Oleh:
Eki
Baihaki
Jurusan
Ilmu Komunikasi Universitas
Langlangbuana Bandung
e-mail:
ekibaihaki165@gmail.com
ABSTRAK
Loyalitas etnis terhadap pemerintah tidak
dapat dianggap sebagai sesuatu yang
muncul dengan sendirinya karena
setiap proses timbal
balik dari interaksi
sosial, loyalitas etnis adalah
untuk pemerintah itu
sendiri. Seperti loyalitas dari semua warga
negara, loyalitas etnis tidak
hanya muncul
tetapi juga dipelihara oleh pemerintah dan masalah ini berpotensi akan memberikan pengaruh terhadap bentuk pemerintahan.
tetapi juga dipelihara oleh pemerintah dan masalah ini berpotensi akan memberikan pengaruh terhadap bentuk pemerintahan.
Kata kunci: loyalitas etnis,
bentuk pemerintahan
ABSTRACT
Etnicloyality over a
national goverment cannot be regarded as something that emerges by itself since
any reciprocal process of social interaction, etnic loyality for goverment
itself. Like the loyality of all citizen, etnic loyality is not only tobe
established but preserved and deverloped as well by a national goverment and
this issue will potentially give influence to the format of a govermental form.
Keywords:
etnicloyality, govermental form
PENDAHULUAN
Gejolak etnik yang kembali marak sejak tahun
1970-an, yang didorong oleh kekecewaan yang berlarut dalam negara nasionalnya
masing-masing, telah memunculkan gerakan-gerakan etnik yang mengajukan beraneka
ragam tuntutan politik, minimal untuk mendapat perhatian dan otonomi, dan
maksimal untuk mendirikan negara etnik tersendiri. Toffler bahkan
meramaikan bahwa permasalahan etnik akan berlanjut terus sampai abad ke-21.
Banyaknya etnik bagaikan sebuah anomali dalam
perkembangan sejarah politik modern sejak abad ke-18. Yang umumnya merupakan
sejarah terbentuk- nya
negara-negara nasional, dalam salah satu sisi kebangkitan etnis ini bisa di
tafsirkan sebagai salah satu indikasi dari kegagalan negara nasional. Jika
permasalahan ini tidak tertangani dengan baik, maka negara nasional dapat
mengalami disintegrasi dan kehancuran.
Loyalitas etnik terhadap negara nasional ternyata
tidak bisa dipandang sebagai hal yang timbul dengan sendirinya. Sesuai dengan
sifat reciprokal dari setiap proses interaksi sosial, loyalitas etnik kepada
pemerintah negara, terbukti terkait dengan posisi, kinerja dan manfaat negara
nasional itu sendiri. Seperti juga loyalitas seluruh warga negara, loyalitas etnik bukan saja harus
di bangun,
tetapi juga harus dipelihara, serta dikembangkan oleh negara nasional dan
masalah tersebut secara potensial memberi pengaruh terhadap format bentuk
negara.
Wacana federalisme merupakan bagian dari proses
dialektika sejarah bangsa, bahkan sesungguhnya federalisme, sudah dimulai dalam
masa singkat British interregnum, yaitu era penjajahan Inggris pada tahun
1811-1816, serta pada pasca kemerdekaan yang menerapkan bentuk negara federal
pada tahun 1949-1950. Setelah itu Indonesia menganut sistem unitarian, negara
kesatuan. Di mana
hasilnya kurang lebih adanya uniformisasi segala bidang dan sentralisasinya
yang ketat. Bahkan over centralization. Namun untuk`menerapkan federalisme, juga
diperlukan kearifan serta pemikiran yang matang yang dilindasi sikap
kewarganegarawanan.
Permasalahan etnik serta etnisitas akan senantiasa
mempengaruhi dinamika perjalanan bangsa, karena etnik bukan saja ada dalam
setiap negara nasional, tetapi juga karena sebagian besar negara-negara di dunia mempunyai
penduduk yang multi etnik. Dari 175 negara anggota perserikatan Bangsa-Bangsa,
hanya 12 negara saja yang penduduknya agak homogen. (Koentjaraningrat, 1993).
Pengabaian masalah untuk etnik, dapat menyebabkan terjadinya kejutan berupa
gejolak politik yang dapat membahayakan integritas dan eksistensi negara.
Sehingga perlu penangganan yang tepat.
