadah kepada Allah yang implikasinya tidak berhenti di dunia saja, tapi sampai ke negeri akhirat karena semua itu akan dimintai pertanggung jawaban.
Keyakinan Islam juga mengatakan bahwa syariah pastilah membawa rahmat. Artinya, di dalam syariah pasti terkandung kebaikan-kebaikan itu akan dirasakan oleh individu maupun masyarakat. Dengan keyakinan seperti itu, disimpulkan bahwa kegiatan ekonomi yang baik adalah apa yang dikatakan baik oleh syariah dan yang buruk adalah apa yang dikatakan buruk oleh syariah (al-hasan ma hassanahu al syar'u, al-qabih ma qabbahahu al'syar'u).
Melaksanakan sistem ekonomi islam di bidang ekonomi yang dilandaskan pada syariah, bila dilaksanakan dengan benar dan penuh amanah oleh para pelaku ekonomi, pasti dengan sendirinya akan tercipta tatanan ekonomi yang berkeadilan. Sementara itu, agar syariah, dapat selalu menjawab tantangan perkembangan ekonomi, ijtihad di bidang ekonomi, khususnya tentang perkara-perkara baru seperti tentang kartu kredit, smart card, e-commerce, dan sebagainya harus terus dilakukan.
Dalam upaya memposisikan ekonomi syariah di Indonesia, maka harus diperhatikan dari segi kualitas dan kuantitas. Yang harus diperhatikan dari segi kualitas adalah:
a.    Berkaitan tentang konsep ekonomi syariah, dimana perlu dirumuskan konsep ekonomi syariah yang komperehensip,
b.    Regulasi, artinya pelaksanaan ekonomi syariah di Indonesia harus diperkuat dengan regulasi yang memadai, sebab regulasi menjadi faktor terpenting dalam melaksanakan ekonomi syariah di Indonesia, seperti pengalaman perbankan syariah, ketika regulasinya belum memadai, perbankan syariah stagnan, tetapi setelah amandemen UU perbankan pada tahun 1998, maka perbankan syariah dapat berkembang dengan cepat.
c.    Sosialisasi, ini menjadi penting karena konsep ekonomi syariah di Indonesia tergolong baru oleh itu perlu sosialisasi.
d.    Perlu adanya advokasi.
e.    Implementasi.
Semua itu diperlukan dalam upaya menunjang pelaksanaan ekonomi syariah serta syariah bisnis di Indonesia. Selain kualitas juga harus diperhatikan aspek kuantitas yaitu dengan memperbanyak Syariah Financial Institution (Money Market & Capital Market), Syariah Business Institution (Riel Market), Syariah Sosial Institution (Social Market). Alasan pemilihan Lembaga Keuangan Syariah untuk solusi permasalahan ekonomi, karena Lembaga Keuangan Syariah mempunyai prinsip:
a.    Menjawab permasalahan yang dihadapi masyarakat misalnya Modal.
b.    Bertumpu pada kegiatan sektor riil.
c.    Berorientasi kepada membuka peluang usaha, peluang kerja, keterampilan dan pendapatan masyarakat, melalui penggalian potensi lokal.
d.    Pemberdayaan melalui peningkatan kemampuan secara swadaya.
e.    Mempunyai jaringan yang kuat antar lembaga maupun non lembaga, serta berbasiskan kepada informasi dan teknologi.
f.     Anti Maysir, Gharar, Riba, dan Bathil.
g.  Ada linkage antara sektor moneter, sektor riil dan sosial.

2.        Zakat
Islam benar-benar tidak melupakan nasib orang-orang miskin. Kelompok masyarakat yang tidak bekerja dan tidak pula mempunyai famili yang mampu untuk membantu, diberikan bantuan dalam bentuk zakat.
