Oleh:
Nia Pusparini
Jurusan Ilmu Pemerintahan
FISIP
Universitas Langlangbuana Bandung
Email: nia_fisipunla@yahoo.co.id
ABSTRAK
Implementasi
Kebijakan Program Pemantapan Lembaga
dan Penguatan Pembangunan Perdesaan (P4) belum berjalan
efektif yang ditandai dengan berbagai
masalah yang terjadi di Kecamatan Bojongsoang Kabupaten Bandung. Salah satu faktor yang diduga menyebabkan tidak efektifnya implementasi
kebijakan program P4 ialah tidak optimalnya
pelaksanaan komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi yang
dilaksanakan oleh Pemerintah Kecamatan Bojongsoang Kabupaten Bandung. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa: 1) Dari segi sistematika, isi, dan tujuan dari PP Nomor: 52/2001 tentang
Penyelenggaraan Tugas Pembantuan dan Keputusan Bupati Nomor: 04/2012, Bab III, Pasal 3 & 4 tentang Pedoman Pengelolaan Bantuan Keuangan Kepada
Pemerintah Desa Untuk Program Pemantapan Lembaga dan Penguatan Pembangunan Perdesaan
(P4) di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Bandung
direalisasikan ke dalam kegiatan program P4 yang menandakan, bahwa pemerintah memprioritaskan
pada pembangunan perdesaan; 2) Dampak positif dari kebijakan tugas pembantuan
di Kecamatan Bojongsoang ini adalah: masyarakat lebih mudah beraktivitas untuk meningkatkan
hasil pertanian, memperlancar transportasi angkutan hasil panen, terpenuhinya
sarana prasarana jalan dan sanitasi lingkungan atau terjadinya pemerataan
pembangunan di desa; 3) Dampak negatif pelaksanaan tugas pembantuan adalah
pemerintah tidak menyesuaikan dengan aspirasi masyarakat lokal, waktu
pengerjaan melebihi ketentuan, proposal yang diajukan telah diplot oleh
pemerintah Kabupaten.
Kata Kunci: Implementasi Tugas Pembantuan, Program Pemantapan Lembaga dan Penguatan Pembangunan Perdesaan (P4)
ABSTRACT
The establishment of the Implementation on “Program Pemantapan Lembaga dan Penguatan Pembangunan Perdesaan (P4”) has not run effectively marked with various problems that occur in Bojongsoang, Bandung Regency. One factor that thought to cause to the ineffective implementation of policies program P4 is unoptimal implementation of communication, resources, disposition and bureaucratic structure conducted by the Governments of Bandung Regency Bojongsoang Subdistrict. The results showed that: 1) in terms of systematics, content, and purpose of PP Number 52/2001 concerning the implementation of Tasks and decisions Pembantuan Regent number 04/2012, chapter III, article 3 and 4 of the guidelines on the management of financial assistance to the Government of the village to the establishment of the P4 in Bandung Regency Government indicates that the Government's priority is on rural development; 2) the positive impact of the policy co-administration in District Bojongsoang is: people are more easily move to boost agricultural output, improving crop yields freight transport, road infrastructure and the fulfillment of environmental sanitation or the distribution of development in the village; 3) the negative impact of the implementation of the task co-administration is the government does not comply with the aspirations of local communities, the processing time exceeds the provisions, proposals submitted have been plotted by the District Government.
Keywords: Helping
Task Implementation, Program Pemantapan
Lembaga dan Penguatan Pembangunan Perdesaan (P4)
PENDAHULUAN
Latar Belakang Kajian
Dalam memasuki abad ke 21 pemerintahan
Indonesia telah mengalami beberapa perubahan yang sangat fundamental dalam
menjalankan perpolitikan di tanah air, khususnya di masa reformasi ini secara
eksistensi lahir Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 yang telah
beberapa kali mengalami revisi, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2008. Dengan demikian peningkatan kemampuan daerah untuk
secara kreatif dan optimal mendayagunakan kewenangan -kewenangan yang telah dilimpahkan oleh pemerintah
pusat. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan otonomi daerah berupa kemampuan
untuk merespon dinamika masyarakat setempat secara lebih tepat, cepat dan
kreatif.
Faktanya menunjukkan di era reformasi ini
secara krusial, otonomi telah membuka inovasi baru untuk menjamin kesinambungan
stabilitas dan efektivitas pelaksanaan berbagai kebijaksanaan dalam pembangunan
di daerah. Adapun aplikasinya diawali melalui Peraturan
Pemerintah RI Nomor 52 Tahun 2001 (Anonim, 2001), Pasal 1 poin e disebutkan
bahwa “tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada Daerah dan Desa
dan dari daerah ke Desa untuk melaksanakan tugas tertentu disertai pembiayaan,
sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan
pelaksanaannya dan mempertanggung-jawabkan kepada yang menugaskan”.
