Tentang SosioHumanitas Unla

SosioHumanitas Unla merupakan Jurnal Ilmu-ilmu Sosial & Humaniora Universitas Langlangbuana.

Sosiohumanitas berisi karya ilmiah hasil penelitian atau pemikiran berdasarkan kajian literatur yang dimuat dalam bentuk media cetak oleh LPPM Universitas Langlangbuana Bandung.

Materi yang dibahas mencakup masalah dan isu-isu yang aktual mengenai aspek sosial budaya dan kemanusiaan lainnya.

ISSN 1410-9263.

Kajian Hukum terhadap Assets Settlement: Suatu Model Penyelesaian Kredit Macet Perbankan di Indonesia


Oleh:
Jafar Sidik
Fakultas Hukum Universitas Langlangbuana Bandung
  


ABSTRAK

Penelitian ini difokuskan pada kajian hukum terhadap penyelesaian hutang debitur bermasalah dengan penyerahan jaminan secara sukarela kepada bank. Hal ini merupakan upaya penyelesaian kredit di luar jalur litigasi, dengan pertimbangan kedua belah pihak, yaitu bank dan debitur mengambil langkah yang terbaik dalam menyelesaikan hutang piutang di antara mereka. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui serta mengkaji landasan hukum bagi bank selaku kreditur untuk membeli barang jaminan dari kreditur macet. Selain itu, penelitian ini bermaksud untuk menemukan model standard akta pengikatan penyerahan jaminan dari kredit bermasalah bank, karena selama ini dalam praktek perbankan tidak ditemukan keseragaman standar perjanjian. Metode yang digunakan adalah analitis yuridis normatif, yaitu dengan melakukan kajian terhadap data sekunder (studi kepustakaan) maupun data primer (peraturan perundang-undangan, perjanjian/kontrak). Hasil penelitian ini bahwa bank selaku kreditur memiliki landasan hukum yang kuat yaitu ketentuan Pasal 12A UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan. Model pertama berupa Akta Perjanjian Penyelesaian Hutang dan model kedua terdiri dari empat akta, yang terdiri dari Akta Perjanjian Penyelesaian Hutang dengan Penyerahan Jaminan secara Sukarela, Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli, Akta Kuasa Menjual, dan Akta Perjanjian Pengosongan.
Kata kunci: agunan kredit macet, landasan hukum, model akta pengikatan penyerahan jaminan


ABSTRACT

The research focused on the study of the law against debt settlement troubled borrowers by providing guarantees goods voluntarily to the bank. This is a credit settlement efforts way beyond litigation, with consideration of both sides, namely banks and borrowers take the best step in resolving accounts payable between them. The purpose of this study was to determine and assess the legal basis for the bank as the lender to purchase the collateral of the creditor standstill. In addition, this study intends to find a model certificate binding guarantee delivery of non-performing loans of banks, because so far in the banking practice is not found agreement uniformity standards. Analytical method used is normative, ie with a review of secondary data (literature study) and primary data (legislation, agreement / contract). Results of this study that the bank as creditor has a strong legal basis, namely the provisions of Article 12A of Law No. 10 of 1998 on the Amendment of the Act No. 7 of 1992 on banking. The first model in the form of Debt Settlement Agreement and a second model consists of four certificates, which consists of a Debt Settlement Agreement with Voluntary Delivery Guarantee, the Deed of Sale and Purchase Agreement, the Deed Power of Sale, and Deed Decommissioning.
 
Keywords: bad credit mortgage, the legal basis, the model certificates binding guarantee delivery