Zakat adalah suatu kewajiban pembayaran yang harus dikeluarkan oleh seorang muslim karena ia telah memenuhi persyaratan untuk dilakukannya pembayaran tersebut. Zakat di dalam islam merupakan manifestasi semangat solidaritas sosial yang dibebankan kepada orang-orang kaya atau orang-orang yang memiliki kekayaan cukup. Sejatinya zakat juga adalah pembayaran yang melibatkan negara, akan tetapi jika negara secara formal belum ada atau belum mengelola, zakat tetap harus ditunaikan.
Zakat adalah sarana penunjang ekonomi dalam mengumpulkan dana untuk kemudian didistribusikan kepada masyarakat yang berhak menerima, khususnya kepada fakir miskin. Zakat merupakan sarana untuk mempertautkan hati antara orang-orang kaya dengan orang-orang miskin. Zakat juga merupakan bentuk ibadah untuk menjaga agar hak-hak orang miskin tetap dapat dipenuhi.
Karena zakat di sebagian kaum muslimin di Indonesia masih dianggap hubungan yang bersifat personal, maka pengelolaan zakat juga belumlah optimal. Zakat masih didekati dengan perspektif individu, sehingga dampaknya secara komunal belumlah nyata terlihat. Zakat baru menyentuh lingkup yang sangat terbatas dan cenderung hanya menjadi media penolong atau bantuan bagi orang miskin.
Tujuan pertama dari zakat adalah memenuhi kebutuhan orang-orang miskin. Fakir miskin adalah sasaran pertama dari pengeluaran zakat. Zakat bukan merupakan jumlah yang kecil dan sumber yang bisa disepelekan. Jumlahnya mencapai 5-10% dari hasil tani; biji-bijian, buah-buahan dan daun-daunan.
Pada masa kini, ada beberapa hal yang dapat dianalogikan pada pertanian, yaitu industri-industri dan sejenisnya dari berbagai potensi yang dapat memberikan penghasilan tetap dan merupakan aset yang besar bagi sejumlah orang.
Zakat adalah instrumen untuk meningkatkan keadilan ekonomi. Yaitu sarana bagi penciptaan keseimbangan struktur ekonomi, sekaligus melakukan distribusi kekayaan yang berpotensi meningkatkan statu sosial ekonomi sebuah masyarakat. Peran perwujudan keadilan ekonomi yang dimainkan oleh zakat antara lain:
a.    Memangkas kekayaan yang dimiliki orang-orang kaya untuk kemudian didistribusikan kepada orang miskin, sehingga dapat mengurangi kesenjangan ekonomi.
b.    Menyediakan sumber dana untuk kegiatan peningkatan ekonomi masyarakat miskin, sehingga orang-orang miskin dapat ditingkatkan strata sosial ekonominya.
c.    Membiayai penyediaan fasilitas umum yang mendorong percepatan kegiatan masyarakat secara keseluruhan, khususnya percepatan kegiatan ekonomi masyarakat miskin.
d.    Peningkatan kapasitas dan kapabilitas orang-orang miskin melalui berbagai kegiatan pengembangan SDM, sehingga dengan perbaikan kualitas hidup, maka kesejahteraan ekonomi orang miskin akan dapat ditingkatkan.

Zakat ini membuktikan bahwa islam telah sejak dahulu memberikan perhatian terhadap penyelesaian persoalan kemiskinan dan memberikan perlindungan terhadap fakir miskin, tanpa harus ada revolusi atau tuntutan secara personal atau komunal terhadap hak-hak mereka. Kepedulian ini bukan jenis perhatian dangkal, sampingan atau sekunder dalam ajaran dan hukum-hukumnya (Qardhawi, 2004).
Zakat merupakan salah satu dari lima pilar islam yang wajib untuk ditegakkan. Zakat tersebut merupakan instrumen perekonomian untuk menegakkan kesejahteraan masyarakat secara lebih merata. Zakat yang dibayarkan akan dibelanjakan oleh yang berhak menerima sehingga akumulasi konsumsi ini akan memberikan efek pengganda (multiplier effect) yang besar dan berpengaruh positif bagi pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, pada akhirnya manfaat zakat akan dirasakan juga secara tidak langsung oleh si pembayar zakat.