Eksistensi
lainnya yang memperkuat daerah dalam
menjalankan kemandirian desa yang sinergis dengan tujuan mencapai kesejahteraan
masyarakat sebagaimana yang dicita-citakan melalui aplikasi Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 (Anonim, 2005). Dengan demikian Pemerintah Kabupaten
Bandung melalui Keputusan Bupati Nomor 04 Tahun 2012 (Anonim, 2012), Bab III,
Pasal 3 sampai dengan 4 memberikan penjelasan maksud, tujuan, dan sasaran
Program Pemantapan Lembaga dan Penguatan Pembangunan Perdesaan (P4). Salah satu
maksudnya, yaitu meningkatkan kapasitas lembaga pemerintahan dan kemasyarakatan
di desa sesuai dengan fungsi dan peranannya dalam rangka meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat. Adapun tujuannya untuk meningkatkan kapasitas lembaga
pemerintahan dan kemasyarakatan serta peningkatan kualitas dan kuantitas sarana
dan prasarana kesejahteraan masyarakat di desa.
Sedangkan sasaran
utamanya adalah bantuan operasional untuk lembaga pemerintahan, dan kemasyarakatan
di desa; pembangunan atau perbaikan jalan desa, jembatan, sarana air bersih,
MCK, kantor desa dan gedung serba guna, lembaga desa (Sekretariat Badan
Permusyawaratan Desa (BPD), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD), Tim
Penggerak – Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (TP-PKK), Karang Taruna),
prasarana/sarana lingkungan, perbaikan rumah tidak layak huni (RTLH), kirmir
jalan/solokan, perbaikan saluran irigasi, dan pembangunan/perbaikan bak tempat pembuangan
sampah (TPS).
Guna mendukung
keberhasilan Program P4 ini dibentuk Tim
Pembina Tugas Pembantuan Bidang Infrastruktur Perdesaan tingkat kecamatan
dikoordinasikan dan diketuai oleh Camat yang beranggotakan unsur seksi
pemberdayaan masyarakat, unsur seksi pemeliharaan sarana umum, dan pengelola
jalan eks cabang Dinas Pekerjaan Umum selaku pendamping teknis. Sedangkan Tim Penggerak
Kegiatan desa (TPKD) program P4 terdiri atas kepala desa, sebagai ketua, Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai pendamping aspirasi masyarakat dan ketua LKMD
atau pengurus LKMD lainnya sebagai wakil ketua, bendahara TPKD dari unsur
pemerintah desa serta tenaga teknis dalam TPKD dipilih dri warga masyarakat
yang dianggap mampu dan secara sukarela dapat menyumbangkan tenaga, materi, dan
ide.
Program P4 diimplementasikan
secara stimulan oleh Pemerintah kabupaten Bandung sejak tahun 2009, yang mana
sampai dengan tahun 2013 sebanyak 325 desa termasuk diantaranya beberapa desa
yang berada di Kecamatan Bojongsoang Kabupaten Bandung antara lain Cipagalo,
Bojongsoang, Tegalluar, Lengkong, Buahbatu, dan Bojongsari. Dari keenam desa
ini secara kuantitatif kurang lebih dari rencana kepada realisasi Program P4 baru berjalan sebesar 50 persen
saja (Sumber: Desa Bojongsoang, 2013). Dengan demikian dalam realisasinya
Program P4 belum berjalan efektif, karena dari 6 (enam) desa hanya 5 (lima)
desa saja yang belum secara menyeluruh dapat mengalokasikan kegiatan program P4
sesuai rencana walaupun masyarakat sudah berswadaya namun masih belum optimal.
Fakta lainnya
mengindikasikan belum efektifnya program P4 di kecamatan Bojongsoang Kabupaten
Bandung antara lain waktu penyelesaian pembangunan infrastruktur dalam
pelaksanaannya melebihi dari waktu yang sudah ditentukan (dari 3 bulan selesai
dalam waktu 6 bulan), pelaksanaan program P4 tidak sesuai dengan petunjuk
pelaksanaan dan petunjuk teknis, penempatan pegawai untuk menangani program P4
tidak sesuai dengan bidang pekerjaannya, tidak ada sanksi tegas dari pemerintah
mengenai keterlambatan pekerjaan, dan pengajuan proposal untuk usulan program
P4 tidak dsesuaikan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat setempat (seperti
sulitnya air bersih, kurangnya fasilitas sanitasi, kurangnya pelayanan air
irigasi, sarana pasar dll).
