Oleh:
Firman Alamsyah
Taufik Robbi
Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Langlangbuana Bandung
Email: firmanalamsyahtr@yahoo.co.id
ABSTRAK
Hakikat demokrasi adalah
meletakkan masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam menentukan
bagaimana cara yang terbaik suatu negara diselenggarakan melalui partisipasi
politik yang bersifat aktif, bebas dan bersifat sukarela. Permasalahannya
adalah pelibatan tersebut ternyata tidak cukup di Indonesia mengingat sisa-sisa
otoritarianisme di masa lalu ternyata membentuk kepribadian politik yang
intoleran dan tercermin pada konflik di seputar pemilihan pimpinan lembaga
eksekutif. Dalam kerangka ini, komunikasi sebagai sarana transmisi, transaksi dan
interaksi simbol-simbol yang bermakna, memainkan peran melalui
identifikasi perasaan keterancaman dan sosialisasi edukasi modalitas sosial,
sehingga terbangun persepsi tentang kekuasaan yang lebih bersifat sebagai
kontestasi program dibandingkan masalah perebutan kekuasaan belaka.
Kata Kunci : Demokrasi, Komunikasi
ABSTRACT
The nature of democracy is sovereignty in the hands
of the people in deciding how best a country organized through political
participation which are active, free
and voluntary. The problem is that the engagement was not enough in Indonesia
given the remnants of authoritarianism in the past turned out to form a
political personality intolerant and reflected on the conflict surrounding the
election of the executive leaders. Within this framework, communication as a
means of transmission, transaction and interaction of meaningful symbols, play a role through the identification and
dissemination of threatened feelings and socialization of social education modality, thereby building the
perception of power over nature as a contestation of the program than a mere
power struggle problem.
Keywords: democracy, communication
PENDAHULUAN
Hakikat demokrasi adalah menjadikan masyarakat sebagai
otoritas tertinggi dalam menentukan bagaimana caranya sebuah negara
diselenggarakan. Otoritas tersebut berbentuk pada kepemilikan atas hak
menentukan atau memutuskan bagaimana kebijakan dan siapa penyelenggara
kekuasaan negara.
Sebagai warganegara, setiap individu memiliki kedudukan yang
sama serta memiliki kebebasan menyampaikan pendapat. Tanpa adanya partisipasi
aktif dari masyarakat, maka demokrasi dengan sendirinya tidak pernah ada
(Verba, et.al., 1995).
Eksistensi suatu proses demokratisasi sangat tergantung dari
sejauhmana masyarakat secara berkesinambungan dan melalui cara damai berusaha
memberikan dukungan terhadap nilai, norma dan prosedur demokrasi itu sendiri.
Finkel, et.al., (1999) mengungkapkan
bahwa tanpa komitmen tersebut, maka proses demokratisasi akan jatuh pada
kecenderungan otoritarianisme sebagian elite politik yang justru merefleksikan
perilaku despotik. Salah satu wujud dari proses berdemokrasi adalah
keterlibatan masyarakat secara aktif dalam berpartisipasi untuk menyampaikan
aspirasi dan kepentingannya.
Verba, et.al.,
(1995) mengungkapkan, bahwa hakikat dari demokrasi adalah partisipasi politik. Selain
itu, Conway (1991)
juga menambahkan, bahwa partisipasi politik merupakan aktivitas yang dilakukan warga negara
biasa (bukan kelas elite politik) yang bersifat sukarela dalam menentukan
keputusan yang berkaitan dengan publik. Proses keterlibatan masyarakat tidak
selalu terkait dengan upaya meningkatkan kesejahteraan atau kepentingan
sendiri, melainkan lebih pada keberbagian keuntungan bersama (Putnam, 2000).
Terminologi partisipasi politik memiliki makna sebagai
seluruh aktivitas individual sebagai sebagai warga negara dalam upayanya
mempengaruhi dan memilih struktur, otoritas, dan kebijakan pemerintahan
(Conway, 1991). Huntington & Nelson (1994) menambahkan bahwa karakter khas
dari partisipasi politik adalah dilakukan oleh warganegara biasa dan bersifat
sukarela dalam menentukan keputusan yang berkaitan dengan publik.
