Tentang SosioHumanitas Unla

SosioHumanitas Unla merupakan Jurnal Ilmu-ilmu Sosial & Humaniora Universitas Langlangbuana.

Sosiohumanitas berisi karya ilmiah hasil penelitian atau pemikiran berdasarkan kajian literatur yang dimuat dalam bentuk media cetak oleh LPPM Universitas Langlangbuana Bandung.

Materi yang dibahas mencakup masalah dan isu-isu yang aktual mengenai aspek sosial budaya dan kemanusiaan lainnya.

ISSN 1410-9263.

Komunikasi dan Intoleransi Politik: Sebuah Tinjauan Psikologi Komunikasi


Oleh:
Firman Alamsyah Taufik Robbi
Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Langlangbuana Bandung
  

ABSTRAK

Hakikat demokrasi adalah meletakkan masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam menentukan bagaimana cara yang terbaik suatu negara diselenggarakan melalui partisipasi politik yang bersifat aktif, bebas dan bersifat sukarela. Permasalahannya adalah pelibatan tersebut ternyata tidak cukup di Indonesia mengingat sisa-sisa otoritarianisme di masa lalu ternyata membentuk kepribadian politik yang intoleran dan tercermin pada konflik di seputar pemilihan pimpinan lembaga eksekutif. Dalam kerangka ini, komunikasi sebagai sarana transmisi, transaksi dan interaksi simbol-simbol yang bermakna, memainkan peran melalui identifikasi perasaan keterancaman dan sosialisasi edukasi modalitas sosial, sehingga terbangun persepsi tentang kekuasaan yang lebih bersifat sebagai kontestasi program dibandingkan masalah perebutan kekuasaan belaka.

Kata Kunci : Demokrasi, Komunikasi


ABSTRACT

The nature of democracy is sovereignty in the hands of the people in deciding how best a country organized through political participation which are active, free and voluntary. The problem is that the engagement was not enough in Indonesia given the remnants of authoritarianism in the past turned out to form a political personality intolerant and reflected on the conflict surrounding the election of the executive leaders. Within this framework, communication as a means of transmission, transaction and interaction of meaningful symbols, play a role through the identification and dissemination of threatened feelings and socialization of social education modality, thereby building the perception of power over nature as a contestation of the program than a mere power struggle problem.
Keywords: democracy, communication