Untuk mengkaji
permasalahan tersebut di atas, penulis mencoba mengaplikasikan variabel kritis
atau variabel krusial implementasi
kebijakan menurut pendapat Edwards III (1980) mengemukakan 4 (empat) faktor,
yaitu komunikasi (communication),
sumber daya (resources),
kecenderungan-kecenderungan atau sikap pelaksana (disposition or attitude), dan struktur birokrasi (bureaucratic structure). Keempat faktor
tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi penting dalam mengefektifkan
Program P4 antara lain bagaimana kegiatan pemerintah dalam mengaplikasikan
pelaksanaan tugas pembantuan melalui ketersediaan infrastruktur desa dan
keterpaduan tata ruang dapat melaksanakan, mewujudkan, dan mengoptimalkan pelayanan kepada
masyarakat, pengambilan keputusan, partissipasi masyarakat, dan pelaksanaan
pembangunan.
Dengan kalimat lain
bahwa Program P4 merupakan hasil perwujudan hak dan wewenang desa untuk
mengatur dan melaksanakan rumah tangganya secara berkualitas, produktivitas,
efisiensi, kepuasan, dan kemampuan beradaptasi (Ivancevich, et.al, 2006) yang mana dalam menetapkan
model efektivitas ditinjau berdasarkan dimensi waktu jangka pendek ke dalam
model organisasi. Hal tersebut sesuai dengan ketentun yuridisnya menurut PP
52/2001 (Anonim, 2001) dan Keputusan Bupati Nomor 04/2012 (Anonim, 2012).
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang penulisan di atas, penulis mencoba untuk merumuskannya ke dalam
bentuk pertanyaan: “Bagaimana Implementasi
Kebijakan Pemerintah Daerah Tentang
Tugas Pembantuan Keuangan kepada Pemerintah Desa dalam efektivitas Program
Pemantapan Lembaga dan Penguatan Pembangunan Perdesaan (P4) di Kecamatan
Bojongsoang Kabupaten Bandung ?”.
Tujuan Kajian
Penelitian
ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana
Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah Tentang Tugas Pembantuan
Keuangan kepada Pemerintah Desa dalam efektivitas Program Pemantapan Lembaga
dan Penguatan Pembangunan Perdesaan (P4) di Kecamatan Bojongsoang Kabupaten
Bandung”.
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Ripley dan Franklin (1986) mengemukakan konsep
implementasi adalah sebagai berikut: ”Implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang
memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit), atau suatu
jenis keluaran yang nyata (tangible output). Istilah implementasi
menunjuk pada sejumlah kegiatan mengikuti pernyataan maksud tentang
tujuan-tujuan program dan hasil-hasil yang diinginkan oleh pejabat pemerintah”.
Dari uraian di atas dapat dipahamkan bahwa untuk menjalankan implementasi
banyak macam kegiatan, terutama badan-badan pelaksana (stakeholders) yang ditugasi undang-undang dengan tanggung jawabnya untuk
mengaplikasikan program sesuai dengan sumber-sumber yang diperlukan guna
memperlancar jalannya implementasi.
Selanjutnya, Edwards III (1980) mengemukakan 4 (empat) faktor atau variabel
kritis dalam implementasi kebijakan publik, yaitu komunikasi (communications), sumber daya (resources), sikap/kecenderungan (disposition
or attitude) dan struktur birokrasi (bureaucractic sructure). Pada keempat faktor
tersebut membentuk ikatan (linkage) antara kebijakan dan pencapaian
tersebut tidak hanya menentukan hubungan anatara variabel bebas dan variabel
terikat mengenai kepentingan-kepentingan, tetapi juga menjelaskan hubungan
antar variabel dalam mencapai keberhasilan implementasi publik.
Dari keempat faktor-faktor tersebut di atas, terjadi
interaksi yang saling mempengaruhi proses implementasi baik langsung maupun
tidak langsung, melalui interaksinya satu sama lain (Edwards III, 1980). Dengan kata lain bahwa pada gilirannya dari
masing-masing formulasi saling berpengaruh terhadap implementasi.
Menurut Syafrudin (2006) bahwa asas
Tugas Pembantuan berasal dari bahasa Belanda yaitu “Medebewind” yang dapat diartikan
sebagai ikut serta menjalankan tugas-tugas pemerintahan. Sedangkan Wasistiono & Irwan (2006) menyatakan
bahwa “perlunya pemberian tugas
pembantuan ini dilatarbelakangi oleh adanya peraturan perundang-undangan yang
membuka peluang dilakukannya pemberian tugas pembantuan dari Pemerintah kepada
Daerah dan Desa dan dari Pemerintah Daerah kepada Desa”. Adapun dasarnya adalah
mulai dari pasal 18A UUD 1945 sampai pada UU Nomor 32 Tahun 2004, UU Nomor 33 Tahun 2004, PP Nomor: 52/2001, dan PP Nomor: 72/2005.
Dalam melaksanakan efektivitas
Program Pemantapan
Lembaga dan Penguatan Pembangunan Perdesaan (P4) menggunakan model efektivitas menurut Ivancevich et.al
(2006) menetapkan 5 (lima) kriteria berdasarkan waktu sesuai dengan
jenjang jangka pendek yang mana tujuan utamanya adalah tercapainya sasaran
program pembangunan sesuai rencana yang tercermin dari adanya kualitas, produktivitas, efisiensi,
kepuasan, dan kemampuan beradaptasi.