PENDAHULUAN
Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana dari masyarakat.  Bank menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertipikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.  Bank menyalurkan dana dari masyarakat dengan memberikan kredit.
Dalam memberikan kredit, bank wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang ditetapkan.
Dalam memberikan kredit, bank tidak dapat terlepas sama sekali dari resiko menghadapi kredit bermasalah atau kredit macet. Kredit macet dalam jumlah besar dapat mendatangkan dampak yang tidak menguntungkan terhadap kesehatan bank pemberi kredit, dunia perbankan pada umumnya, maupun terhadap kehidupan ekonomi dan keuangan negara.
Berbagai upaya dilakukan oleh bank dalam menekan resiko kredit dan menyelamatkan kredit macet. Pelaksanaan penarikan kembali kredit macet dapat dilakukan oleh bank melalui pengadilan maupun di luar pengadilan.
Debitur yang koperatif serta bersedia bekerjasama dengan bank dalam menyelesaikan kredit macet, antara lain debitur dengan sukarela bersedia menyerahkan asset yang merupakan jaminan kredit tersebut kepada bank. Dalam praktek perbankan, penyelesaian kredit macet dengan skim penyelesaian seperti ini lebih dikenal dengan istilah “Assets Settlement”.
Dalam penyelesaian kredit macet di lingkungan perbankan di Indonesia, belum terdapat Standard Operasional dan Prosedur (SOP) serta belum tersedianya Standar Baku atau Model Akta yang dapat digunakan. Hal ini mengakibatkan para Pejabat Hukum Bank merasa kesulitan dalam pembuatan akta pengikatannya sehingga kemudian hanya memberikan keleluasaan kepada praktek dan kebiasaan notaris bank dalam pembuatan akta pengikatannya.
           
TUJUAN PENELITIAN
1.   Mengetahui serta mengkaji landasan hukum positif bagi bank selaku kreditur untuk membeli barang agunan kredit macet bank.
2.   Menemukan serta membuat suatu model standard akta pengikatan penyerahan jaminan yang berasal dari kredit macet bank.

KERANGKA PEMIKIRAN
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 mengatakan bahwa bank dapat membeli agunan kredit macet bank melalui lelang, namun bank harus segera menjualnya kembali untuk pelunasan hutang Debitur.
Nasabah Debitur secara sukarela dapat menyerahkan agunan kredit secara sukarela kepada bank sebagai salah satu upaya penyelesaian kredit macet bank, sebagaimana yang diperjanjikan oleh Nasabah Debitur dengan Bank selaku Kreditur.
Perjanjian yang dibuat oleh Nasabah Debitur dengan Bank berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya tersebut, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.  
Model akta perjanjian penyerahan agunan kredit bank yang dapat dibuat oleh Nasabah Debitur dengan Bank dapat berupa: (a) Perjanjian Penyelesaian Hutang dengan Penyerahan Jaminan secara Sukarela; (b) Perjanjian Jual Beli; (c) Surat Kuasa Menjual; dan (d) Perjanjian Pengosongan.
Bank dalam membeli agunan kredit macet bank bukan semata-mata untuk dimiliki oleh bank, namun harus segera dijual kembali yang hasilnya digunakan untuk  pelunasan hutang debitur kepada bank.
Perjanjian penyerahan jaminan secara sukarela oleh nasabah debitur kepada bank adalah sah secara hukum dan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode analitis yuridis normatif, yaitu kajian terhadap data sekunder (studi kepustakaan) maupun data primer (peraturan perundang-undangan, perjanjian/kontrak).
Selain itu juga dilakukan observasi langsung terhadap praktek perbankan dan notaris serta melakukan interview terhadap nara sumber terpilih (purposive sampling) yaitu para ahli  dibidang perbankan dan hukum kenotariatan.
Penelitian ini dilakukan di Bank Internasional Indonesia (BII Maybank) Jakarta selama kurang lebih tiga bulan.

LANDASAN PUSTAKA
Pengertian Kelembagaan Bank
Istilah bank telah menjadi istilah umum yang banyak dipakai di masyarakat dewasa ini. Istilah bank yang akan dibicarakan di sini adalah bank dalam arti suatu lembaga intermediasi keuangan yang paling penting dalam sistem perekonomian di Indonesia, yaitu suatu lembaga khusus yang menyediakan layanan finansial.
Bank adalah badan usaha di bidang keuangan yang menarik dan mengeluarkan uang di masyarakat, terutama memberikan kredit dan jasa di lalu lintas pembayaran dan peredaran uang (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2001).
Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Menurut Ibrahim (2004a), fungsi bank dapat dikelompokan menjadi tiga yaitu:
a.       Bank sebagai lembaga yang menghimpun dana-dana masyarakat atau penerima kredit. Dalam pengertian ini bank menerima dana-dana yang berupa simpanan dalam bentuk tabungan, deposito berjangka dan rekening giro.
b.      Bank sebagai lembaga yang menyalurkan dana dari masyarakat dalam bentuk kredit atau sebagai lembaga pemberi kredit.
c.       Bank sebagai lembaga yang melancarkan transaksi perdagangan dan pembayaran uang.