PENDAHULUAN
Hakikat demokrasi adalah menjadikan masyarakat sebagai otoritas tertinggi dalam menentukan bagaimana caranya sebuah negara diselenggarakan. Otoritas tersebut berbentuk pada kepemilikan atas hak menentukan atau memutuskan bagaimana kebijakan dan siapa penyelenggara kekuasaan negara.
Sebagai warganegara, setiap individu memiliki kedudukan yang sama serta memiliki kebebasan menyampaikan pendapat. Tanpa adanya partisipasi aktif dari masyarakat, maka demokrasi dengan sendirinya tidak pernah ada (Verba, et.al., 1995).
Eksistensi suatu proses demokratisasi sangat tergantung dari sejauhmana masyarakat secara berkesinambungan dan melalui cara damai berusaha memberikan dukungan terhadap nilai, norma dan prosedur demokrasi itu sendiri. Finkel, et.al., (1999) mengungkapkan bahwa tanpa komitmen tersebut, maka proses demokratisasi akan jatuh pada kecenderungan otoritarianisme sebagian elite politik yang justru merefleksikan perilaku despotik. Salah satu wujud dari proses berdemokrasi adalah keterlibatan masyarakat secara aktif dalam berpartisipasi untuk menyampaikan aspirasi dan kepentingannya.
Verba, et.al., (1995) mengungkapkan, bahwa hakikat dari demokrasi adalah partisipasi politik. Selain itu, Conway (1991) juga menambahkan, bahwa partisipasi politik merupakan aktivitas yang dilakukan warga negara biasa (bukan kelas elite politik) yang bersifat sukarela dalam menentukan keputusan yang berkaitan dengan publik. Proses keterlibatan masyarakat tidak selalu terkait dengan upaya meningkatkan kesejahteraan atau kepentingan sendiri, melainkan lebih pada keberbagian keuntungan bersama (Putnam, 2000).
Terminologi partisipasi politik memiliki makna sebagai seluruh aktivitas individual sebagai sebagai warga negara dalam upayanya mempengaruhi dan memilih struktur, otoritas, dan kebijakan pemerintahan (Conway, 1991). Huntington & Nelson (1994) menambahkan bahwa karakter khas dari partisipasi politik adalah dilakukan oleh warganegara biasa dan bersifat sukarela dalam menentukan keputusan yang berkaitan dengan publik.
Substansi dari keterlibatan individu dalam proses politik adalah bagaimana mewujudkan suatu pemerintahan yang bekerja secara dalam bingkai responsif dan efisien, yakni bagaimana sebuah pemerintahan bertanggung jawab kepada masyarakat dalam menjalankan pelayanan publik di mana seluruh kebijakan yang dibuat berorientasi dan berpihak kepada kebajikan masyarakat. (Putnam, 1993).
Keterlibatan masyarakat dalam politik tidaklah berkaitan langsung dengan kepentingan pribadi, melainkan bagaimana keuntungan tersebut dinikmati secara bersama-sama,  dalam pengertian bahwa  konsekuensi dari partisipasi politik adalah lahirnya suatu kebijakan-kebijakan pemerintah yang sifatnya menguntungkan pada tataran masyarakat. Program atau kebijakan yang diambil pemerintah tidak dalam bentuk khusus orang per orang, melainkan dalam bentuk terpenuhinya keinginan masyarakat. Menurut Putnam (2000), hal yang paling substansial dari format aktivitas politik adalah terlibat dalam proses pemilihan umum. “voting is by a substantial margin of the most common form political activity, and it embodies the most fundamental democratic principle of equality“ (h.35)
Melalui mekanime Pemilu, masyarakat memiliki sarana untuk menyatakan kedaulatan atas negara dan pemerintahan, serta memilih dan melakukan pengawasan terhadap pemimpin dan wakil di lembaga parlemen. Selain itu, Pemilu yang jujur, adil, dan berkala dipahami sebagai suatu sistem politik yang meletakkan rakyat sebagai pembuat keputusan kolektif tertinggi (Huntington & Nelson, 1994).
Keterlibatan dalam Pemilu memungkinkan terfasilitasinya kepentingan atau kebutuhan yang diinginkan dalam rangka perbaikan kehidupan masyarakat melalui pemerintahan yang dipilih sendiri oleh masyarakat. Ketidakterlibatan dalam proses ini berarti menghilangkan satu kesempatan bagi terbentuknya suatu pemerintahan yang bersumber dari apa dan bagaimana kehendak masyarakat. Selain itu juga menunjukkan tidak mengikuti Pemilu adalah salah satu bentuk dari ketidakpedulian dalam membangun suatu pemerintahan yang public-oriented
Namun masalah penting yang sering dihadapi oleh pemerintahan yang mengupayakan transformasi demokrastis adalah adanya intoleransi politik sebagai warisan budaya rezim lama. Lusiana (2004) mengungkapkan, dalam proses transisi demoklrasi maka yang muncul adalah radikalisme dan anarkisme politik yang merupakan gejala intoleransi. Ditambahkannya, intoleransi politik merupakan ancaman paling serius bagi terciptanya sistem demokras dan  demokrasi sebagai suatu bentuk pemerintahan dan cara hidup akan stabil dan berdaya guna hanya jika ia mempertahankan toleransi politik pemeliharaan identitas budaya, kekuataan ekonomi, dan keadilan sosial. Sullivan (1999) mengungkapkan bahwa masyarakat dan pemimpin yang membiarkan orang atau kelompok lain untuk berbeda dalam aspirasi politiknya merupakan condition sine quanon dalam keberlanjutan proses demokratisasi itu sendiri.
Demokratisasi di Indonesia pun ternyata mengalami wabah intoleransi, khususnya yang terjadi pasca pilihan kepala daerah. Berbagai daerah marak terjadi unjuk rasa bahwa diwarnai dengan kekerasan fisik pula. Kasus yang paling mutakhir adalah konflik pasca pilihan Kepala Daerah/ Gubernur Sulawesi Selatan hingga pemerintah pusat terpaksa menunda pengangkatan kepala daerah terpilih bahkan justru mengangkat pejabat sementara.
Sebuah pertanyaan kemudian muncul, mengapa fenomena tersebut begitu maraknya ? Apakah tidak ada satu pun mekanisme komunikasi dialogis yang dapat dibangun untuk mereduksi konflik bahkan hingga mampu menerima secara lapang dada kekalahan politik sebagai sebuah permainan belaka ?

