Oleh:
Jafar Sidik
Fakultas Hukum Universitas Langlangbuana Bandung
Email: jafarlawcenter@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini difokuskan pada kajian hukum terhadap penyelesaian
hutang debitur bermasalah dengan penyerahan jaminan secara sukarela kepada
bank. Hal ini merupakan upaya penyelesaian kredit di luar jalur litigasi,
dengan pertimbangan kedua belah pihak, yaitu bank dan debitur mengambil langkah
yang terbaik dalam menyelesaikan hutang piutang di antara mereka. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui serta mengkaji landasan hukum bagi bank
selaku kreditur untuk membeli barang jaminan dari kreditur macet. Selain itu,
penelitian ini bermaksud untuk menemukan model standard akta pengikatan
penyerahan jaminan dari kredit bermasalah bank, karena selama ini dalam praktek
perbankan tidak ditemukan keseragaman standar perjanjian. Metode yang digunakan
adalah analitis yuridis normatif, yaitu dengan melakukan kajian terhadap data
sekunder (studi kepustakaan) maupun data primer (peraturan perundang-undangan,
perjanjian/kontrak). Hasil penelitian ini bahwa bank selaku kreditur memiliki
landasan hukum yang kuat yaitu ketentuan Pasal 12A UU No. 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan. Model pertama berupa Akta
Perjanjian Penyelesaian Hutang dan model kedua terdiri dari empat akta, yang
terdiri dari Akta Perjanjian Penyelesaian Hutang dengan Penyerahan Jaminan
secara Sukarela, Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli, Akta Kuasa Menjual, dan
Akta Perjanjian Pengosongan.
Kata kunci: agunan kredit
macet, landasan hukum, model akta pengikatan penyerahan jaminan
ABSTRACT
The research focused on the study of the law against debt settlement troubled borrowers by providing guarantees goods voluntarily to the bank. This is a credit settlement efforts way beyond litigation, with consideration of both sides, namely banks and borrowers take the best step in resolving accounts payable between them. The purpose of this study was to determine and assess the legal basis for the bank as the lender to purchase the collateral of the creditor standstill. In addition, this study intends to find a model certificate binding guarantee delivery of non-performing loans of banks, because so far in the banking practice is not found agreement uniformity standards. Analytical method used is normative, ie with a review of secondary data (literature study) and primary data (legislation, agreement / contract). Results of this study that the bank as creditor has a strong legal basis, namely the provisions of Article 12A of Law No. 10 of 1998 on the Amendment of the Act No. 7 of 1992 on banking. The first model in the form of Debt Settlement Agreement and a second model consists of four certificates, which consists of a Debt Settlement Agreement with Voluntary Delivery Guarantee, the Deed of Sale and Purchase Agreement, the Deed Power of Sale, and Deed Decommissioning.
Keywords: bad credit mortgage, the legal basis, the model certificates binding guarantee delivery
PENDAHULUAN
Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai
penghimpun dan penyalur dana dari masyarakat.
Bank menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro,
deposito berjangka, sertipikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu. Bank
menyalurkan dana dari masyarakat dengan memberikan kredit.
Dalam memberikan kredit, bank wajib mempunyai keyakinan
atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan
yang ditetapkan.
Dalam memberikan kredit, bank tidak dapat terlepas sama
sekali dari resiko menghadapi kredit bermasalah atau kredit macet. Kredit macet
dalam jumlah besar dapat mendatangkan dampak yang tidak menguntungkan terhadap
kesehatan bank pemberi kredit, dunia perbankan pada umumnya, maupun terhadap
kehidupan ekonomi dan keuangan negara.
Berbagai upaya dilakukan oleh bank dalam menekan resiko
kredit dan menyelamatkan kredit macet. Pelaksanaan penarikan kembali kredit
macet dapat dilakukan oleh bank melalui pengadilan maupun di luar pengadilan.
Debitur yang koperatif serta bersedia bekerjasama dengan
bank dalam menyelesaikan kredit macet, antara lain debitur dengan sukarela
bersedia menyerahkan asset yang merupakan jaminan kredit tersebut kepada bank. Dalam
praktek perbankan, penyelesaian kredit macet dengan skim penyelesaian seperti
ini lebih dikenal dengan istilah “Assets
Settlement”.