Pemberian Jaminan Kredit oleh Nasabah kepada Bank dan Bentuk Pengikatan Hukumnya
Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, menyatakan bahwa agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitor kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
Menurut Rivai dan Veithzal (2006) jaminan kredit adalah hak dan kekuasaan atas barang jaminan yang diserahkan oleh nasabah kepada bank guna menjamin pelunasan utangnya apabila kredit yang diterimanya tidak dapat dilunasi sesuai waktu yang diperjanjikan dalam perjanjian kredit atau addendumnya.
Selanjutnya, menurut Rivai dan Veithzal (2006) mengatakan jaminan dapat dibedakan sebagai berikut:
a.       Jaminan perorangan (personal guarantee/borgtocht).
b.      Jaminan perusahaan (corporate guarantee).
c.       Jaminan kebendaan adalah penyerahan hak oleh nasabah atau pihak ketiga atas barang-barang miliknya kepada bank guna dijadikan jaminan atas kredit yang diperoleh nasabah.
           
Landasan Hukum Bank Membeli Barang Jaminan
Salah satu bentuk jalan damai yang dapat dilakukan pihak debitur adalah debitur secara sukarela bersedia menyerahkan barang jaminan kepada pihak bank sebagai upaya penyelesaian kredit macet debitur.
Landasan hukum bagi bank untuk menerima barang jaminan dari debitur sebagai upaya penyelesaian kewajiban (hutangnya) kepada bank menurut beberapa literatur sebagai berikut:
Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyatakan:
Pasal 12 A
Ayat (1):
Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal Nasabah Debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.
Ayat (2):
Ketentuan mengenai tata cara pembelian agunan dan pencairannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Penjelasan Pasal 12A
Ayat (1):
Pembelian agunan oleh bank melalui pelelangan dimaksudkan untuk membantu bank agar dapat mempercepat penyelesaian kewajiban Nasabah Debiturnya. Dalam hal bank sebagai pembeli agunan Nasabah Debiturnya, status bank adalah sama dengan pembeli bukan bank lainnya. Bank dimungkinkan membeli agunan di luar pelelangan dimaksudkan agar dapat mempercepat penyelesaian kewajiban Nasabah Debiturnya. Bank tidak diperbolehkan memiliki agunan yang dibelinya dan secepat-cepatnya harus dijual kembali agar hasil penjualan agunan dapat segera dimanfaatkan oleh bank.



Ayat (2):
Pokok-pokok ketentuan yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah memuat antara lain:
a.       Agunan yang dapat dibeli oleh bank adalah agunan yang kreditnya telah dikategorikan macet selama jangka waktu tertentu;
b.      Agunan yang telah dibeli wajib dicairkan selambat-lambatnya dalam jangka waktu satu tahun;
c.       Dalam jangka waktu satu tahun, bank dapat menangguhkan kewajiban-kewajiban berkaitan dengan pengalihan hak atas agunan yang bersangkutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, mengatakan:
Pasal 1 angka 15
Agunan yang Diambil Alih yang untuk selanjutnya disebut AYDA adalah aktiva yang diperoleh Bank, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada Bank.

Model Akta Notaril tentang Perjanjian Penyelesaian Hutang dengan Penyerahan Jaminan secara Sukarela