Proses pembangunan sebenarnya adalah merupakan suatu
perubahan sosial budaya (Katz dalam Tjokroamidjoyo, 1988). Pembangunan supaya menjadi suatu proses yang
dapat bergerak maju atas kekuatan sendiri (self sustaining process)
tergantung pada manusia dan struktur sosialnya (Tjokroamidjojo, 1988).
Pengertian lainnya bahwa pembangunan adalah proses perubahan dari suatu keadaan
tertentu kearah keadaan lain yang lebih baik. Artinya dalam tugas-tugas
pembangunan, aparat administrasi diharapkan memiliki komitmen terhadap
tujuan-tujuan pembangunan, baik dalam perumusan kebijakan maupun dalam
pelaksanaannya secara efektif dan efisien (Katz dalam Kumorotomo, 2002).
Berdasarkan pengertian di atas, menunjukkan bahwa pada dasarnya pembangunan adalah merupakan usaha yang
dilakukan secara sadar, terencana dan terarah. Karena merupakan proses yang disengaja dan
mempunyai maksud dan tujuan terarah serta merupakan upaya yang berkelanjutan. Demikian pula konsep pembangunan Nasional berkaitan erat dengan
pembangunan bangsa. Dari beberapa pendapat para ahli antara lain diungkapkan
bahwa pembangunan bangsa merupakan bagian integral pembangunan Nasional suatu
Negara. Pembangunan setiap bangsa dunia ketiga bersifat multi dimensi yaitu
pembangunan yang meliputi semua segi kehidupan Nasional: politik, ekonomi, dan
sosial budaya.
Konsep Program Pembangunan Prasarana Desa
(P2D) dapat dilihat berdasarkan pengaturan tugas pembantuan disertai hak dan
kewajiban yang seimbang antara pemberi dan penerima tugas (Juknis Kab. Bandung,
2006). Hal ini lebih konkrit dijelaskan dalam UU No. 32/2004 ialah bahwa tugas
pembantuan juga diberikan kepada desa sedangkan pada PP No. 52/2001 tentang
penyelenggaraan tugas pembantuan pada bab IV pasal 4 ayat (1).
METODOLOGI
Metode yang
digunakan dalam penulisan ini adalah metode survey dan studi literatur. Artinya
melakukan peninjuan ke lapangan dan melakukan pengkajian pada beberapa
literatur seperti buku-buku dan dokumen lainnya yang ada kaitannya dengan masalah
yang ditulis.
PEMBAHASAN
Untuk mengetahui gambaran tentang
kondisi faktor-faktor atau variabel yang krusial dilakukan analisis terhadap aplikasi konsep Edwards III sesuai dengan konsep implementasi kebijakan yang
mengacu pada komunikasi, sumber daya,
disposisi/sikap pelaksana dan
struktur birokrasi. Sedangkan konsep lainnya
dihubungkan berdasarkan lima standar efektivitas,
yaitu kualitas, produktivitas, efisiensi, kepuasan, dan kemampuan beradaptasi.
Berikut ini akan ilustrasi berdasarkan
hasil wawancara atas penggunaan konsep implementasi kebijakan pemerintah daerah tentang tugas pembantuan keuangan kepada
pemerintah desa dalam efektivitas program P4 di Kecamatan Bojongsoang
Kabupaten Bandung.
Faktor pertama, dalam implementasi
kebijakan adalah komunikasi yang yang menitikberatkan
pada transmisi, konsistensi dan kejelasan. Diantaranya adalah
pimpinan atau aparat dapat menyampaikan kebijakan program P4 pada pelaksanaannya komunikasi merupakan
persyaratan pertama bagi implementasi kebijakan secara efektif. Dimana para
pelaksana kebijakan selayaknya mengetahui secara tepat apa yang akan mereka
kerjakan (Edwards
III, 1980)
Implementasi yang efektif baru akan terjadi apabila para pembuat keputusan (decision
maker) sudah mengetahui apa yang akan mereka kerjakan.
Berdasarkan hasil pengamatan peneliti
ukuran dari keberhasilan penyampaian kebijakan adalah terdapatnya pemahaman
yang tepat mengenai isi kebijakan dari berbagai pihak yang berkaitan langsung
dengan pelaksanaan kebijakan itu sendiri, seperti yang disampaikan oleh para
aparat kecamatan, aparat desa, BPD dan LKMD
pada acara-acara rapat minggon maupun rapat-rapat khusus lainnya
mengenai persiapan program P4.