Perlu pula dicatat bahwa zakat bukan sekedar kreativitas positif atau amal shaleh yang bersifat individual. Lebih dari itu, zakat adalah usaha membangun tatanan masyarakat yang teratur di bawah naungan Negara, dengan Departemen khusus yang bertugas untuk menghimpun dan mendistribusikannya. Menurut Idris (1997:51), "zakat adalah rukun islam yang memiliki potensi sangat besar untuk mempersatukan umat islam dapat menunjukan kebersamaan dan kepeduliannya terhadap saudara seiman". Zakat adalah simbol aktualisasi dari solidaritas umat islam dan umat islam akan sulit dipersatukan tanpa solidaritas itu. Kebangkitan zakat adalah kebangkitan kesadaran sosial ekonomi umat islam dan kesadaran ini memiliki arti yang sangat strategis bagi kebangkitan umat.
Secara konseptual, zakat disyariatkan untuk mengubah mustahik menjadi muzakki, dengan kata lain, dari miskin menjadi kaya atau berkecukupan dan kemudian pada gilirannya mampu pula mengeluarkan zakat. Karena itu, petunjuk Al-quran memberikan rambu-rambu yang relatif konkrit. Misalnya tentang amil, "Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka". Artinya, pertama, diperintahkan untuk mengambil harta secara proaktif atau bahkan menurut para mufasir dibolehkan mengambil harta secara "paksa".
Perintah ini awalnya diujukan pada Rasulullah SAW, yang waktu itu berkapasitas sebagai rasul dan kepala pemerintahan. Jadi, disini kebijakan mengumpulkan zakat untuk memerangi kemiskinan memang sudah digariskan sejak awal.
Panitia (amil) yang mengurus zakat harus bekerja secara proaktif karena amil adalah mediator antara penerima dan pembayar pajak. Hal ini dilakukan karena secara normal, orang meminta kepada orang lain atau menerima pemberian orang lain secara psikologis akan merasa malu. Amil pada zaman Rasulullah SAW hingga pada masa Khalifah Utsman Bin Affan ditangani pemerintah. Pemerintah mempunyai kewenangan mengatur efektivitas dan profesionalitas pengelolaan zakat. Dengan keberadaan zakat sebagai sedekah wajib, pemerintah dapat memaksa rakyatnya yang mampu untuk menyediakan dana bagi penanggulangan kemiskinan melalui instrumen zakat (Rofiq, 2003).
Di Indonesia dan kemungkinan besar terjadi di Negara non islam lain yang memiliki banyak penduduk muslim, pengelolaan zakat ini belum berjalan dengan baik. Potensi zakat yang besar tidak termanfaatkan secara optimal, sehingga  masalah  kemiskinan  sulit diatasi dan ketimpangan antar kelompok masyarakat tetap terjadi. Diperkirakan meskipun semua umat islam Indonesia sudah membayarkan zakatnya, namun tanpa pengelolaan yang benar dan terpadu maka peranannya dalam pengentasan kemiskinan tidak akan berhasil.
Masih besarnya potensi zakat di Indonesia yang belum tergali, mengharuskan kita untuk berupaya meningkatkannya. Beberapa cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan penerimaan zakat adalah:
a.    Melakukan sosialisasi tentang objek-objek zakat, tarif zakat dan teknik menghitung zakat kepada masyarakat.
b.    Melakukan sosialisasi dan penyadaran kepada masyarakat muslim agar membayarkan zakatnya melalui lembaga. Sudah saatnya apabila umat islam di Indonesia untuk membayarkan zakatnya melalui lembaga, tidak dilakukan secara langsung atau sporadis kepada masyarakat yang memerlukan. Untuk dapat dimobilisasi dan menjadi sumber daya ekonomi yang kuat, maka zakat harus dibayarkan melalui lembaga.
c.    Memberikan kemudahan dan pelayanan yang berkualitas kepada setiap pembayar zakat. Pembayar zakat harus mendapatkan kemudahan-kemudahan dalam pembayaran zakatnya.
d.    Memberikan rangsangan bagi pembayar zakat dengan cara setiap pembayaran zakat,  maka  pembayaran zakatnya akan menjadi pengurang pembayaran zakat. Rangsangan ini akan mendorong pembayar zakat untuk semakin meningkatkan pembayaran zakatnya.