Dalam penyelesaian kredit macet di lingkungan perbankan
di Indonesia, belum terdapat Standard Operasional dan Prosedur (SOP) serta
belum tersedianya Standar Baku atau Model Akta yang dapat digunakan. Hal ini
mengakibatkan para Pejabat Hukum Bank merasa kesulitan dalam pembuatan akta
pengikatannya sehingga kemudian hanya memberikan keleluasaan kepada praktek dan
kebiasaan notaris bank dalam pembuatan akta pengikatannya.
TUJUAN PENELITIAN
1. Mengetahui
serta mengkaji landasan hukum positif bagi bank selaku kreditur untuk membeli
barang agunan kredit macet bank.
2. Menemukan
serta membuat suatu model standard akta pengikatan penyerahan jaminan yang
berasal dari kredit macet bank.
KERANGKA
PEMIKIRAN
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
mengatakan bahwa bank dapat membeli agunan kredit macet bank melalui lelang,
namun bank harus segera menjualnya kembali untuk pelunasan hutang Debitur.
Nasabah Debitur secara sukarela dapat menyerahkan agunan
kredit secara sukarela kepada bank sebagai salah satu upaya penyelesaian kredit
macet bank, sebagaimana yang diperjanjikan oleh Nasabah Debitur dengan Bank
selaku Kreditur.
Perjanjian yang dibuat oleh Nasabah Debitur dengan Bank
berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya tersebut,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Model akta perjanjian penyerahan agunan kredit bank yang
dapat dibuat oleh Nasabah Debitur dengan Bank dapat berupa: (a) Perjanjian
Penyelesaian Hutang dengan Penyerahan Jaminan secara Sukarela; (b) Perjanjian
Jual Beli; (c) Surat Kuasa Menjual; dan (d) Perjanjian Pengosongan.
Bank dalam membeli agunan kredit macet bank bukan
semata-mata untuk dimiliki oleh bank, namun harus segera dijual kembali yang
hasilnya digunakan untuk pelunasan
hutang debitur kepada bank.
Perjanjian penyerahan jaminan secara sukarela oleh
nasabah debitur kepada bank adalah sah secara hukum dan sesuai dengan hukum dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode analitis yuridis
normatif, yaitu kajian terhadap data sekunder (studi kepustakaan) maupun data
primer (peraturan perundang-undangan, perjanjian/kontrak).
Selain itu juga dilakukan observasi langsung terhadap
praktek perbankan dan notaris serta melakukan interview terhadap nara sumber
terpilih (purposive sampling) yaitu para ahli dibidang perbankan dan hukum kenotariatan.
Penelitian ini dilakukan di Bank Internasional
Indonesia (BII Maybank) Jakarta selama kurang lebih tiga bulan.
LANDASAN PUSTAKA
Pengertian Kelembagaan Bank
Istilah bank telah menjadi
istilah umum yang banyak dipakai di masyarakat dewasa ini. Istilah bank yang
akan dibicarakan di sini adalah bank dalam arti suatu lembaga intermediasi
keuangan yang paling penting dalam sistem perekonomian di Indonesia, yaitu
suatu lembaga khusus yang menyediakan layanan finansial.
Bank adalah badan usaha di bidang keuangan yang menarik dan mengeluarkan
uang di masyarakat, terutama memberikan kredit dan jasa di lalu lintas pembayaran
dan peredaran uang (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, 2001).
Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Bank adalah badan usaha
yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya
kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam
bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf
hidup rakyat banyak.
Menurut Ibrahim (2004a), fungsi bank dapat dikelompokan menjadi tiga
yaitu:
a.
Bank sebagai
lembaga yang menghimpun dana-dana masyarakat atau penerima kredit. Dalam
pengertian ini bank menerima dana-dana yang berupa simpanan dalam bentuk
tabungan, deposito berjangka dan rekening giro.
b.
Bank sebagai
lembaga yang menyalurkan dana dari masyarakat dalam bentuk kredit atau sebagai
lembaga pemberi kredit.
c. Bank sebagai lembaga yang melancarkan transaksi perdagangan dan pembayaran uang.