Para pelaksana
di lapangan tidak terlalu berkutat pada persoalan aturan yang ada walaupun
secara umum mereka sudah memahami akan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintah kabupaten, namun para aparat kecamatan maupun aparat desa, BPD
dan LKMD lebih banyak mementingkan pekerjaan di lapangan yang kadang-kadang
sering dijumpai persoalan-persoalan yang belum tentu ada dalam aturan (seperti proses kegiatan
infrastruktur pembangunan jalan desa). Kadang masyarakat juga kurang memahami persoalan
yang terjadi di lapangan, terpenting bagi mereka sudah turut serta berswdaya
dalam bentuk finasial dan sebagian besar lebih mengutamakan dahulu kebutuhannya
sendiri.
Faktor kedua adalah sumber daya (resources)
yang merupakan
faktor krusial dalam melaksanakan kebijakan publik. Dalam hal ini. Kurangnya sumber daya
akan berakibat ketidakefektifan penerapan kebijakan sumber-sumber yang penting
meliputi: staf
yang memadai serta keahliannya yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka;
wewenang dan
fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk menterjemahkan usul di atas kertas
guna melaksanakan pelayanan-pelayanan publik.
Berdasarkan hasil wawancara yang
dilakukan dengan Kepala Bagian Pemberdayaan Masyarakat menyatakan bahwa secara
keseluruhan pihak-pihak yang tergabung dalam SKPD secara keseluruhan mereka cukup bertanggung jawab dalam
penyelenggaraan program P4, khususnya mereka betul- betul memiliki kemampuan dan keahlian guna mengoptimalkan penyelenggaraan
kegiatan program infrastruktur jalan. Masyarakat juga difasilitasi untuk
menyusun proposal yang diajukan sesuai dengn kebutuhaannya yang secara optimal
dilakukan swadaya sesuai dengan kemampuan dana kondisi desa masing-masing.
Namun fakta di lapangan, pemerintah sudah memplot kegiatan program pada
infrastruktur jalan desa, sedangkan kegiatan fisik lainnya sebagian melalui
dana swadaya.
Berdasarkan hasil observasi di
lapangan menunjukkan para tokoh masyarakat yang tergabung dalam BPD maupun LKMD
dan masyarakat setempat cukup antusias dengan memberikan kontribusinya berupa
dana maupun tenaga untuk memperlancar proses pembangunan sarana jalan dan
sarana lainnya sehingga mereka dapat saling berinteraksi dengan sumber-sumber
sosial yang dapat dimanfaatkan dalam pelaksanaan program P4.
Faktor ketiga, dalam implementasi
kebijakan adalah disposisi/sikap pelaksana (disposition
or attitude) yang mengaplikasikan ke dalam efek disposisi, staffing birokrasi dan insentif. Karena
konsep tersbut yang memiliki
konsekuensi penting bagi efektivitas implementasi kebijakan. Dalam hal ini
diartikan sebagai keinginan atau kesepakatan dikalangan pelaksana untuk
menerapkan kebijakan.
Dalam penerapan kebijakan dilaksanakan
secara efektif maka disposisi akan menjelaskan kecenderungan untuk bertindak dibentuk oleh
lingkungan sosial, politik, ekonomi yang ada dalam persepsi pelaksana bahkan akan membentuk
sikap mendukung atau menolak kebijakan yang akan diimplementasikan sebagai salah satu teknik
yang secara potensial dapat digunakan untuk mengatasi masalah. Kecenderungan
bertindak adalah pemberian insentif dalam berbagai bentuk yang diperkirakan
dapat mendorong ke arah perilaku yang positif.
Berdasarkan pendapat para pakar di
atas, maka dapat dikatakan bahwa suatu implementasi kebijakan akan efektif
apabila aparat pelaksananya mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan.
Perspektif yang sama antara aparat pelaksana dengan para perumus kebijakan
sangat diperlukan dan hal tersebut dapat terwujud apabila diterapkannya
prinsip- prinsip demokrasi dalam organisasi. Demikian juga
salah satu teknik yang potensial untuk
mengatasi masalah kecenderungan para implementor adalah dengan cara merubah
sikap (kecenderungan-kecenderungan) implementor melalui manipulasi insentif-insentif (Edwards III, 1980).
Hasil wawancara yang dilakukan dengan
aparat kecamatan maupun aparat desa dapat diketahui bahwa dukungan untuk
melaksanakan kebijakan dengan sebaik-baiknya semangat para pegawai dalam
pekerjaan serta konsisten masih kurang, yang ditandai oleh semangat para
pegawai dalam melaksanakan pekerjaan belum optimal, karena muncul kebiasaan
melaksanakan pekerjaan semata-mata karena tuntutan dari kewajiban bekerja.
Pelaksana yang banyak turun ke lapangan justru adalah tenaga kontrak, sementara
pegawai lainnya lebih banyak bekerja sebagai tenaga administratif. Hal ini
menyebabkan pengembangan kualitas pekerjaan secara operasional program P4
kurang optimal, baik yang berkaitan dengan pemamantauan atau pengendalian,
serta penyediaan sarana prasarana terbatas.