3.        Sumber lain selain Zakat
Selain dari zakat, baitul maal (kas islam) juga mempunyai sumber dana lain yang dikelola dan dipergunakan untuk kepentingan umum, baik dikelola sendiri, disewakan atau dikelola pihak lain. Misalnya, wakaf untuk kepentingan umum, pertambangan dan kekayaan alam. Sumber ekonomi itu tidak boleh dipegang oleh indivdu, apalagi untuk kepentingan sendiri, melainkan harus berada di tangan Negara agar semua orang dapat merasakan manfaatnya. Seluruh pemasukan terhadap kas islam merupakan sumber ekonomi bagi fakir miskin, ketika perolehan zakat tidak mencukupi permintaan (Qardhawi, 2004).
Selain zakat, ada juga hak-hak material lain yang harus dipenuhi oleh seorang muslim, karena sebab-sebab yang beragam. Semuanya merupakan sumber dana untuk memberikan bantuan terhadap fakir miskin, sekaligus berfungsi sebgai sarana untuk menghilangkan kemiskinan. Hak-hak tersebut di antaranya; hak bertetangga, Qurban pada Hari Raya Idul Adha, sanksi pelanggaran sumpah (memberikan makan kepada sepuluh orang miskin), sanksi dhihar (memberi makan 60 orang miskin), sanksi melakukan hubungan suami istri dalam bulan Ramadhan (sama dengan sanksi dhihar), fidyah seorang jompo yang tidak mampu lagi berpuasa, hady (pemberian orang yang melakukan haji atau umrah berupa unta, sapi atau kambing) akibat melakukan sesuatu yang dilarang waktu ihram, dan hak tanggungan fakir miskin jika harta zakat tidak mencukupi (Qardhawi, 2004).
Di samping hak-hak yang diwajibkan dan aturan-aturan yang telah dijelaskan di atas, islam juga mengupayakan pembentukan pribadi luhur, dermawan dan rela berkorban. Yaitu figur pribadi yang bisa memberikan lebih banyak dari yang diminta, menginfakkan lebih dari yang diwajbkan, bahkan bisa memberi tanpa diminta sekalipun, dalam setiap situasi dan kondisi (Qardhawi, 2004).
Selain dari beberapa cara atau instrumen yang dikemukakan oleh Qardhawi, kita juga dapat melihat adanya kegiatan sosial yang memberikan dampak positif terhadap penanggulangan kemiskinan. Kegiatan sosial tersebut antara lain "orang tua asuh" yaitu turun tangannya orang-orang yang mampu untuk mendanai kebutuhan anak telantar atau anak yang orang tuanya kurang mampu. Dana yang ditanggung biasanya untuk kebutuhan pendidikan dan kebutuhan hidup.
Dan yang tak kalah penting adalah adanya jaminan keluarga dekat yang mampu. Di mana cengkeraman kemiskinan dan lilitan kebutuhan hidup yang tidak terpenuhi menurut islam juga dapat diatasi dengan adanya jaminan dari masing-masing anggota keluarga. Islam menempatkan famili dekat atau posisi kerabat sebagai orang yang harus peduli dan saling membantu kesulitan kerabatan yang lain.