Secara umum, republik Indonesia tidak terkecuali
dari fenomena politik global tersebut diatas.hingga saat ini, kita masih
menghadapi berbagai gejolak etnik, yang sebagian jelas bermotifkan ketidak
puasan etnik, terutama etnik yang terdiam diluar pulau jawa, seperti di Aceh,
Irian Jaya, Riau, Kalimantan, termasuk Timor Timur yang sudah melepas diri dari
negara kesatuan Republik Indonesia, sebagai hasil dari referendum yang telah
dilaksanakan. Gejolak etnik bangkit dilatarbelakangi oleh adanya ketidak adilan
hubungan antara pusat dan daerah dalam bidang politik maupun ekonomi.
RAS, ETNIS DAN
ETNISITAS
Berdasarkan karakteristik biologis- nya, umat manusia lazim
dikelompokan dalam berbagai ras. Bila ras tersebut dikaitkan dengan
kebudayaannya, maka terbentuklah etnik. Dari suatu ras yang sama dapat timbul
berbagai etnik. Dari suatu ras yang sama dapat timbul berbagai etnik. Barth
merumuskan etnik sebagai berikut: “Etnik adalah suatu populasi yang
secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan, mempunyai nilai-nilai budaya,
membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, menentukan sendiri ciri
kelompoknya, yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok
populasi lain”.
(Barth, 1988)
Setiap manusia pasti menjadi warga dari salah satu
ras dan etnik. Dari latar belakang ras dan etnik. Dari latar belakang dan etnik
itulah suatu masyarakat membentuk tipe kepribadian dasar serta tipe kepribadian
status, yang selanjutnya menjadi acuan bagi pembentukan kepribadian warganya
(Linton, 1962).
Lazimnya etnik mempunyai suatu homeland yang jelas
batas-batasannya. Adanya kebudayaan serta homeland sendiri merupakan ciri khas
etnik, yang membedakannya dengan ras. Agama yang kitab-kitab sucinya bersifat
universal, secara kultural akan mempunyai warna lokal, dan menjadi bagian
menyeluruh dari budaya etnik ini.
Kebudayaan etnik mempunyai arti penting bagi
politik, karena latar belakang konfigurasi kebudayaannya etnik itu tumbuh
kultur politik suatu bangsa. Setiap budaya etnik mempunyai nilai khas tentang
manusia, kekuasaan, kepemimpinan, serta pemerintahan. Yang akan membentuk dan
mempengaruhi visi, persepsi dan reaksinya tentang pemerintah dan negara yang terbentuk
kemudian, baik ditingkat nasional maupun ditingkat daerah. Dimensi politik dari
etnik itu yang disebut dengan etnisitas.
Jika keanekaragaman etnik dalam suatu negara
nasional adalah suatu keniscayaan yang tidak mungkin dihindari, maka pertanyaan
mendasar yang memerlukan jawaban adalah: bagaimana agar seluruh etnik tersebut
dapat hidup berdampingan secara damai satu sama lain.
ETNIK DAN NEGARA
NASIONAL
Taufik abdullah pernah menulis bahwa nasionalisme
Indonesia sesungguh- nya
merupakan gejala perantau. Sejarah menunjukan bahwa paham nasionalisme tumbuh
dan berkembang dikalangan anak muda yang meninggalkan kampung halamannya untuk
belajar, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Seperti Soekarno,
serta Hatta yang menjadi tokoh nasionalis di Rotterdam Balanda.
Wujud nasionalisme pada tahap awal ini menjadi
seorang nasionalis berarti harus menanggalkan identitas etnik. Hal ini terlihat
padato tokoh-tokoh nasionalis yang berasal dari luar jawa. Jika soekarno lahir
dan bangga mengutip kisah-kisah pewayangan Jawa, Hatta dan Mohammad Yamin
misalnya, tidak pernah bersedia menampilkan diri sebagai orang Minangkabau atau
memakai pepatah penelitih Minangkabau. Yamin bahkan memperdalam bahasa sankrit
dan jawa kuno. Ia juga aktif dalam merumuskan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928.
Dimana hal tersebut dijelaskan oleh Bung Hatta, sebagai reaksi logis terhadap
politik pecah belah Belanda. Serta hasil analisis dari sejarah perlawanan
terhadap kolonialisme di Indonesia, di mana kaum terpelajar ini,
menyadari bahwa mustahil untuk memperoleh kemerdekaan selama bangsa Indonesia
belum bersatu.