Dari hasil pengamatan di kantor
kecamatan maupun kantor desa hal ini tergambarkan, yaitu keadaan kantor yang
tidak rapi, staf yang seolah-olah tidak memiliki pekerjaan, kelesuan dalam
bekerja yang sangat terasa, ditambah dengan persoalan kesejahteraan staf yang
kurang. Selain
itu, terlihat di lokasi jalan-jalan
desa yang telah dilakukan perbaikan
sebagian jalan masih belum terealisaikan
secara merata. Hal ini dikarenakan sebagian
dana dialihkan untuk membantu perbaikan sarana lain di luar sarana jalan
desa. Dengan adanya ketentuan rencana program P4 yang tidak disesuaikan dengan
aturan (sesuai juklak/juknis) membuat sikap para aparat tidak memiliki
inisiatif, kurang optimis, tanggung jawab kurang.
Berdasarkan hasil informasi yang didapat dari
beberapa karyawan maupun masyarakat
yang terlibat dalam program P4 dapat disimpulkan bahwa selama ini memang tidak
ada kegiatan yang bersifat rutin yang memberikan penilaian terhadap aparat
maupun masyarakat yang berprestasi. Kalaupun ada lebih merupakan suatu kegiatan
yang sifatnya seremonial belaka, yang hanya disampaikan pada acara-acara rapat
khusus maupun pada acara rapat minggon.
Faktor yang keempat, pada pelaksanaan
implementasi kebijakan ditentukan oleh konsep struktur birokrasi (bureaucractic structure) yang terfokus pada
struktur organisasi atau Standar Operating
Prosedures (SOP) dan fragmentasi organisasi (Edward III. 1980) Konsep tersebut
mempunyai dampak terhadap penerapan
kebijakan dalam arti bahwa penerapan kebijakan itu tidak akan berhasil jika
terdapat kelemahan dalam struktur birokrasi tersebut. Karena birokrasi
merupakan salah satu badan yang paling sering bahkan secara keseluruhan menjadi
pelaksana kebijakan.
Berdasarkan konsep di atas, SOP dapat
menyeragamkan tindakan-tindakan dari para pejabat dalam organisasi-organisasi
yang kompleks dan tersebar luas yang pada gilirannya dapat menimbulkan
fleksibilitas dan kesamaan yang besar dalam menerapkan peraturan-peraturan. Karena
penerapan kebijakan tidak akan berhasil jika terdapat kelemahan dalam struktur
birokrasi btersebut.
Konsep lain
dari struktur birokrasi, yakni adanya fragmentasi yang merupakan tanggung jawab
untuk sebuah bidang kebijakan dibutuhkannya unit organisasional guna mencapai
tujuan-tujuan kebijakan. Dari fragmentasi tersebut menyiratkan adanya
penyebaran (difusi) tanggung jawab, dan hal ini membuat koordinasi kebijakan
menjadi sulit. Demikian juga menurut Winarno bahwa sifat multidimensi dari
banyak kebijakan juga ikut mendorong fragmentasi (Anonim, 2004).
Berdasarkan hasil wawancara dengan
Kabag. Sarana Fisik dan Kabag. Pemberdayaan Masyarakat, menyatakan bahwa secara
tertulis secara keseluruhan sudah diatur secara rinci sesuai dengan SKPD. Namun
dalam implementasinya, seringkali prosedur kerja itu tidak menjadi acuan yang
baku, karena kebanyakan kondisi di lapangan yang dihadapi oleh aparat kecamatan
maupun aparat desa seringkali belum termuat dalam aturan atau prosedur kerja.
Dengan kondisi prosedur kerja seperti ini semakin lama semakin terabaikan
sehingga prosedur kerja tidak lagi dipergunakan sebagai acuan untuk mengukur
kedisiplinan pegawai. Keberhasilan dalam melaksanakan SOP sangat tergantung
pada sarana dan prasarana teknis yang dibutuhkan dan fktanya dalam kegiatan
program P4 untuk pengadaan sarana dan prasarana belum memadai.
Berdasarkan hasil pengamatan di
lapangan, menunjukkan bahwa dari hasil
komposisi yang telah ditetapkan oleh pemerintah kabupaten telah mengeluarkan
prosedur operasi standar dalam bentuk petunjuk pelaksana, petunjuk teknis, dan
pengumuman atau edaran yang merupakan pedoman untuk melaksanaan tugas dalam kegiatan program P4.
Namun faktanya, bentuk kegiatan yang
berkaitan dengan program sudah ditetapkan dan disesuaikan (baik kegiatan maupun
dana) oleh pemerintah kabupaten, tetapi situasi dan
kondisi desa yang dibantu ditentukan oleh kepala desa, BPD dan LKMD sesuai
dengan proposal yang diajukan oleh
kepala desa dengan tembusan melalui camat.