4.        Peran Pemerintah
Dalam mengatasi berbagai permasalahan dalam bidang ekonomi perlu terlebih dahulu dimulai dari pembenahan perilaku individu. Perilaku yang seirama dengan syariat islam dan menyatu dalam diri individu menyebabkan apapun posisi dan peran yang dipegangnya akan berjalan sesuai dengan norma yang islami. Konsumen tidak akan mengkonsumsi secara berlebihan dan sebagai produsen. Ia tidak akan berinvestasi dalam bidang-bidang terlarang dan akan memperlakukan tenaga kerja sebagai mitra, sedangkan sebagai penguasa ia akan senantiasa mendahulukan kepentingan umum.
Jika saja para pelaku ekonomi dan penguasa memiliki internalized-behaviour semacam ini, maka permasalahannya akan mudah dan sistem perekonomian akan memberikan hasil yang terbaik karena menjadi bekerjanya invisible-hand yang islami. Kemiskinan dan pengangguran tidak akan merebak di tengah-tengah masyarakat.
Dalam kaitan ini, salah satu tugas penting pemerintah dalam bidang jaminan adalah membebaskan masyarakat dari jerat kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara adil. Penanggulangan kemiskinan bertujuan untuk melahirkan masyarakat yang sejahtera (lahir bathin) dan berkeadilan. Indikator kesejahteraan tersebut adalah terbebas dari kekufuran, kemusyrikan, kelaparan dan rasa takut. Sasaran yang ingin dicapai tersebut mempunyai dimensi yang cukup luas. Islam dari awal sudah mengamanatkan bahwa pemerintah berkewajiban untuk berupaya secara aktif mengatasi kemiskinan dan pengangguran.
Dengan demikian, secara lebih spesifik langkah-langkah yang dapat diambil pemerintah dalam kerangka ekonomi islam untuk mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran antara lain sebagai berikut:
a.    Memposisikan Ekonomi Syariah.
b.    Mengelola dana Zakat, Infak, Wakaf, Sedekah dan Sumbangan Sukarela untuk tujuan produktif.
c.    Kebijakan   fiskal   untuk   menciptakan   kesempatan   kerja (full employment)
d.    Kebijakan jangka panjang.

KESIMPULAN
Secara universal pandangan manapun tidak dapat menafikan adanya kemiskinan, dan pada umumnya semua orang berpendapat bahwa kemiskinan harus diperangi atau di berantas.
Akar masalah kemiskinan dapat ditelusuri dari berbagai sudut pandang. Dari sisi individual, kemiskinan dapat disebabkan oleh kemalasan. Buruknya etos kerja ini berakibat pada titik termanfaatkannya semua sumber daya yang dimiliki secara optimal.
Kendati konsep penanggulangan kemiskinan dan pengangguran sudah banyak juga dikemukakan dan sebagiannya telah diterapkan, namun kenyataannya belum membawa hasil yang efektif. Menurut konsep islam, kemiskinan dapat diatasi melalui beberapa cara yaitu dengan menggunakan ekonomi syariah, bekerja, jaminan keluarga dekat yang mampu, zakat dan sumbangan sukarela dari orang-orang yang mampu. Dan peran pemerintah yang sangat penting dalam penanggulangannya.


DAFTAR PUSTAKA


……, 2006, Al- Qur’an Al-Karim wa tafsiruhu (Al-Qur’an dan Tafsirnya) Jilid 5, Departemen Agama.
Idris, S., 1997. Gerakan Zakat Dalam Pemberdayaan Ekonomi Ummat. PT. Citra Bangsa; Jakarta.
Kuncoro, M., 1997. Ekonomi Pembangunan Teori, Masalah, dan Kebijakan. UPP AMP YKPN, Yogyakarta.
Qardhawi, Y., 2004. Norma dan Etika Ekonomi Islam, Diterjemahkan dari Daurul Qiyam Wal Akhlaq Fil Iqtishadil Islami (1997). Gema Insani Press, Bandung.
Rofiq, A., 2003. Menakar Efektivitas Zakat. Suara Merdeka, Jumat 14 November.