Pemberian Jaminan Kredit oleh Nasabah kepada Bank
dan Bentuk Pengikatan Hukumnya
Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, menyatakan bahwa agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan
nasabah debitor kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
Menurut Rivai dan Veithzal (2006) jaminan kredit adalah hak dan kekuasaan atas barang jaminan yang diserahkan
oleh nasabah kepada bank guna menjamin pelunasan utangnya apabila kredit yang
diterimanya tidak dapat dilunasi sesuai waktu yang diperjanjikan dalam perjanjian
kredit atau addendumnya.
Selanjutnya, menurut Rivai dan Veithzal (2006) mengatakan jaminan dapat dibedakan
sebagai berikut:
a. Jaminan perorangan (personal guarantee/borgtocht).
b. Jaminan perusahaan (corporate guarantee).
c. Jaminan kebendaan adalah penyerahan hak oleh
nasabah atau pihak ketiga atas barang-barang miliknya kepada bank guna
dijadikan jaminan atas kredit yang
diperoleh nasabah.
Landasan Hukum Bank Membeli Barang Jaminan
Salah satu bentuk jalan damai yang
dapat dilakukan pihak debitur adalah debitur secara sukarela bersedia
menyerahkan barang jaminan kepada pihak bank sebagai upaya penyelesaian kredit
macet debitur.
Landasan hukum bagi bank untuk
menerima barang jaminan dari debitur sebagai upaya penyelesaian kewajiban
(hutangnya) kepada bank menurut beberapa literatur sebagai berikut:
Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyatakan:
Pasal 12 A
Ayat (1):
Bank Umum dapat membeli sebagian atau
seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan
penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk
menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal Nasabah Debitur tidak
memenuhi kewajibannya kepada bank dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut
wajib dicairkan secepatnya.
Ayat
(2):
Ketentuan
mengenai tata cara pembelian agunan dan pencairannya sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Penjelasan Pasal 12A
Ayat (1):
Pembelian agunan oleh bank melalui pelelangan dimaksudkan
untuk membantu bank agar dapat mempercepat penyelesaian kewajiban Nasabah
Debiturnya. Dalam hal bank sebagai pembeli agunan Nasabah Debiturnya, status
bank adalah sama dengan pembeli bukan bank lainnya. Bank dimungkinkan membeli
agunan di luar pelelangan dimaksudkan agar dapat mempercepat penyelesaian
kewajiban Nasabah Debiturnya. Bank tidak diperbolehkan memiliki agunan yang
dibelinya dan secepat-cepatnya harus dijual kembali agar hasil penjualan agunan
dapat segera dimanfaatkan oleh bank.
Ayat (2):
Pokok-pokok ketentuan yang diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah memuat antara lain:
a.
Agunan yang dapat dibeli oleh bank adalah agunan yang
kreditnya telah dikategorikan macet selama jangka waktu tertentu;
b.
Agunan yang telah dibeli wajib dicairkan
selambat-lambatnya dalam jangka waktu satu tahun;
c.
Dalam jangka waktu satu tahun, bank dapat menangguhkan
kewajiban-kewajiban berkaitan dengan pengalihan hak atas agunan yang
bersangkutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Peraturan
Bank Indonesia Nomor: 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum,
mengatakan:
Pasal 1 angka 15
Agunan yang Diambil Alih yang untuk selanjutnya
disebut AYDA adalah aktiva yang diperoleh Bank, baik melalui pelelangan maupun
di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan
atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam
hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada Bank.