KOMUNIKASI DAN FAKTOR-FAKTOR KEPRIBADIAN POLITIK
Peristiwa komunikasi menjadi sesuatu yang terberikan dan melekat dalam rentang perjalanan kehidupan manusia di dunia. Saat seorang ibu merasakan gerakan janin dalam rahimnya, saat bayi menangis untuk kali pertama melihat dunia, menelusuri rentang waktu kanak-kanak, remaja, menjadi dewasa dan tutup usia, semuanya – tidak dapat tidak – akan diwarnai oleh aktivitas komunikasi. Melalui komunikasi, sesungguhnya orang tengah menyatakan eksistensi diri, memupuk suatu hubungan, menemukan kebahagiaan, menjalani proses kehidupan dan bagian dalam membentuk pemahaman konsepsi diri secara utuh dan terintegrasi.
Gamble & Gamble (2002) menggambarkan, bahwa setiap manusia tidak mungkin dapat menghindarkan diri dari komunikasi. Ketika kita terdiam, menghindarkan diri dari banyak orang – dan kita merasa telah tidak berkomunikasi – maka sesungguhnya kita telah berkomunikasi dengan orang lain, dengan menunjukkan diri ketidakhadiran kita dalam situasi komunikasi. Selanjutnya dalam tindak komuniaksi, kita tidaklah berbicara tentang apa yang hendak disampaikan melainkan juga terkait dengan hubungan antara pelaku-pelaku komunikasi. Kesejatian komunikasi tidaklah terbentur pada taburan kata-kata verbal, melainkan keseluruhan unsur ketubuhan dalam bentuk non-verbal di mana kesemuanya saling melengkapi dan memperkuat kesemestaan hakikat interaksi secara menyeluruh.
Mulyana (2007) melakukan identifikasi atas 3 (tiga) sudut pandang atau cara untuk memahaminya, yakni sebagai aktivitas transmisi, interaksi dan transaksi informasi. Ketiga perspektif ini boleh dikatakan sebagai interpretasi longgar atas ragam pemaknaan tentang komunikasi. Namun, kesemuanya merujuk pada suatu hal yang tak terbantahkan, yakni komunikasi secara hakiki melibatkan interaksi manusia dengan manusia lain. Proses pembuatan pesan, desain pesan dan pengemasannya serta penelaahan akan implikasi dari tersampaikannya pesan serta bagaimana dialektika atas pesan yang dikonstruksi bahkan direkonstruksi adalah sebuah produk manusia
Oleh karenanya, maka sesungguhnya komunikasi sejatinya merupakan proses yang sistemik di mana manusia saling berinteraksi satu sama lain dengan dan melalui simbol sebagai suatu informasi yang didesain dan memiliki makna (Wood, 2004). Meskipun ditelaah dalam perpsektif yang beragam, namun aktivitas komunikasi senantiasa bersandar pada dua pilar, manusia dan simbol. Manusia, dalam konteks transmisi, interaksi maupun transaksi informasi menempatkan diri sebagai subjek, objek dan atau sekaligus keduanya. Simbol, merupakan ekstensifikasi dari penginderaan dan pemahaman manusia atas objek untuk kemudian dimaknai sebagai representasi dari objek yang didiskursuskan.
Cottam, et.al (2004) menegaskan, dalam ihkwal politik, seseorang tidaklah menjadi pemrosesor informasi yang sempurna atau juga suatu tabula rasa. Situasi ini menuntut adanya mekanisme psikologi tertentu untuk memfasilitasi diri dalam melakukan pemrosesan itu sendiri. Bullock & Stallybrass (1977) menjelaskan bahwa diperlukan suatu proses psikis yang secara terintegratif memadukan unsur-unsur kemahiran, pengelolaan dan penggunaan pengetahuan yang lebih akrab dikenal dengan istilah kognisi. Hal ini sejalan dengan pemikiran Scheerer (dalam Shaw & Costanzo, 1980) di mana kognisi dibutuhkan untuk menjembatani peristiwa di luar dengan di dalam diri individu. Dengan kata lain, seseorang akan cenderung berusaha untuk menterjemahkan informasi untuk kemudian dievaluasinya. Hal ini terjadi karena dia akan menjadi nyaman bilamana memiliki independensi dalam menyaring informasi apakah sesuai dengan ide-ide atau nilai yang mereka miliki sehingga kemudian mereka akan menggunakannya atau sebaliknya. Hal senada juga diungkapkan oleh Weiner (1986) yang memaparkan bahwa orang memproses informasi secara naif melalui dugaan-dugaan tertentu mengapa mereka membutuhkannya.
Selain itu, ketika dihadapkan pada informasi cenderung berlimpah, maka seseorang akan cenderung fokus pada satu atau sejumlah informasi yang dianggap paling relevan dengan kebutuhannya. Ottati & Wyer (1990) menggambarkan, bahwa informasi diterima untuk kemudian disesuaikan diukur untuk kemudian disimpan dalam memori yang setiap saat dapat digunakan ketika seseorang dalam proses pengambilan keputusan. Di sisi lain, individu juga mengelaborasi dinamika emosi dan afeksinya. Richard & Gross (1999) menuturkan bahwa emosi berperan dalam proses penentuan pengambilan keputusan. Sejalan dengan mereka, Isen (1993) mengungkapkan bahwa afeksi positif dapat meningkatkan upaya-upaya politik yang damai seperti penyelesaian masalah, negoisasi dan pengambilan keputusan bersama, Cottam, et.al, (2004) menjelaskan bahwa aspek-aspek afeksi bekerja dalam pemrosesan informasi dalam wujud bagaimana peristiwa diintegrasikan dengan pengalaman emosional di masa lalu dan  kedekatan peristiwa dengan produksi emosi yang dimilikinya. Bentuk-bentuk afeksi politik ditunjukkan dalam bentuk penggunaan orientasi emosi positif dengan kelompok sebagai mekanisme pemandu dalam proses partisipasi politik. Secara positif, keterikatan kelompok dapat memfasilitasi dirinya untuk mendapatkan sesuatu yang tidak dimilikinya ketika berada di luar kelompok (Byron & Byrne, 2000).
Fenomena di atas memunculkan asumsi bahwa seseorang dalam memperlakukan informasi tidaklah berlaku unsur kognitifnya saja melainkan pula dimensi afektif. Pemrosesan informasi dengan meniadakan unsur kognitif akan menempatkan individu dalam pembentukan sikap politiknya lebih didominasi oleh preferensi, emosi dan mood belaka dengan mengabaikan set mental dalam organisasi pesan yang hadir. Sebaliknya, ketika individu lebih menempatkan informasi untuk dikelola dalam skema-skema asimetrik, maka orang tersebut menafikkan adanya proses evaluasi dan keterlibatan lingkungan di mana dia banyak melakukan proses penjangkaran informasi. Pemikiran ini diperkuat oleh Stephan & Stephan (1993) yang mengungkapkan bahwa manusia dalam menghadapi informasi akan menggunakan sisten interkoneksi pararel antara kognitif dan afektifnya serta Cottam, et.al, (2004) yang melihat bahwa untuk memahami politik diperlukan interaksi kognisi dan emosi di mana wujud interaksi tersebut akrab dikenal dengan konsepsi sikap.
Dengan kerangka tersebut, maka kita dapat merujuk pada konsep intoleransi politik yang digagas oleh Sullivan (1999). Menurutnya, seseorang akan menjadi bersikap toleran atau sebaliknya disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat individual sekaligus lingkungan di mana kedua faktor tersebut memainkan peran yang berbeda-beda tiap individunya. Faktor individual merupakan akumulasi pengalaman kehidupannya yang telah mengakar dan berperan sebagai penentu arah sikap serta tingkah laku. Lusiana (2004) menandaskan, bahwa akumulasi yang ada sejatinya adalah predisposisi kepribadian, pengalaman politik dan cara pandang terhadap dunia. Berangkat dari kerangka tersebut, jelaskah bahwa dalam mengidentifikasi dan merekonstruksi pemahaman politiknya terdapat kecenderungan adanya perasaan keterancaman di dalam dirinya yang membatasi kesediaan untuk melakukan transmisi, transaksi dan interaksi informasi dengan mereka yang dinilai berbeda secara politik ideologis. Pengalaman politik yang apolitik selama ini, perspektif dalam memahami jagad politik yang senantiasa telah dikonstruksi pada satu kebijakan yang meniadakan perbedaan prinsipal membangun kepribadian yang senantiasa melihat bahwa perbedaan pandangan adalah sebuah ancaman.
Sedangkan dari persepktif eksternal, maka Sears, et. al (1985) melihat bahwa informasi politik lebih mudah dipahami setelah dilakukan kategorisasi atau identifikasi. Selain itu, melalui identifikasi atas nilai-nilai yang memiliki makna politik signifikan memiliki kaitan erat dengan derajat partisipasi politiknya. Namun demikian, kategorisasi dengan penggunaan identifikasi kelompok politik secara ekstrim akan memungkinkan terjadinya diskriminasi dan kecenderungan untuk memanifestasikan kesesuaian dirinya dengan kelompok atau informasi politik tertentu semata di mana   proses identifikasi kelompok atau ideologi tertentu hanya berfungsi sebagai diskriminan pada saat terjadinya perasaan keterancaman.