Meskipun menganut faham nasionalisme yang sama,
namun terdapat nuansa kultural etnik yang jelas dalam visi
politik kaum nasionalis ini. Soekarno yang orang Jawa menganut nasionalisme dengan
faham kekuasaan khas Jawa, yaitu memberikan peranan yang amat besar kepada
pemimpin serta sebagai massa “Wong cilik” yang pasif, sedang pemimpin yang
memikul tanggung jawab untuk memajukannya. Dengan istilah Ki Hajar Dewantara,
Soekarno lebih menyukai democratie met
leaderchap. Hatta yang seorang Minangkabau menganut faham nasionalisme
dengan faham kekuasaan khas Minangkabau, yang disebutnya sebagai “daulat
rakyat” dan bukan “daulat tuanku”. Dalam pandangan Hatta, meskipun rakyat itu
terbelakang, namun dapat dididik untuk mengurus dirinya sendiri. Beliau juga
mempelopori gerakan koperasi, yang mengandalkan kerjasama dari rakyat kecil.
Perbedaan konseptual mengenai kekuasaan, yang timbul sejak usia muda, diantara
mereka, tidak pernah bisa didekatkan sampai keduanya meninggal dunia.
Negara nasional hanya mungkin dibentuk dan berfungsi
dengan baik berdasarkan faham nasionalisme. Faham nasionalisme mengajarkan
bahwa suatu bangsa yang bernegara dapat dibangun dari masyarakat yang majemuk,
jika warga masyarakat tersebut benar-benar kuat untuk membangun masa depan
bersama, terlepas dari perbedaan agama, ras, etnik atau ikatan primordial
lainnya. Nasionalisme adalah suatu visi, suatu persepsi, dan bangsa yang
dibangun berdasarkan visi ini adalah suatu imagined
community (Anderson, 1989).
Nasionalisme adalah condition sine qua non dari negara nasional. Untuk dapat berfungsi
dengan baik selain memerlukan dukungan ideologi dan nasionalisme, negara
nasional memerlukan juga dukungan demokrasi. Nasionalisme sebagai semangatnya,
sedang demokrasi sebagai instrumen dan mekanisnya. Dalam nasionalisme, dibangun
semangat rakyat untuk bersatu, sedang demokrasi, menjamin jati diri dan
keikutsertaannya
dalam kehidupan bernegara. Melalui keikutsertaannya itu terjamin basis sosial
yang luas bagi eksistensi serta stabilitas negara dan terdap dirinya sendiri,
rakyat tidak akan tergoda untuk memberontak.
Suatu negara yang masyarakatnya terdiri dari satu
etnik, maupun yang masyarakatnya multi etnik, rakyat dan etnik itu satu. Rakyat
adalah etnik in abstracto, sedang
etnik adalah rakyat in concreto.
GEJOLAK ETNIK DAN
PENANGANANNYA
Dalam negara nasional yang demokratis, etnik tidak
lenyap tetapi bisa surut ke belakang atau melarut dalam berbagai lembaga
politik yang ada. Selama pemerintah negara nasional berfungsi, antara lain
dengan secara adil mengalokasikan sumber daya nasional yang ada, baik antar
sektor maupun antar wilayah, etnik akan hidup terteram dalam kerutinan
kehidupan sosial budayanya. Namun, jika negara nasional mengalami kemorosotan,
dan masing-masing golongan yang ada dalam masyarakat harus berjuang untuk
memperoleh hak dan memenuhi aspirasi dan kepentingan- nya yang syah, pada
saat itu etnik dan etnisitas ini akan tampil kembali kemuka.
Gejolak etnik dalam negara nasional dapat difahami
sebagai laporan konduite jelek dari pemerintahan suatu negara nasional. Bangsa
yang multi etnik pada dasarnya akan selalu menghadapi resiko pecahnya gejolak
etnik. Menghadapi potensi gejolak rakyat itu sendiri perlu dirumuskan pola
kebijakan penanganannya yang tepat, agar supaya pencegahan, penanggulangan
serta rehabilitasnya tetap dapat memelihara semangat nasionalisme rakyat, yang
demikian vital peranannya bagi kelangsungan hidup negara.