Model I. Akta Perjanjian Penyelesaian Hutang dibuat dalam satu Akta Notaril.
Ibrahim (2004b) mengemukakan satu  model  Akta Notaril tentang Perjanjian Penyelesaian Pinjaman dengan kajian sebagai berikut:
(1)   Perjanjian Penyelesaian Hutang merupakan bentuk penyelesaian secara musyawarah atau melalui jalur non litigasi yang dituangkan dalam suatu akta notaril, ditanda-tangani bersama berdasarkan kesepakatan dari kedua belah pihak;
(2)   Dalam premis Akta Perjanjian Penyelesaian Hutang, disebutkan alasan-alasan dibuatnya akta ini;
(3)   Penyerahan jaminan dari debitur kepada bank untuk dijual atau dilepaskan haknya dengan memakai harga (compensatie), syarat-syarat, ketentuan-ketentuan dan perjanjian-perjanjian yang dianggap baik dan perlu oleh pihak bank untuk melunasi segala hutangnya, merupakan klausula yang memberikan hak bagi bank untuk secepat mungkin agar terhindar dari kredit macet;
(4)   Klausula kuasa untuk menjual jaminan yang tercantum dalam Pasal 2 merupakan penjabaran dari asas kebebasan berkontrak, dimana para pihak dapat menentukan kehendaknya untuk mencari solusi terbaik dalam penyelesaian hutang-piutang. Klausula ini sejalan dengan bunyi Pasal 12 A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, untuk menguasai jaminan dalam penyelesaian kredit dengan catatan jaminan tersebut harus dicairkan secepatnya;
(5)   Kedua klausula dalam angka (3) dan (4) sesuai dengan asas prudential banking (kehati-hatian), untuk menciptakan perbankan yang sehat, bank harus antisipasif terhadap kemungkinan kredit macet dan solusi dalam bentuk penyerahan jaminan dapat mengefisienkan biaya-biaya yang pada umumnya dibebankan kepada debitur;
(6)   Klausula yang tercantum dalam Pasal 3 merupakan jaminan dari pihak debitur dan/atau pemilik atas jaminan kebendaan yang diserahkan kepada bank untuk menghindari tuntutan dari pihak ketiga;
(7)   Klausula yang tercantum dalam Pasal 4 merupakan jaminan dari pihak debitur dan/atau pemilik untuk melakukan pengosongan atas jaminan kebendaan, baik dihuni atau ditempati debitur atau pihak ketiga beserta kunci-kuncinya;
(8)   Klausula yang tercantum dalam Pasal 5 merupakan pengembangan konsep kompensasi atau pengimpasan pinjaman (set-off) sebagai salah satu upaya penyelesaian kredit bermasalah (macet), khususnya tentang pengimpasan pinjaman di Indonesia yang diatur dalam KUH Perdata tentang kompensasi atau pemjumpaan hutang. Konsep dalam Pasal 5 harus dipertimbangkan kembali rumusannya untuk menerapkan penyelesaian hutang yang tidak seimbang nilai jaminan dan kewajiban debitur. Bank dapat bertindak semena-mena untuk menguasai jaminan. Patut dipertimbangkan asas keseimbangan, agar tidak terjadi posisi dominan akan menguasasi pihak lain dalam posisi yang lemah;
(9)   Klausula dalam Pasal 6 tentang domisili hukum atas perjanjian penyelesaian hutang, apabila dalam implementasinya tidak sesuai dengan kesepakatan bersama;