REDUKSI KETERANCAMAN & MODAL SOSIAL: SEBUAH SOLUSI
Berangkat dari fenomena secara psikologis, bahwa komunikasi politik dapat tergagalkan sebagai akibat dari sikap intoleran, maka solusi dalam mereduksi konflik adalah: Pertama, melakukan pemetaan terhadap penyebab perasaan keterancaman yang diasumsikan sebagai faktor kepribadian pemicu komunikasi yang intoleran, apakah ancaman yang dirasakan oleh para pelaku politik bersifat realistik, simbolik ataukah stereotipe belaka ? Dengan identifikasi yang jelas, maka desain komunikasi dialogis akan lebih terancang secara cermat, apakah proses dialektika antara mereka yang berkonflik langsung bicara pada tataran substansi permasalahan ataukah lebih karena perbedaan cara pandang. Identifikasi ini menjadi sangat penting sebagai dasar rekonsiliasi pasca konflik atau preparasi aktivitas politik yang rentan konflik di masa mendatang. Kedua, membangun sebuah pendidikan politik sedini mungkin yang berbasis kesetaraan dengan mengedepankan modalitas sosial. Melalui modalitas sosial, individu akan terbiasa dengan jaringan, kesepahaman dan saling mempercayai sebagai dasar  partisipasi politik. 
Ketika kedua aspek tersebut – faktor  individual dan lingkungan –  terintegrasi, maka akan terbangun kesamaan persepsi di mana politik akan lebih ditafsirkan sebagai kontestasi program dibandingkan sebuah persinggungan kepentingan apalagi ketersinggungan pribadi. Pemetaan terhadap perasaan keterancaman dan modalitas sosial hanya dapat berlangsung ketika setiap individu mampu membangun dialog konstruktif sehingga pesan/simbol searah dari seseorang/institusi kepada seseorang/banyak orang/institusi lain dengan asumsi akan terjadi penyesuaian sikap dan perilaku sebagaimana yang dikehendaki penyampai setelah menerima pesan, berlangsung umpan balik serta pencapaian tafsir makna yang diusahakan oleh penyampai dan penerima pesan/simbol secara bersamaan.