Upaya penangganan keamanan apapun juga jangan sampai
menimbulkan dendam keturunan. Seperti dirangkum dengan tepat oleh Hart (1962),
pilihan strategi keamanan pada taraf terakhir akan terfokus pada pola pemikiran
Clausewitz atau pola pemikiran Sun Tzu. Clausewitz,
dengan singkat menyatakan: Der Krieg ist
also ein Akt der Gewalt, um der Gegner zur Erfullung unseres Willens zu zwigen,
artinya; perang, oleh karena itu, merupakan suatu tindak kekerasan yang
bermaksud untuk membuat lawan kita memenuhi kemauan kita (Clausewitz, 1994
dalam Griffith, 1971).
Sudah tentu strategi ini dapat amat efektif, hanya
tidak mustahil barut-barut luka psikologis akibat pemulihan keamanan dapat
mengendap ke alam bahwa sadar penduduk dan tinggal di sana dalam waktu yang
lama. Oleh karena pemulihan keamanan dilakukan secara vulgar, tanpa
memperhitungkan penting- nya
kesadaran nasionalisme penduduk itu sendiri, maka pelaksanaan kebijaksanaan ini
justru bisa bersifat bersifat kontra produktif, oleh karena dapat meniadakan
basis sosial legitimasi dan kewibawaan negara itu sendiri.
Apabila dikaitkan dengan paradigma Gregoty
Ellinwood, akar masalah gejolak etnik justru terletak pada kebijakan
pemerintah, sehingga pada dasarnya keberhasilan upaya pemulihan keamanan dapat
dilakukan dengan mencari kebijaksanaan yang paling tepat untuk kondisi khas
yang dihadapi.
Berbeda dengan Clausewitz, Sun Tzu mengajarkan “for to win a hundred victories in one
hundred battles is not the acme ofskill. To subdue without fighting is acme of
skill.” (Griffith, 1971). Seperti
diulas oleh Liddle Hart, Sun Tzu tidak menyukai thestrategi of direct approach, seperti yang antara lain diajarkan
Clausewitz. Ia lebih menyukai the
strategi of indirect approach, yang mungkin harus menyiapkan waktu yang
lebih lama, matang serta menghendaki kesabaran yang luar biasa, tetapi hasil
yang diperoleh tanpa menimbulkan masalah baru.
FEDERALISME PASCA
KEMERDEKAAN
Sesungguhnya keinginan untuk membentuk negara
federal bukan muncul pada saat ini saja. Bibit-bibit Federalisme di ”Bumi
Nusantara” ini sudah mengemuka pada pasca kemerdekaan yang diproklamasikan 17
Agustus 1945.
Paling tidak itu yang terlihat dari penyelenggaraan
konferensi Malino, Gowa, Sulawesi Selatan,
17 juli 1946. Di kota
dingin itulah berkumpul sejumlah utusan dari beberapa daerah di tanah air.
Seperti Kalimantan (Barat, Timur, dan Selatan) Maluku (utara dan selatan),
Lombok, Bali, Bangka, Belitung, Riau, Lalu, dari sulsel, Sulut (Minahasa,
Manado, dan Sanghie Talud), serta papua. Akhirnya provokasi HJ. Van Mook wakil
gubernur Jenderal Hindia Belanda berhasil memecah belah Indonesia, dengan
memunculkan Negara Indonesia Timur pimpinan Sukawati.
Kemudian berturut-turut diproklamasikan sejumlah
negara lagi, sepanjang tahun 1947 sampai 1949. Disini lahir negara Pasundan di
Bandung (4 Mei 1947), Dewan Federal Kalimantan Tenggara (9 mei 1947), Wilayah
Khusus Kalimantan Barat (12 Mei 1947).Setelah itu berdiri negara Madura (23
januari 1948), negara Sumatera Timur di Medan (24 Maret-1948), Negara Jawa
Timur di Bondowoso (16 November 1948) dan Negara Islam Indonesia (NII) di Tasikmalaya
pada 7 Agustus 1949. Gerakan-gerakan seperti ini terus bermunculan diberbagai
wilayah. Termasuk di Sulawesi, Aceh Sumbar dan lainnya.
Pakar hukum ketatanegaraan Harun Alrasid
mengungkapkan, pemerintah Belanda yang berusaha menegakkan kembali kekuasaannya
di Indonesia, memang menciptakan negara-negara bagian dan satuan-satuan
kenegaraan. Tujuannya adalah melumpuhkan status Republik Indonesia yang
dibentuk dengan proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai negara nasional, selain
untuk memecah belah rakyat Indonesia, atau politik devide et impera.