Model Akta Notaril tentang Perjanjian Penyelesaian
Hutang dengan Penyerahan Jaminan secara Sukarela
Model
I. Akta Perjanjian Penyelesaian Hutang dibuat dalam satu Akta Notaril.
Ibrahim (2004b) mengemukakan satu model
Akta Notaril tentang Perjanjian Penyelesaian Pinjaman dengan kajian sebagai
berikut:
(1) Perjanjian Penyelesaian Hutang merupakan bentuk
penyelesaian secara musyawarah atau melalui jalur non litigasi yang dituangkan
dalam suatu akta notaril, ditanda-tangani bersama berdasarkan kesepakatan dari
kedua belah pihak;
(2) Dalam premis Akta Perjanjian Penyelesaian Hutang,
disebutkan alasan-alasan dibuatnya akta ini;
(3) Penyerahan jaminan dari debitur kepada bank untuk
dijual atau dilepaskan haknya dengan memakai harga (compensatie), syarat-syarat, ketentuan-ketentuan dan
perjanjian-perjanjian yang dianggap baik dan perlu oleh pihak bank untuk
melunasi segala hutangnya, merupakan klausula yang memberikan hak bagi bank
untuk secepat mungkin agar terhindar dari kredit macet;
(4) Klausula kuasa untuk menjual jaminan yang tercantum
dalam Pasal 2 merupakan penjabaran dari asas kebebasan berkontrak, dimana para
pihak dapat menentukan kehendaknya untuk mencari solusi terbaik dalam
penyelesaian hutang-piutang. Klausula ini sejalan dengan bunyi Pasal 12 A
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan, untuk menguasai jaminan dalam penyelesaian kredit
dengan catatan jaminan tersebut harus dicairkan secepatnya;
(5) Kedua klausula dalam angka (3) dan (4) sesuai
dengan asas prudential banking
(kehati-hatian), untuk menciptakan perbankan yang sehat, bank harus antisipasif
terhadap kemungkinan kredit macet dan solusi dalam bentuk penyerahan jaminan
dapat mengefisienkan biaya-biaya yang pada umumnya dibebankan kepada debitur;
(6) Klausula yang tercantum dalam Pasal 3 merupakan
jaminan dari pihak debitur dan/atau pemilik atas jaminan kebendaan yang
diserahkan kepada bank untuk menghindari tuntutan dari pihak ketiga;
(7) Klausula yang tercantum dalam Pasal 4 merupakan
jaminan dari pihak debitur dan/atau pemilik untuk melakukan pengosongan atas
jaminan kebendaan, baik dihuni atau ditempati debitur atau pihak ketiga beserta
kunci-kuncinya;
(8) Klausula yang tercantum dalam Pasal 5 merupakan
pengembangan konsep kompensasi atau pengimpasan pinjaman (set-off) sebagai salah satu upaya penyelesaian kredit bermasalah
(macet), khususnya tentang pengimpasan pinjaman di Indonesia yang diatur dalam
KUH Perdata tentang kompensasi atau pemjumpaan hutang. Konsep dalam Pasal 5
harus dipertimbangkan kembali rumusannya untuk menerapkan penyelesaian hutang
yang tidak seimbang nilai jaminan dan kewajiban debitur. Bank dapat bertindak
semena-mena untuk menguasai jaminan. Patut dipertimbangkan asas keseimbangan,
agar tidak terjadi posisi dominan akan menguasasi pihak lain dalam posisi yang
lemah;
(9) Klausula dalam Pasal 6 tentang domisili hukum atas
perjanjian penyelesaian hutang, apabila dalam implementasinya tidak sesuai
dengan kesepakatan bersama;
Model
II. Akta Perjanjian Penyelesaian Hutang dibuat dalam empat Akta Notaril, yaitu
:
(1) Akta Perjanjian Penyelesaian Hutang dengan
Penyerahan Jaminan secara Sukarela;
(2) Akta
Perjanjian Pengikatan Jual Beli
(3) Akta Kuasa Menjual
(4) Akta Perjanjian Pengosongan
Beberapa hal penting sebelum pembuatan dan penandatangan
Akta Penyelesaian Hutang
Ibrahim (2004b) menyatakan beberapa hal penting yang patut untuk
diperhatikan sebelum dilakukannya pembuatan dan penandatanganan akta
penyelesaian hutang adalah:
(1) Akta penyelesaian hutang merupakan upaya
penyelesaian kredit di luar jalur litigasi, dengan pertimbangan kedua belah
pihak, yaitu bank dan debitur sepakat untuk mengambil langkah yang terbaik
dalam menyelesaikan hutang piutang di antara mereka;
(2) Harus dibuktikan terdapatnya unsur kelalaian (default) yang dilakukan debitur selama
berlangsungnya perjanjian kredit, sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam event of default;
(3) Apabila dalam perikatan yang dibuat antara debitur
dan bank terdapat lebih dari satu hubungan kontraktual, baik atas debitur yang
sama atau dengan debitur-debitur lainnya dan terdapat cross default dan cross collateral,
penyelesaian hendaknya ditempuh dengan konsep one obligor system;