DAFTAR PUSTAKA

Baron, R.A & Byrne, D (2000). Social Psychology 9th Edition. Allyn & Bacon, Massachuchets
Bullock, A & Stallybrass, O (1977). The harper dictionary of modern thought. Harper & Row, New York.
Conway, M. (1991). Political participation in the united states 2nded, Washington DC, A Division of Congressional Quarterly Inc.
Cottam, M, Uhler, B.D., Mastors, E., Preston, T. (2004). Introduction to Political Psychology. Lawrence Erlbaum, London.
Finkel, S.E., Sigelman, L., & Humphries, S. (1999)   Democratic values  and political tolerance. Measures of Social Psychology Attitude, 2, 203-296, San Diego California, Academic  Press
Gamble, T.K & Gamble, M (2002). Communication Work. Mc Graw Hill, New York.
Huntington, S.P., & Nelson, J.M. (1994). Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Jakarta, Rineka Cipta.
Lusiana, Y (2004). Model Integrasi Intoleransi Politik. Tesis Fakultas Psikologi UI, tidak diterbitkan.
Mulyana, D (2007). Ilmu komunikasi: Suatu pengantar, remaja rosdakarya, Bandung
Ottati, V.C & Wyer, R.S (1990). The cognition mediators of political  choice. University of Illinois Press, Illinois.
Putnam, R.D. (2000). Bowling alone : The collaps and revival of American community, New York, Simon and Schuster.
Richards, J.M & Gross, J.J. (1999). Composure at any cost ? The  cognitive consequent of emotion suppression, Personality and Social Psychology Bulletin 25.
Sears, D.O, Freedman, J.L, Peplau, L.A (1985). Social psychology 5th edition. Prentice-Hall, Inc, Englewood Cliffs-New Jersey.
Stephan, W & Stephan C (1993). Cognition and affect in stereotyping: Pararell interactive networks, Academic, New York.
Sullivan, J.L., & Transue, J.E. (1999). The psychological underpinning of democracy, a selective review of research on political tolerance, interpersonal trustand social capital, Annual Review of Psychology, 50, 625-650.
Verba, S., Scholzman, K.,& Brady, H. (1995). Voice and equality: Civic voluntarism in American public, Cambridge, Harvard University Press.
Weiner, B (1986). an attribution theory of motivation and emotion. Springer-Verlag. New York.