Tentang SosioHumanitas Unla

SosioHumanitas Unla merupakan Jurnal Ilmu-ilmu Sosial & Humaniora Universitas Langlangbuana.

Sosiohumanitas berisi karya ilmiah hasil penelitian atau pemikiran berdasarkan kajian literatur yang dimuat dalam bentuk media cetak oleh LPPM Universitas Langlangbuana Bandung.

Materi yang dibahas mencakup masalah dan isu-isu yang aktual mengenai aspek sosial budaya dan kemanusiaan lainnya.

ISSN 1410-9263.

Sistem Pemerintahan, Kepartaian dan Pemilu


(Studi Sistem Pemerintahan, Kepartaian dan Pemilu di Amerika Serikat, Inggris dan Indonesia)

Oleh:
Tati Sarihati

Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Langlangbuana Bandung

e-mail: tatisarihati_fisipunla@yahoo.com

 


ABSTRAK

 

Sistem pemerintahan, kepartaian dan pemilu memiliki keterkaitan yang tak terpisahkan. Sistem kepartaian menunjukkan format keberadaan antar partai politik dalam sebuah sistem pemerintahan secara spesifik mengingat adanya perbedaan sistem politik di setiap negara. Sistem pemilihan mempengaruhi jumlah dan ukuran relatif partai politik di parlemen. Sistem pemilihan di negara yang menganut sistem dua partai berbeda dengan yang menganut multipartai. Mekanisme regulasi dalam sistem politik otoriter dan sentralistik berbeda dengan sistem demokrasi yang umumnya pembatasan dilakukan dengan memberikan prasyarat minimal. Sistem pemilihan menentukan keterpaduan internal dan disiplin masing-masing partai, sebagian sistem mungkin saja mendorong terjadinya faksionalisme. Sebuah sistem pemilu bisa mendorong atau menghalangi pembentukan aliansi di antara partai-partai, yang pada gilirannya akan mempengaruhi iklim politik yang lebih luas.

 

Kata kunci: Sistem pemerintahan, kepartaian, pemilu

 

 

ABSTRACT

 

System of government, the party and the election has inseparable relationship. The party system shows the format of the political parties in the presence of a specific system of government given the differences in the political system of each country. Electoral system affects the number and relative size of parties in parliament. Electoral system in a country that adheres to the two-party system different with that embraces multiparty system. Regulatory mechanisms in the authoritarian and centralized political system is different from the the democratic system that gives general restriction by a minimum prerequisite. The electoral system determines the selection of internal cohesion and discipline of each party, some systems may encourage factionalism. An election system may encourage or hinder the formation of alliances between parties, which in turn will affect the broader political climate.

 

Key word: System of Government, Political Parties, the Election System

 

 

 

 

 

 



PENDAHULUAN

A.       Sistem Pemerintahan dan Kepartaian di Amerika Serikat

Amerika Serikat merupakan negara federasi/serikat yang berbentuk  republic dengan 50 negara bagian. Sistem pemerintahan yang dianut adalah Sistem Pemerintahan Presidensial, sehingga presiden di samping sebagai pemegang kekuasaan juga sekaligus sebagai kepala negara. Sistem pemerintahan Amerika Serikat ditandai oleh pemisahan kekuasaan yang tegas antara eksekutif, legislatif dan yudikatif yang biasa disebut dengan “Separation of Power Theory” dari Montesquieu yang mengajarkan bahwa kekuasaan dalam sustu negara harus dipisahkan dalam 3 (tiga) kekuasaan yaitu: legislatif, eksekutif dan yudikatif dalam rangka terciptanya check and balance sehingga tidak ada kekuasaan yang terlalu dominan.

Presiden memegang kekuasaan eksekutif, berkedudukan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Presiden dan wapres dipilih melalui Pemilu, sehingga tidak bertanggung jawab pada Kongres, tetapi jika presiden dinyatakan melakukan kejahatan dan pelanggran berat (high crimmines and misdemeasnors), yaitu kegiatan melawan negara seperti: penghianatan, korupsi besar, dll., maka presiden bisa dipecat (impeachment).