Usaha ini lumayan berhasil. Di antaranya sempat
muncul negara Republik Indonesia Serikat, 27 Desember 1949 yang terdiri dari 16
daerah bagian itu. Diantaranya, tujuh negara bagian Republik Indonesia (Yogya),
dengan wilayah menurut status quo yang tercantum dalam persetujuan Renville, 17
Januari 1948. Seperti Indonesia Timur, Pasundan, Jawa Timur, Madura, Sumatera
Timur, dan Sumatera Selatan. Lalu, sembilan satuan kenegaraan yang berdiri
sendiri ini mencakup Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan Barat,
Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara, dan Kalimantan Timur.
GAGASAN FEDERALISME
Sebenarnya, gagasan negara federasi bukanlah baru
benar. Karena para pendiri republik ini pada awalnya sudah cukup intensif
membicarakan seperti apa bentuk negara baru itu. Sebagai negara bekas jajahan
Belanda dan Jepang, negara Indonesia kala itu masih sulit menentukan pilihan.
Tokoh yang satu-satunya yang sejak dini menghendaki republik ini sebagai negara
federasi adalah bung Hatta.
Gagasan negara federasi itu sudah ditemukan Bung
Hatta sejak ia masih menjadi mahasiswa di Belanda. Dalam perkumpulan
perhimpunan Indonesia (PI). Bahwa Bung Hatta adalah seorang federalis
dikemukakan rekan seperjuangan Bung Hatta kala itu, Sunario, Mantan Menteri
Luar Negeri pada kabinet Ali Sastroamidjojo yang pertama ini pernah
menceritakan pengalamannya. “Ada pertanyaan pelik yang kadang terdengar:
bukankah Bung Hatta seorang federalis?”, begitu tulis Sunario. “Hatta itu bagi
kebanyakan di antara
kita, merupakan contoh sebagai seorang nasionalis dan patriot muda yang hatinya
kuat seperti baja dan jernih pikirannya.”
Gagasan negara federasi itulah yang pernah dibela
Bung Hatta, menurut Prof. Sunario, sikap Hatta ini semata-mata dimaksudkan untuk
menjaga, “jangan sampai kepentingan daerah-daerah di luar Jawa kurang mendapat
perhatian, jika Indonesia menjadi negara kesatuan”.
Harus diakui, gagasan Bung Hatta ini tidak
disepakati oleh rekan-rekannya kala itu. Mereka sangat hawatir, jika negara federasi
atau negara serikat kala itu diwujudkan, maka rasa persatuan yang kala itu
diwujudkan, maka rasa persatuan yang kala itu, rasa persatuan itu jelas
dimaksudkan untuk melawan kolonialisme Belanda.
Alasan Bung Hatta itu jelas. Negara federasi,
menurut Bung Hatta memberi peluang agar daerah-daerah dapat mengembangkan
dirinya. Selain itu, agar terjadi kompetisi yang sehat antara
negara bagian. Bung Hatta yang kukuh
pendiriannya. Akan tetapi beliau juga selalu memiliki sikap kewarnageraan.
Karena itu, ketika berhadapan dengan rekan-rekan seperjuangannya di dalam rapat Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 29 Mei
1945, Bung Hatta Harus tunduk pada kesepakatan bersama. Kesepakatan yang
dipelopori oleh Mohamad Yamin itu menyebutkan, bahwa rakyat indonesia menolak
segala paham yang dirasakan bakal menghambat terbentuknya negara kesatuan
Republik Indonesia.
Paham-paham yang ditolakitu diantaranya adalah:
federalisme (persekutuan), federalisme (susunan lama), monarki (kepala negara
turun temurun), liberalisme autokrasi dan biokrasi. Satu hal lagi yang kala itu
ditolak adalah apa yang disebut sebagai demokrasi barat.
Tunduknya Bung Hatta pada kesepakatan bersama dalam
BPUPKI itu, menurut Sunario, “membuktikan secara definitif bahwa Bung Hatta
memang menyetujui bentuk negara kesatuan untuk Indonesia”.