Model II. Akta Perjanjian Penyelesaian Hutang dibuat dalam empat Akta Notaril, yaitu :
(1)   Akta Perjanjian Penyelesaian Hutang dengan Penyerahan Jaminan secara Sukarela;
(2)    Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli
(3)   Akta Kuasa Menjual
(4)   Akta Perjanjian Pengosongan
Beberapa hal penting sebelum pembuatan dan penandatangan Akta Penyelesaian Hutang 
Ibrahim (2004b) menyatakan beberapa hal penting yang patut untuk diperhatikan sebelum dilakukannya pembuatan dan penandatanganan akta penyelesaian hutang adalah:
(1)   Akta penyelesaian hutang merupakan upaya penyelesaian kredit di luar jalur litigasi, dengan pertimbangan kedua belah pihak, yaitu bank dan debitur sepakat untuk mengambil langkah yang terbaik dalam menyelesaikan hutang piutang di antara mereka;
(2)   Harus dibuktikan terdapatnya unsur kelalaian (default) yang dilakukan debitur selama berlangsungnya perjanjian kredit, sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam event of default;
(3)   Apabila dalam perikatan yang dibuat antara debitur dan bank terdapat lebih dari satu hubungan kontraktual, baik atas debitur yang sama atau dengan debitur-debitur lainnya dan terdapat cross default dan cross collateral, penyelesaian hendaknya ditempuh dengan konsep one obligor system;
(4)   Penyelesaian yang dilakukan dengan konsep one obligor system merupakan upaya yang ditempuh untuk menghindari dari kenakalan debitur dalam menyelesaikan hutang, khususnya bila dalam suatu perjanjian kredit tidak di-cover oleh jaminan yang cukup;
(5)   Unsur-unsur kelalaian (default) dan kelalaian silang (cross default) yang tercantum dalam klausula “event of default” ditegaskan dalam surat peringatan atau somasi dari pihak bank kepada debitur, terhitung sejak kelalaian itu dilakukan debitur;  
(6)   Surat peringatan atau somasi diberikan secara berturut-turut dengan ditegaskan peringatan pertama, kedua dan ketiga, selama debitur tidak menyelesaikan kewajibannya;
(7)   Penyelesaian yang ditempuh dengan jalur non-litigasi ini harus tercermin dari sikap koperatif yang ditujukan oleh debitur atau kuasanya untuk menyelesaikan hutang;
(8)   Bukti-bukti dari penatabukuan kredit harus diberikan dan ditunjukkan bank kepada debitur secara transparan, sehingga debitur mendapat keyakinan bahwa penyelesaian ini akan memberikan manfaat bagi kedua belah pihak dan tidak sekedar hanya bank saja;
(9)   Kebijakan-kebijakan yang ditempuh oleh bank harus mempertimbangkan itikad baik yang ditunjukan debitur. Dalam konteks ini bank patut mempertimbangkan kondisi- kondisi finansial ataupun perekonomian yang berdampak terhadap ketidak mampuan (non-performance) debitur dalam pemenuhan segala bentuk kewajibannya;
(10)  Akhirnya, penyelesaian hutang yang dilakukan bank dan debitur dilandasi oleh keinginan dari kedua belah pihak untuk mencapai penyelesaian dengan konsep win-win solution, tiada satupun yang merasa dirugikan.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1.      Bank dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan dengan dasar penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal Nasabah Debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya (maksimal satu  tahun), demikian berdasarkan Pasal 12A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
2.      Model akta pengikatan penyerahan jaminan yang berasal dari kredit macet bank berupa:
a.       Model I berupa Akta Perjanjian Penyelesaian Hutang dibuat dalam satu   akta notaril;
b.      Model II berupa Akta Perjanjian Penyelesaian Hutang dibuat  dalam empat akta notaril, sebagai berikut:
a.       Akta Perjanjian Penyelesaian Hutang dengan Penyerahan Jaminan secara Sukarela;
b.      Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli;

c.       Akta Kuasa Menjual;
d.      Akta Perjanjian Pengosongan.

Saran
1.      Pemerintah diharapkan dapat segera membuat Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai ketentuan tata cara pembelian agunan dan pencairannya yang berasal dari kredit bermasalah (macet) untuk kepastian hukum dan perlindungan yang seimbang antara debitur dan bank selaku kreditur.
2.      Lembaga Perbankan diharapkan dapat segera membuat Peraturan Ketentuan dan Prosedur Operasional secara internal yang mengatur mengenai ketentuan tata cara pembelian agunan dan pencairannya yang berasal dari kredit bermasalah (macet).

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUH Perdata )
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Bank Indonesia. Peraturan Bank Indonesia Nomor : 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum.

Buku-Buku

Ibrahim J. (2004A), Bank Sebagai Lembaga Intermadiasi Dalam Hukum Positif. Penerbit CV. Utomo, Bandung.
Ibrahim J. (2004B) Cross Default & Cross Collateral. Dalam Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah. Penerbit Refika Aditama, Bandung
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2001), Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta.
Rivai, V. & Veithzal, A.P. (2006) Credit Management Handbook, Teori, Konsep, Prosedur dan Aplikasi Panduan Praktis Mahasiswa, Bankir, dan Nasabah. Penerbit PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2006.


Akta Perjanjian / Kontrak

Akta Perjanjian Penyelesaian Hutang
Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli
Akta Kuasa Menjual
Akta Perjanjian Pengosongan