Kekuasaan legislatif berada pada parlemen yang disebut Konggres (congress). Kongres terdiri dari 2 kamar, yakni  Senat dan House of Representatif. Anggota Senat (perwakilan negara bagian) perwakilan tiap tiap negara bagian masing-masing 2, jadi ada 100 senator. Sedangkan House of Representatif (DPR) ditentukan berdasar- kan jumlah penduduk. Kekuasaan yudikatif berada pada Mahkamah Agung (Supreme of Court) yang  bebas dan merdeka, tidak bisa dipengaruhi oleh kekuasaan lainnya.

Pada dasarnya, Amerika Serikat menggunakan sistem dua partai (two-party system). Ada sejumlah alasan mengapa Amerika menggunakan sistem dua partai. Pertama, orang-orang Amerika kurang berminat dengan perbedaan ideologi seperti halnya di Eropa sehingga menghasilkan cukup banyak partai dengan perbedaan ideologi masing-masing. Kedua, sistem pemilu yang digunakan mendorong terciptanya sistem dua partai. Sistem pemilihan di Amerika mengguna- kan sistem single-member districts. Pemilihan hanya tersedia satu kursi untuk diperebutkan. Partai yang menang dapat meduduki kursi tersebut. Dalam jangka panjang, sistem ini hanya membuka peluang bagi dua partai besar untuk bersaing. Ketiga, ketentuan negara bagian secara sistematis menghalangi munculnya partai ketiga atau calon presiden independent.

 

a.      Partai Republik

Partai Republik banyak mendapat dukungan dari kalangan pengusaha dan profesional dibanding Partai Demokrat. Para pendukung partai ini terdiri dari mereka yang berpendidikan SLTA hingga universitas dan rata-rata beragama Protestan. Orang-orang kulit hitam sangat sedikit mendukung Partai Republik. Berdasarkan politik luar negerinya, Partai Republik amat mendukung superioritas militer. Partai ini juga yang menjadi pendukung utama kemenangan Nixon, Ford, dan Reagan dalam merebut posisi presiden. Partai ini juga mendapat dukungan tinggi dari kalangan berpenghasilan tinggi sedikit mengalami konflik internal. Namun, hal itu tidak berarti apa-apa, sejak awal 90-an partai ini mengalami kemajuan yang cukup pesat di kawasan selatan dan barat yang secara tradisional merupakan benteng pertahanan Partai Demokrat. Kemajuan yang diperoleh Partai Republik disebabkan antara lain, karena kepemimpinan partai selalu berada di tangan politisi moderat dan pragmatis sehingga kurang mengundang konflik.

 

b.      Partai Demokrat

Berbeda dengan Partai Republik, Partai Demokrat mendapat banyak dukungan dari kalangan buruh dan keluarganya, mereka berpendidikan di bawah SLTA, pemilih berkulit hitam, Yahudi, kelompok berpenghasilan rendah, kalangan liberal, pemilih muda dan beragaman Katholik. Dalam politik luar negerinya, Partai Demokrat cenderung memiliki semacam tanggung jawab untuk membela kepentingan Israel. Partai Demokrat memiliki ciri-ciri khusus yakni tempat penampungan dari beragam kelompok mulai dari kelompok kulit putih yang umumnya tinggal di kawasan suburban dan kelompok-kelompok minoritas yang umumnya tinggal di wilayah perkotaan. Perkembangan dalam 20 tahun terakhir, menarik kalangan minoritas baru untuk bergabung dengan Demokrat seperti kelompok pecinta lingkungan hidup, aktivis wanita dan kalangan gay. Perbedaan yang bsar di kalangan pemilih menimbulkan potensi konflik internal partai. Diantaranya datang dari kelompok kulit hitam yang selalu menuntut perlakuan wajar dan lebih baik.