PERUBAHAN
KONSTITUSIONAL
Selisih pendapat antara negara federasi dan negara
kesatuan ini sudah terjadi sejak para pendiri negara ini masih menjadi
mahasiswa dan bahkan kemudian menjalar sampai BPUPKI yang mempersiapkan segala
seluk beluk negara Republik Indonesia kala itu, misalnya terjadi perdebatan
yang cukup alot, mau memilih negara federasi atau kesatuan. Disepakati, bahwa
wadahnya tetap republik. Hanya saja, bisa republik federasi (serikat) seperti
Amerika Serikat atau republik kesatuan. Dan Mohamad Yamin condong kepada
republik kesatuan. Dan yang menarik dicatat, kesepakatan tentang negara
Indonesia yang berbentuk republik kesatuan ini dikatakannya sudah final.
Keberadaan negara kesatuan itu berlangsung dari 17
agustus 1945 hingga 27 Desember 1949. Setelah Belanda kembali ke
Indonesia, maka dipecah-pecahlah Negara Indonesia ini menjadi negara-negara
bagian yang kemudian dikenal sebagai Republik Indonesia
Serikat (RIS). Kemudian terjadilah pasang surut. Di mana negara kesatuan
RI berubah menjadi negara serikat (federasi). Dan, negara serikat diubah
menjadi negara kesatuan. Kala itu. Soepomo, yang dikenal sebagai pelopor negara
integralistrik sempat pula mengemukakan sikapnya. Dikatakannya, “perubahan
struktur negara dari bentuk federal menjadi bentuk kesatuan itu tidak melanggar
konstitusi, bahkan adalah suatu kejadian konstitusional,” kata Soepomo.
Sebaliknya, dalam pandangan Soepomo, jika kemudian
terjadi perubahan dari bentuk kesatuan menjadi bentuk serikat, hal ini juga
merupakan peristiwa konstitusional. Dan yang harus dipertahankan sebagai wadah
negara nasional adalah tetap ‘Republik Indonesia’.
Lalu, sebenarnya apa yang diinginkan rakyat
Indonesia? Tak jelas benar. Karena sebenarnya terdapat perbedaan tajam yang
harus dijelaskan, bahwa semangat separatisme yang kini marak,
tidaklah seiring dengan semangat menuju negara federasi yang pernah
dicita-citakan. Sementara, di lain
pihak, negara federal tidak perlu terlalu ditakuti bakal membawa disintegrasi.
FEDERAL VS NEGARA
KESATUAN
Dalam teori pemerintahan secara garis besar dikenal
dua model dalam transformasi negara yaitu model negara kesatuan dan model Negara federal. Secara sederhana, pengertian negara federal adalah
pemerintahan yang terbentuk dari beberapa negara bagian. Tiap-tiap negara
bagian memiliki otonomi untuk mengatur masalah dalam negerinya. Kekuasaan
pemerintah federal hanya mengatur bidang-bidang
tertentu.
Model negara federal, berangkat dari suatu asumsi
dasar, bahwa ia dibentuk oleh sejumlah negara atau wilayah yang independen,
yang sejak awal memiliki kedaulatan atau semacam kedaulatan pada dirinya
masing-masing. Negara-negara atau wilayah-wilayah itu, yang kemudian bersepakat
membentuk sebuah federal. Negara dan wilayah pendiri negara federasi itu
kemudian berganti status menjadi negara bagian atau wilayah administrasi dengan
nama tertentu dalam lingkungan federal.
Dengan kata lain, negara atau wilayah yang menjadi
anggota federasi itulah yang pada dasarnya memiliki semua kekuasaan, yang
kemudian diserahkan sebagian kepada pemerintah federal (pusat). Biasanya,
pemerintah federal (pusat) diberi kekuasaan penuh dibidang moneter, pertahanan,
peradilan dan hubungan luar negeri. Kekuasaan lainnya cenderung dipertahankan
oleh negara bagian atau wilayah administrasi. Kekuasaan negara bagian biasanya
sangat menonjol dalam urusan-urusan
domestik, seperti pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, dan
keamanan masyarakat (kepolisian).
Menurut Ivan A. Handar, ketua Institut Pendidikan
Demokrasi, dengan menggunakan kriteria longgar, terdapat tiga bentuk federal.
Pertama, sistem federal murni, lalu federal dalam bentuk federal arrangement,
dalam kriteria ini pemerintahan otonomi begitu kuat, sehingga mendekati sistem
federal. Ketiga adalah associated states,
yaitu negara yang sudah jadi tetapi sulit untuk hidup sendiri.