Pentingnya pengendalian dalam
melaksanakan suatu kegiatan program sebagaimana yang dinyatakan Tjokroamidjoyo
(1988) bahwa untuk mengikuti dan menilai apakah penyelenggaraan kegiatan sesuai
dengan rencana kebijaksanaan dan atau peraturan yang telah ditetapkan maka
diadakan sistem pengendalian yang memungkinkan identifikasi bagi
tindakan-tindakan korektif secepatnya.
Hasil wawancara dengan aparat
kecamatan maupun aparat desa yang berkenaan dengan kualitas program P4 bahwa
setiap program yang disusulkan selalu menyesuaikan dengan ketentuan dari
pemerintah kabupaten, hal ini terlihat tidak sesuai dengan juklak dan
juknisyang telah ada. Namun demikian bagi masyarakat yang terpenting telah
mendapat kontribusi dari setiap kegiatan program P4 walaupun masih dalam
kondisi belum optimal. Seperti halnya perbaikan jalan, maupun pembangunan MCK,
pembangunan TPS, rehab kantor RW ataupun beton jalan desa selain dari dana program P4 juga merupakan
hasil swadaya masyarakat (walaupun realisasinya tidak sesuai dengan rencana
program P4 yang hanya mencapai 75
persen saja).
Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan Kabag sarana Fisik
program P4, menyatakan bahwa pada akhirnya realisasi program dpat terselesaikan
walaupun belum optimal. Namun hasilnya dapat dimanfaatkan secara langsung oleh
masyarakat desa dalam memperlancar sarana angkutan hasil panen. Kondisi ini
mencerminkan perlu adanya pergeseran peraan bahwa masyarakat betul-betul
diberikan kebebasan untuk memenuhi sarana dan prasaraanaa memilih kegiatan yang
krusial sesuai dengan kebutuhannya. Sedangkan peran pemerintah dalam program
ini hanya sebagi fasilitator, mediator, koordinator, pendidik, mobilisator,
sistem pendukung dan peran-peran lainnya yang lebih mengarah pada pelayanan
tidak langsung.
Hasil observasi di lapangan,
memperlihatkan bahwa pengajuan proposal program P4 tidak sepenuhnya berdasarkan
pada juklak/juknis karena di luar infrastruktur jalan yang telah ditentukan
pemerintah kabupaten, bila di luar kegiatan program itu masyarakat harus
mendanai sendiri di luar kegiatan program tersebut (dana swadaya). Dengan
demikian kondisi jalan yang sudah selesai menghasilkan kondisi jalan yang belum
optimal karena baru terselesaikan 50 persennya. Semua kegiatan ini pada tahun
2012/2013 sampai dengan 2013/2014, seperti desa Cipagalo, desa Bojongsoang,
desa Tegalluar, desa Lengkong, desa Buahbatu, dan desa Bojongsari.
Hasil wawancara yang dilakukan dengan
SKPD maupun dengan Kabag Sarana Fisik Kecamatan Bojongsoang, baik aparat maupun tokoh masyarakat (BPD
& LKMD) dalaam pelaksanan program P4 cenderung lebih memfokuskan dalam
kegiatan operasional program P4 menyesuikan dan memanfaatkan dana yang ada
serta tenaga bantuan dari masyarakat yang mau terlibat da di desa Tegalluar rencana 8 (delapan) unit namun yang
terealisasi hanya 4 (empat ) unit saja.
Artinya hasil yang dicapai dalam
program P4 telah sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Demikian juga volume atau ukuran pekerjaan program P4
telah disesuaikan dengan aturan yang telah ditetapkan.
Hasil
pengamatan di lapangan, proposal yang diajukan terfokus pada infrastruktur jalan desa, karena sudah
ditetapkan berdasarkan ketentuan dari pihak pemerintah kabupaten. Namun
kenyataannya, masyarakat telah bermusyawarah melalui rapat-rapat khusus
mengajukan lebih dari dua program setiap tahunnya dengan catatan biaya kegiatan
diprakarsai oleh masyarakat sendiri secara berswadaya. Karena program untuk prasarana jalan sebagian dana
dialihkan untuk sarana lainnya yang pelaksanaannya bersamaan sesuai dengan
kebutuhan yang diinginkan masyarakat (walaupun sebagian dana didapat dari hasil
swadaya).
Pada pelaksanaan dari hasil program P4, berdasarkan hasil
wawancara yang dilakukan dengan aparat kecamatan dan aparat desa maupun tokoh
masyarakat (BPD dan LKMD), dalam proses pembuatan jalan secara operasional
ditemukan masalah untuk membagi atau mengalihkan sebagian dana tidak hanya
untuk proses pengerjaan jalan atau perbaikan kantor desa Bojongsoang namun
kadangkala dialihkan dana untuk pengerjaan pembangunan MCK atau kirmir jalan
seperti di desa Tegalluar dari 8 (delapan) unit yang terselasaikan hanya 4
(empat) unit.