Selain Partai Demokrat dan Partai Republik, ada yang disebut dengan Partai Ketiga. Partai ketiga atau partai selain yang dua partai utama di atas senantiasa muncul dari waktu ke waktu. Mereka berusaha ikut pemilihan. Ada beberapa jenis partai ketiga. Diantaranya adalah partai yang terbentuk oleh adanya isu tunggal (single issue parties) yang tidak mendapat tempat dalam platform kedua partai besar. Selain itu ada jenis partai ketiga lainnya, yakni splinter parties, yang muncul dari partai besar. Dalam setiap partai utama tidak jarang muncul kelompok atau tokoh yang tuntutannya tidak tersalurkan atau tersampaikan. Tokoh ini kemudian membentuk kelompok baru yang merupakan pecahan dari partai tersebut.

 

B.       Sistem Pemerintahan dan Kepartaian di Inggris

Inggris adalah negara kesatuan (unitary state) dengan sebutan United Kingdom yang terdiri atas England, Scotland, Wales dan Irlandia Utara. Inggris berbentuk kerajaan (monarki). Negara Inggris dikenal sebagai induk parlementaria (the mother of parliaments) dan pelopor dari sistem parlementer. Inggrislah yang pertama kali menciptakan suatu parlemen workable. Artinya, suatu parlemen yang dipilih oleh rakyat melalui pemilu yang mampu bekerja memecahkan masalah sosial ekonomi kemasyarakatan. Melalui pemilihan yang demokratis dan prosedur parlementaria, Inggris dapat mengatasi masalah sosial sehingga menciptakan kesejahteraan negara (welfare state).

Sistem pemerintahannya didasarkan pada konstitusi yang tidak tertulis (konvensi). Konstitusi Inggris tidak terkodifikasi dalam satu naskah tertulis, tapi tersebar dalam berbagai peraturan, hukum dan konvensi. Kekuasaan pemerintah terdapat pada kabinet (perdana menteri beserta para menteri), sedangkan raja atau ratu hanya sebagai kepala negara. Dengan demikian, pelaksanaan pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh perdana menteri. Raja/ratu/mahkota memimpin tapi tidak memerintah dan hanyalah tituler dengan tidak memiliki kekuasaan politik. Ia merupakan simbol keagungan, kedaulatan dan persatuan negara. Kekuasaan pemerintah daerah berada pada Council (dewan) yang dipilih oleh rakyat di daerah.

Parlemen atau badan perwakilan terdiri atas dua bagian (bikameral), yaitu House of Commons dan House of Lord. House of Commons atau Majelis Rendah adalah badan perwakilan rakyat yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat di antara calon-calon partai politik. House of Lord atau Mejelis Tinggi adalah perwakilan yang berisi para bangsawan dengan berdasarkan warisan. House of Commons memiliki keuasaan yang lebih besar daripada House of Lord. Inggris menganut Parliament Soverengnity, artinya kekuasaan yang sangat besar pada parlemen.

Kabinet adalah kelompok menteri yang dipimpin oleh perdana menteri. Kabinet inilah yang benar-benar menjalankan praktek pemerintahan. Anggota kabinet umumnya berasal dari House of Commons. Perdana menteri adalah pemimpin dari partai mayoritas di House of Commons. Masa jabatan kabinet sangat tergantung pada kepercayaan dari House of Commons. Parlemen memiliki kekuasaan membubarkan kabinet dengan mosi tidak percaya. Oposisi dilakukan oleh partai yang kalah dalam pemilihan. Para pemimpin oposisisi membuat semacam kabinet tandingan. Jika sewaktu-waktu kabinet jatuh, partai oposisi dapat mengambil alih penyelenggaraan pemerintahan.

Inggris menganut sistem kepartaian dwipartai dengan 2 partai yang saling bersaing. Partai tersebut adalah Partai Konservatif dan Partai Buruh. Partai yang memenangkan pemilu dan mayoritas kursi di parlemen merupakan partai yang akan memerintah, sedangkan partai yang kalah menjadi partai oposisi.