Dengan kriteria tersebut menurut- nya terdapat sekitar
tujuh puluh persen negara di dunia ini, dalam satu dan lain hal ditata secara
federalisme. Meski sesuai perwujudannya terdapat beragam definisi tentang
federalisme. Beberapa ciri dapat ditemui pada sebagian besar negara yang
menggunakan federalisme. Di mana
definisi tersebut tergantung pada sudut pandang yang dipilihnya sebagai acuan,
yaitu (a) Institusional-fungsionalis, (b) sosiologis, (c) sosial filosofis dan
(d) konstitusional. Ivan menambahan dari sudut pandang
institusional-fungsionalistis, federalisme adalah sebuah bentuk organisasi
kenegaraan, di mana
pengambilan keputusan diatur sesuai dengan membagian tugas antara pusat dan
daerah. Ditilik dari sudut pandang sosiologis, sebuah masyarakat terbagi dalam
teritori berdasarkan latar belakang suku, ras dan agama, perbedaan ekonomi dan
sejarahnya, dapat di klarifikasi sebagai federalistis. Sedangkan dari sudut
sosial filosofis, merupakan organisasi kenegaraan yang dibangun berdasarkan
prinsip subsider (tolong menolong). Terakhir dari sudut pandang pembagian
kekuasaan konstitusi, di mana
elemen dari struktur dasar sebuah negara, legislatif, eksekutif serta yudikatif,
dapat ditemui baik dalam pemerintah pusat maupun negara bagian.
Sedangkan, format negara kesatuan, dideklarasikan
saat kemerdekaan oleh para pendiri negara dengan mengklaim seluruh wilayahnya
sebagai bagian dari satu negara. Tidak ada kesepakatan para penguasa daerah,
apalagi negara-negara, yang diasumsikan bahwa seluruh wilayah yang termasuk
didalamnya bukanlah bagian-bagian wilayah yang bersifat independen. Dengan dasar itu, maka
negara membentuk daerah-daerah atau wilayah-wilayah yang kemudian diberi
kekuasaan atau kewenangan dari pemerintah pusat untuk mengurus berbagai
kepentingan masyarakatnya. Di sini diasumsikan bahwa
negaralah yang menjadi sumber kekuasaan. Kekuasaan daerah pada dasarnya adalah
kekuasaan pusat yang didesentralisasikan. Ini bisa dilihat pada sistem
Indonesia dan RRC.
Adanya wacana menimbang konsep federalism di era
reformasi merupakan cermin dari kedinamisan berpikir. Apalagi dalam dunia politik perubahan
berfikir dan bersikap, merupakan hal yang lumrah. Sebab oportunisme guna
mengejar kepentingan, merupakan pengejawantahan dari salah satu sifat manusia
sebagai insan politik (zoon politicon). Namun bukan berarti
penerapan Federalisme tanpa masalah, menurut Yusril Ihza Mahendra, yang juga
Menteri
Hukum dan Perundang-undangan, untuk menerapkan- nya, Negara kesatuan perlu
dibubarkan terlebih dahulu, daerah yang tidak mujur dengan kekayaan alam dan
jumlah penduduknya yang banyak, bakal kembang kempis, Federalisme juga akan
membuka kemungkinan munculnya negara bagian berdasarkan suku.
Penerapan federalisme juga dapat membuka kemungkinan
lahirnya Raja-raja kecil di daerah. Federalisme meski mendesak tapi tidak perlu
buru-buru dan grusu-grusu. Pilihan politik atas federalisme butuh, kearifan,
kematangan serta kenegarawanan kita semua. Akhirnya sejarahlah
yang kelak akan membuktikan, apakah etnisitas akan menjadi faktor yang memicu
adanya disintegrasi bangsa atau menjadi faktor yang akan memperkarya dinamika
perjalanan bangsa, dalam negara republik yang berdasarkan negara kesatuan atau
negara federal.
DAFTAR
PUSTAKA
Anderson. B., 1989, Imagined communities, Reflections on The
Origin and Spead of Naationalism, Verso, London.
Barth, F., 1988, Kelompok Etnik dan Batasannya, Penerbit
Universitas Indonesia, Jakarta.
Griffith, S. B., 1971,
Sun Tzu, The Art Of War, Oxford Universiti Press, Jakarta.
Hart, B.H.L., 1962, Strategy, Frederick A, Praeger,
Publisher, New York.
Koentjaradiningrat, 1993, Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi
Nasional, UI Press, Jakarta.