(4) Penyelesaian yang dilakukan dengan konsep one obligor system merupakan upaya yang
ditempuh untuk menghindari dari kenakalan debitur dalam menyelesaikan hutang,
khususnya bila dalam suatu perjanjian kredit tidak di-cover oleh jaminan yang cukup;
(5) Unsur-unsur kelalaian (default) dan kelalaian silang (cross
default) yang tercantum dalam klausula “event
of default” ditegaskan dalam surat peringatan atau somasi dari pihak bank
kepada debitur, terhitung sejak kelalaian itu dilakukan debitur;
(6) Surat peringatan atau somasi diberikan secara
berturut-turut dengan ditegaskan peringatan pertama, kedua dan ketiga, selama
debitur tidak menyelesaikan kewajibannya;
(7) Penyelesaian yang ditempuh dengan jalur
non-litigasi ini harus tercermin dari sikap koperatif yang ditujukan oleh
debitur atau kuasanya untuk menyelesaikan hutang;
(8) Bukti-bukti dari penatabukuan kredit harus
diberikan dan ditunjukkan bank kepada debitur secara transparan, sehingga
debitur mendapat keyakinan bahwa penyelesaian ini akan memberikan manfaat bagi
kedua belah pihak dan tidak sekedar hanya bank saja;
(9) Kebijakan-kebijakan yang ditempuh oleh bank harus
mempertimbangkan itikad baik yang ditunjukan debitur. Dalam konteks ini bank
patut mempertimbangkan kondisi- kondisi finansial ataupun perekonomian yang
berdampak terhadap ketidak mampuan (non-performance)
debitur dalam pemenuhan segala bentuk kewajibannya;
(10) Akhirnya, penyelesaian hutang yang dilakukan bank
dan debitur dilandasi oleh keinginan dari kedua belah pihak untuk mencapai
penyelesaian dengan konsep win-win
solution, tiada satupun yang merasa dirugikan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Bank dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui
pelelangan maupun di luar pelelangan dengan dasar penyerahan secara sukarela
oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari
pemilik agunan dalam hal Nasabah Debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada
bank dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya
(maksimal satu tahun), demikian berdasarkan Pasal 12A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
2.
Model akta pengikatan penyerahan jaminan yang berasal dari kredit macet bank berupa:
a. Model I berupa Akta Perjanjian Penyelesaian Hutang
dibuat dalam satu akta notaril;
b. Model II berupa Akta Perjanjian Penyelesaian
Hutang dibuat dalam empat akta notaril,
sebagai berikut:
a. Akta Perjanjian Penyelesaian Hutang dengan
Penyerahan Jaminan secara Sukarela;
b. Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli;
c. Akta Kuasa Menjual;
d. Akta Perjanjian Pengosongan.
Saran
1. Pemerintah diharapkan dapat segera membuat
Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai ketentuan tata cara
pembelian agunan dan pencairannya
yang berasal dari kredit bermasalah (macet) untuk kepastian hukum dan
perlindungan yang seimbang antara debitur dan bank selaku kreditur.
2. Lembaga Perbankan diharapkan dapat segera membuat
Peraturan Ketentuan dan Prosedur Operasional secara internal yang mengatur mengenai ketentuan tata cara pembelian agunan dan pencairannya yang berasal dari kredit bermasalah (macet).
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata ( KUH
Perdata )
Undang-Undang
No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Undang-Undang
No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan
Bank Indonesia. Peraturan Bank Indonesia Nomor :
7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum.
Buku-Buku
Ibrahim J. (2004A), Bank Sebagai Lembaga Intermadiasi
Dalam Hukum Positif. Penerbit CV.
Utomo, Bandung.
Ibrahim
J. (2004B) Cross
Default & Cross Collateral.
Dalam Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah. Penerbit Refika Aditama, Bandung
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
(2001), Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Edisi
Ketiga, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta.
Rivai, V. & Veithzal, A.P. (2006) Credit Management Handbook, Teori, Konsep,
Prosedur dan Aplikasi Panduan Praktis Mahasiswa, Bankir, dan Nasabah.
Penerbit PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2006.
Akta Perjanjian / Kontrak
Akta Perjanjian Penyelesaian Hutang
Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli
Akta Kuasa Menjual
Akta Perjanjian
Pengosongan