Badan peradilan ditunjuk oleh kabinet sehingga tidak ada hakim yang dipilih. Meskipun demikian, mereka menjalankan peradilan yang bebas dan tidak memihak, termasuk memutuskan sengketa antara warga dengan pemerintah. Inggris sebagai negara kesatuan menganut sistem desentralisasi.

 

PEMBAHASAN

Sistem Pemerintahan dan Sistem Kepartaian di Indonesia Orde Baru dan Era Reformasi

Dalam perkembangan sistem pemerintahan presidensial di negara Indonesia (terutama setelah amandemen UUD 1945) terdapat perubahan-perubahan sesuai dengan dinamika sistem pemerintahan di Indonesia. Perubahan baru tersebut antara lain, adanya pemilihan presiden langsung, sistem bikameral, mekanisme checks and balance dan pemberian kekuasaan yang lebih besar pada parlemen untuk melakukan pengawasan dan fungsi anggaran.

 

1.      Masa Orde Baru (1966-1998)

Orde baru lahir dengan diawali berhasilnya penumpasan terhadap G.30.S/PKI pada tanggal 1 Oktober 1965. Orde baru sendiri adalah suatu tatanan perikehidupan yang mempunyai sikap mental positif untuk mengabdi kepada kepentingan rakyat, dalam rangka mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia untuk mencapai suatu masyarakat adil dan makmur baik material maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 melalui pembangunan di segala bidang kehidupan. Orde Baru bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Orde Baru ingin mengadakan ‘koreksi total’ terhadap sistem pemerintahan Orde Lama.

Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Pada tahun 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.

Dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara, tanggung jawab penuh ada di tangan Presiden. Hal itu karena Presiden bukan saja dilantik oleh Majelis, tetapi juga dipercaya dan diberi tugas untuk melaksanakan kebijaksanaan rakyat yang berupa Garis-garis Besar Haluan Negara ataupun ketetapan MPR lainnya. Kedudukan Presiden dengan DPR adalah sejajar. Dalam hal pembentukan undang-undang dan menetapkan APBN, Presiden harus mendapat persetujuan dari DPR. Oleh karena itu, Presiden harus bekerja sama dengan DPR. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan, artinya kedudukan Presiden tidak tergantung dari Dewan. Presiden tidak dapat membubarkan DPR seperti dalam kabinet parlementer, dan DPR pun tidak dapat menjatuhkan Presiden.

Presiden memilih, mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara. Menteri-menteri itu tidak bertanggung jawab kapada DPR dan kedudukannya tidak tergantung dari Dewan, tetapi tergantung pada Presiden. Menteri-menteri merupakan pembantu presiden. Meskipun kepala negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi bukan berarti ia “diktator” atau tidak terbatas. Presiden, selain harus bertanggung jawab kepada MPR, juga harus memperhatikan sungguh-sungguh suara-suara dari DPR karena DPR berhak mengadakan pengawasan terhadap Presiden (DPR adalah anggota MPR). DPR juga mempunyai wewenang mengajukan usul kepada MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban Presiden, apabila dianggap sungguh-sungguh melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tarcela. Sistem kepartaian menggunakan sistem multipartai, tetapi hanya ada 3 partai, yaitu Golkar, PDI, dan PPP. Secara faktual hanya ada 1 partai yang memegang kendali yaitu partai Golkar di bawah pimpinan Presiden Soeharto.

 

2.      Masa Reformasi (1998-sekarang)

Munculnya Era Reformasi ini menyusul jatuhnya pemerintah Orde Baru tahun 1998. Krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidakpuasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia. Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa pun meluas hampir diseluruh Indonesia. Di bawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya.

Mundurnya Soeharto dari jabatan- nya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi". Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru". Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen) yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR.

Sistem Konstitusional pada era reformasi (sesudah amandemen UUD 1945) berdasarkan Check and Balances. Perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara dilakukan untuk mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara. Sistem yang hendak dibangun adalah sistem “check and balances”, yaitu pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh undang-undang dasar, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama diatur berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing.