Hasil wawancara yang dilakukan dengan
pihak kecamatan (Kabag. Sarana Fisik dan Kabag. Pemberdayaan Masyarakat), desa
maupun para tokoh masyarakat (BPD & LKMD) menunjukkaan bahwa secara
keseluruhan realisasi program P4 sudah dapat dirasakan oleh masyarakat walaupun hanya sebagian rencana kegiatan
infrastruktur jalan dan sarana sosial lainnya dianggap belum optimal. Adanya eksistensi program kegiatan tugas pembantuan
infrastruktur program P4 bagi masyarakat merupaakan tantangan sekaligus peluang
untuk menata kembali mekanisme perencanaan program atau proyek-proyek pembangunan
sosial utuk lebih optimal. Kebijakan ini selain sebagai respon terhadap
aspirasi masyarakat berkembang, juga sesuai dengan kecenderungan pembangunan
yang bernuansa pemberdayaan lokal. Implikasinya, kebijakan-kebijakan cetak biru
(blue print) yang lebih bersifat top down akan berkurang, sedangkan
partisipasi lokal menjadi mainstream pembangunan yang berkelanjutan.
KESIMPULAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan mengenai
implementasi kebijakan tentang program P4 di Kecamatan Bojongsoang Kabupaten Bandung yang diaplikasikan dengan
menggunakan beberapa konsep faktor-faktor
komunikasi, sumber daya, disposisi, dan sruktur birokrasi dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Implementasi kebijakan
program kegiatan tugas pembantuan melalalui program P24 sudah dilaksanakan dengan baik. Secara operasional implementasi kebijakan program P4 pada
komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur
birokrasi memberikan dampak dalam
mengoptimalkan efektivitas program P4 di Kecamatan Bojongsoang Kabupaten
Bandung. Namun pada kenyataan aparat pelaksana belum dapat melaksanakan secara
utuh dan menyeluruh menjalankan faktor komunikasi,
sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi dalam mengimplementasikan kebijakan dengan cepat, tepat, dan konsisten dalam hal penyampaian.
Saran
Berdasarkan kesimpulan penelitian maka
saran-saran yang peneliti ajukan untuk
pengembangan ilmu (teoritis) serta saran
yang bersifat operasional (praktis) antara lain :
1. Sebaiknya dalam implementasi program P4 menerapkan
konsep komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi dalam mengefektifkan program P4 melalui penerapan konsep
kualitas, produktivitas, efisiensi, kepuasan, dan kemampuan
beradaptasi sebagai model yang krusial dalam pembangunan yang berpusat pada rakyat.
2. Pemerintah, baik
Kabupaten, Kecamatan naupun Desa mampu bertindak sebagai inisiator dalam mengkomunikasikan program P4 kepada masyarakat
sehingga implementasinya lebih optimal, terutama melalui sosialisasi implementasi
kegiatan program P4 di Kecamatan Bojongsoang Kabupaten Bandung.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim, 2001, Peraturan Pemerintah No. 52
tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan, Menteri Dalam
Negeri RI, Jakarta
Anonim, 2004, Undang-Undang Otonomi Daerah
No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Menteri Dalam Negeri, Jakarta.
Anonim, 2005, Peraturan Pemerintah No. 72
tahun 2005 tentang Desa, Menteri Dalam Negeri RI, Jakarta.
Anonim, 2012, Peraturan Bupati No. 04 Tahun 2012 tentang Petunjuk
Pedoman Pengelolaan Bantuan Keuangan Kepada Pemerintahah Desa untuk Program Peman- tapan Lembaga dan
Penguatan Pembangunan Perdesaan (P4). Soreang: Sekda Kabupaten Bandung.
Edward III. 1980. Implementing
Public Policy. Congressional Q Press. Washington.
Ivancevich, J M.,
et.al. 2006. Perilaku dan Manajemen
Organisasi, Jilid I. Jakarta: PN Erlangga.
Kumorotomo, W. 2002. Etika Administrasi
Negara. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Bandung.
Ripley, RB., & Grace A. Franklin. 1986. Policy Implementation and Bureaucracy.
Chicago: The Dorsey Press.
Syafrudin, A. 2006, Kapita Selekta, Hakikat Otonomi & Desentra- lisasi Dalam
Pembangunan Daerah, Citra Media (Anggota IKAPI), Yogjakarta.
Tjokroamidjoyo, 1988, Manajemen
Pembangunan. Haji Masagung. Jakarta.
Wasistiono, dan Irwan, M., 2006, Memahami Asas Tugas Pem- bantuan,
Pandangan Legalistik, Teoritik, dan Implementatif, PN Fokus Media.