Sistem Pemerintahan tetap dalam frame sistem pemerintahan presidensial, bahkan mempertegas sistem presidensial itu, yaitu Presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen, akan tetap bertanggung kepada rakyat dan senantiasa dalam pengawasan DPR. Presiden hanya dapat diberhentikan dalam masa jabatannya karena melakukan perbuatan melanggar hukum yang jenisnya telah ditentukan dalam Undang-Undang Dasar atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden. DPR dapat mengusulkan untuk memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya manakala ditemukan pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar.

 

3.      Sistem Kepartaian

Sistem Kepartaian Indonesia menganut sistem multi partai. Aturan ini tersirat dalam pasal 6A (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Frasa gabungan partai politik mengisyaratkan paling tidak ada dua partai atatu lebih yang bergabung untuk mengusung seorang calon pasangan presiden dan wakil presiden dan bersaing dengan calon lain yang diusulkan partai-partai lain. Ketentuan tersebut menyiratkan bahwa sistem kepartaian di Indonesia harus diikuti oleh minimal 3 partai politik atau lebih.

Sejak era kemerdekaan, sebetulnya Indonesia telah memenuhi amanat pasal tersebut. Melalui Keputusan Wakil Presiden Nomor X/1949, pemilihan umum pertama tahun 1955 diikuti oleh 29 partai politik dan juga peserta independen. Pada masa pemerintahan orde baru, Presiden Soeharto memandang terlalu banyaknya partai politik menyebabkan stabilitas poltik terganggu, maka Presiden Soeharto pada waktu itu memiliki agenda untuk menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu. Pemilu tahun 1971 diikuti oleh 10 partai politik dan pada tahun 1974 peserta pemilu tinggal tiga partai politik saja. Presiden Soeharto merestrukturisasi partai politik menjadi tiga partai (Golkar, PPP, PDI) yang merupakan hasil penggabungan beberapa partai. Walaupun jika dilihat secara jumlah, Indonesia masih menganut sistem multi partai, namun banyak ahli politik menyatakan pendapat sistem kepartaian saat itu merupakan sistem kepartaian tunggal. Ini dikarenakan meskipun jumlah partai politik masa orde baru memenuhi syarat sistem kepartaian multi partai namun dari segi kemampuan kompetisi ketiga partai tersebet tidak seimbang.

Jika dirunut dari catatan sejarah, Daniel S. Lev dalam Amal (1996) menjelaskan bahwa dalam sejarah, sistem kepartaian di Indonesia mulai muncul pada dekade awal abad ini di bawah pengaruh Politik Etis-nya Belanda, lahirnya kelompok cendekiawan baru Indonesia dan membanjirnya pemikiran baru Islam serta gagasan-gagasan baru Eropa. Dalam suatu perubahan cepat pada tahun 1910 dan 1920-an muncul gerakan-gerakan golongan Islam semisal Muhammadiyah dan NU. Sedangkan kaum Komunis dan Nasionalis timbul tenggelam karena permusuhannya dengan Belanda dan konflik di antara mereka sendiri. Pengaruh cendekiawan Indonesia saat itu mulai mampu menjawab kelesuan terobosan baru dalam bidang politik, termasuk partai. Soekarno termasuk salah seorang yang mampu menggerakkan semangat berpartai yang sudah sejak lama terkubur karena kolonialisme Belanda dan pendudukan Jepang. Tepat setelah beberapa bulan Proklamasi, suatu konstitusi yang baru dan rancangan Undang-Undang Kepartaian mulai dibahas untuk membentuk partai tunggal. Tetapi kemudian Soekarno dalam sidang Parlemen mengusulkan untuk membentuk sistem kepartaian Parlementer. Partai yang saat itu muncul adalah Partai Nasional Indonesia (PNI) yang mewadahi golongan nasionalis lama dan baru, Partai Politik Masyumi yang terbentuk masa pendudukan Jepang kembali muncul dengan back-up kuat oleh hampir seluruh elemen umat Islam semisal NU, Muhammadiyah dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). PKI juga muncul setelah melewati serangkaian pemberontakan pada kolonial Belanda dan beberapa partai kecil semisal Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Murba dan Partai Katolik dan Protestan (Parkindo dan Partai Kristen Indonesia).

Pada saat Pemilu 1955 untuk memilih wakil rakyat di parlemen dan majelis terdapat 48 partai dengan berbagai karakter dan backround sosial-budayanya, agama, kesukuan. Dalam Pemilu 1955 inilah kemudian muncul kekuatan partai yang merupakan wajah lama dalam gerakan revolusi yakni PNI, PKI, NU dan Masyumi yang mengumpulkan 75% suara dari ke seluruhan pemilih.

Salah satu kelemahan atau dalam kondisi tertentu kelebihan dari system multi partai adalah munculnya berbagai latar-belakang karakter, religi, paham, budaya yang kemudian menjelma dalam partai. Namun, dari hasil Pemilu kemudian muncul kekuatan partai-partai yang cukup variatif dari berbagai latar belakang. Namun jika diteliti lebih dalam dalam variatifnya partai penguasa Pemilu saat itu satu kata yang bisa menyebut kecenderungan saat itu adalah munculnya dominasi kejawaan di Indonesia. Dari keempat partai pemenang di atas pada kenyataannya lebih banyak memperhati- kan dan diinspirasi dari pandangan hidup dan budaya kejawaan.

Menurut Daniel S. Lev dalam Amal (1996) selama tahun-tahun kemerdekaan, Partai Nasional Indonesia (PNI) dan NU menduduki posisi pusat percaturan politik Indonesia yang sangat penting dan strategis. Meskipun bertentangan dengan tuntuntan ideologis ke-Indonesiaan, namun mereka mewakili suatu kekhasan yang agak fleksibel dari para bangsawan Jawa dan Islam Jawa, di mana keduanya menolak sikap ektrem universalis abad 20. Ketika sumber konflik partai berkurang, bersamaan dengan bubarnya Masyumi di tahun 1960 dan Partai Komunis di tahun 1965, PNI dan NU melakukan penyesuaian-penyesuaian pragmatis untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.

Pada masa Reformasi 1998, terjadilah liberasasi di segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Politik Indonesia merasakan dampak serupa dengan diberikannya ruang bagi masyarakat untuk merepresentasikan politik mereka dengan memiliki hak mendirikan partai politik. Banyak sekali parpol yang berdiri di era awal reformasi. Pada pemilu 1999 partai politik yang lolos verifikasi dan berhak mengikuti pemilu ada 48 partai. Jumlah ini tentu sangat jauh berbeda dengan era orba.

Pada tahun 2004 peserta pemilu berkurang dari 48 menjadi 24 parpol saja. Ini disebabkan telah diberlakukannya ambang batas (Electroral Threshold) sesuai UU Nomor 3/1999 tentang Pemilu yang mengatur bahwa partai politik yang berhak mengikuti pemilu selanjtnya adalah parpol yang meraih sekurang-kurangnya 2% dari jumlah kursi DPR. Partai politikyang tidak mencapai ambang batas boleh mengikuti pemilu selanjutnya dengan cara bergabung dengan partai lainnya dan mendirikan parpol baru. Persentase threshold dapat dinaikkan jika dirasa perlu seperti persentasi Electroral Threshold 2009 menjadi 3% setelah sebelumnya pemilu 2004 hanya 2%. Begitu juga selanjutnya pemilu 2014 ambang batas bisa juga dinaikan lagi atau diturunkan.

 

4.      Hubungan antara Sistem Pemilu, Sistem Kepartaian, dan Sistem Pemerintahan

Dalam Ilmu Politik, sudah lazim bahwa semua sistem politik modern yang terkait dengan pemilihan oleh konstituennya, baik kompetitif maupun tidak, diharuskan memiliki sistem pemilihan. Dari berbagai literatur Ilmu Politik, baik dari Amerika maupun kawasan Eropa ditemui bahwa secara garis besar ada dua sistem pemilihan yang berlaku di dunia saat ini yakni single-member electoral system dan proportional representation electoral system. Kedua sistem ini di Indonesia lebih familiar dengan sebutan Pemilu Proporsional dan Distrik.

Clymer & Rodee (2000) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan single-member electoral system adalah geografi politik negara itu dibagi dalam beberapa wilayah pemilih. Hanya satu wakil dapat dipilih dari setiap wilayah. Meski suara rakyat dalam wilayah itu sangat terbagi-bagi dan banyak calon yang mungkin terdapat di kartu suara, hanya satu calon atau partai yang bisa menang. Sedangkan Proportional Representation electoral system adalah geografi politik negara itu dibagi menjadi beberapa wilayah pemilih. Akan tetapi dalam sistem pemilihan ini, setiap wilayah memilih beberapa wakil, biasanya antara tiga sampai tujuh, tergantung menurut banyaknya jumlah penduduk di wilayah itu. Pembagian wakil dalam setiap wilayah sebanding dengan jumlah suara rakyat di wilayah yang bersangkutan.

 

KESIMPULAN

Sistem pemerintahan yang dianut Amerika Serikat adalah adalah Sistem Pemerintahan Presidensial, sehingga presiden di samping sebagai pemegang kekuasaan juga sekaligus sebagai kepala negara dengan ditandai oleh pemisahan kekuasaan yang tegas antara eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam rangka terciptanya check and balance sehingga tidak ada kekuasaan yang terlalu dominan.

Amerika Serikat menggunakan sistem dua partai (two-party system). Sistem pemilihan di Amerika menggunakan sistem single-member districts. Pemilihan hanya tersedia satu kursi untuk diperebutkan. Partai yang menang dapat meduduki kursi tersebut. Dalam jangka panjang, sistem ini hanya membuka peluang bagi dua partai besar untuk bersaing. Ketiga, ketentuan negara bagian secara sistematis menghalangi meunculnya partai ketiga atau calon presiden independent.

Inggris adalah negara kesatuan (unitary state) berbentuk kerajaan (monarki). Kekuasaan pemerintah terdapat pada kabinet (perdana menteri beserta para menteri), sedangkan raja atau ratu hanya sebagai kepala negara. Dengan demikian, pelaksanaan pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh perdana menteri. Raja/ratu/mahkota memimpin tapi tidak memerintah dan hanyalah tituler dengan tidak memiliki kekuasaan politik namun merupakan simbol keagungan, kedaulatan dan persatuan negara.

Parlemen atau badan perwakilan terdiri atas dua bagian (bikameral), yaitu House of Commons dan House of Lord. House of Commons atau Majelis Rendah adalah badan perwakilan rakyat yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat di antara calon-calon partai politik. House of Lord atau Mejelis Tinggi adalah perwakilan yang berisi para bangsawan dengan berdasarkan warisan.

Sistem pemerintahan Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial dengan perubahan pada pemilihan secara langsung, sistem bikameral, mekanisme cheks and balance, dan pemberian kekuasaan yang lebih besar kepada parlemen untuk melakukan pengawasan dan fungsi anggaran.

Sistem Kepartaian Indonesia menganut sistem multi partai yang  mengisyaratkan paling tidak ada dua partai atatu lebih yang bergabung untuk mengusung seorang calon pasangan presiden dan wakil presiden dan bersaing dengan calon lain yang diusulkan partai-partai lain.

Sistem pemilihan mempengaruhi jumlah dan ukuran relatif parpol di parlemen. Sistem pemilihan bisa mendorong atau menghalangi pembentukan alinasi di antara partai-partai, yang pada gilirannya akan mempengaruhi iklim politik yang lebih luas.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Amal, I. (Ed), 1996, Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Tiara Wacana, Jogjakarta.
Clymer & Rodee, 2000, Pengantar Ilmu Politik, Rajawali Press.


DOKUMEN

Undang-Undang Dasar RI 1945 Hasil Amandemen Pertama-Keempat.
Undang-Undang Pemilu Tahun 2003, 2004, 2008.