Substansi dari keterlibatan individu dalam proses politik
adalah bagaimana mewujudkan suatu pemerintahan yang bekerja secara dalam
bingkai responsif dan efisien, yakni bagaimana sebuah pemerintahan bertanggung
jawab kepada masyarakat dalam menjalankan pelayanan publik di mana seluruh
kebijakan yang dibuat berorientasi dan berpihak kepada kebajikan masyarakat.
(Putnam, 1993).
Keterlibatan masyarakat dalam politik tidaklah berkaitan
langsung dengan kepentingan pribadi, melainkan bagaimana keuntungan tersebut
dinikmati secara bersama-sama, dalam
pengertian bahwa konsekuensi dari
partisipasi politik adalah lahirnya suatu kebijakan-kebijakan pemerintah yang sifatnya
menguntungkan pada tataran masyarakat. Program atau kebijakan yang diambil
pemerintah tidak dalam bentuk khusus orang per orang, melainkan dalam bentuk
terpenuhinya keinginan masyarakat. Menurut Putnam (2000), hal yang paling
substansial dari format aktivitas politik adalah terlibat dalam proses
pemilihan umum. “voting is by a substantial margin of the most common form
political activity, and it embodies the most fundamental democratic principle
of equality“ (h.35)
Melalui mekanime Pemilu, masyarakat memiliki sarana untuk
menyatakan kedaulatan atas negara dan pemerintahan, serta memilih dan melakukan
pengawasan terhadap pemimpin dan wakil di lembaga parlemen. Selain itu, Pemilu
yang jujur, adil, dan berkala dipahami sebagai suatu sistem politik yang
meletakkan rakyat sebagai pembuat keputusan kolektif tertinggi (Huntington
& Nelson, 1994).
Keterlibatan dalam Pemilu memungkinkan terfasilitasinya
kepentingan atau kebutuhan yang diinginkan dalam rangka perbaikan kehidupan
masyarakat melalui pemerintahan yang dipilih sendiri oleh masyarakat.
Ketidakterlibatan dalam proses ini berarti menghilangkan satu kesempatan bagi
terbentuknya suatu pemerintahan yang bersumber dari apa dan bagaimana kehendak
masyarakat. Selain itu juga menunjukkan tidak mengikuti Pemilu adalah salah
satu bentuk dari ketidakpedulian dalam membangun suatu pemerintahan yang public-oriented
Namun masalah penting yang sering dihadapi oleh pemerintahan
yang mengupayakan transformasi demokrastis adalah adanya intoleransi politik
sebagai warisan budaya rezim lama. Lusiana (2004) mengungkapkan, dalam proses
transisi demoklrasi maka yang muncul adalah radikalisme dan anarkisme politik
yang merupakan gejala intoleransi. Ditambahkannya,
intoleransi politik merupakan ancaman paling serius bagi terciptanya
sistem demokras dan demokrasi sebagai
suatu bentuk pemerintahan dan cara hidup akan stabil dan berdaya guna hanya
jika ia mempertahankan toleransi politik pemeliharaan identitas budaya,
kekuataan ekonomi, dan keadilan sosial. Sullivan (1999) mengungkapkan bahwa
masyarakat dan pemimpin yang membiarkan orang atau kelompok lain untuk berbeda
dalam aspirasi politiknya merupakan condition
sine quanon dalam keberlanjutan proses demokratisasi itu sendiri.
Demokratisasi di Indonesia pun ternyata mengalami wabah
intoleransi, khususnya yang terjadi pasca pilihan kepala daerah. Berbagai daerah
marak terjadi unjuk rasa bahwa diwarnai dengan kekerasan fisik pula. Kasus yang
paling mutakhir adalah konflik pasca pilihan Kepala Daerah/ Gubernur Sulawesi
Selatan hingga pemerintah pusat terpaksa menunda pengangkatan kepala daerah
terpilih bahkan justru mengangkat pejabat sementara.
Sebuah pertanyaan kemudian muncul, mengapa fenomena tersebut
begitu maraknya ? Apakah tidak ada satu pun mekanisme komunikasi dialogis yang
dapat dibangun untuk mereduksi konflik bahkan hingga mampu menerima secara lapang
dada kekalahan politik sebagai sebuah permainan belaka ?
KOMUNIKASI DAN FAKTOR-FAKTOR KEPRIBADIAN
POLITIK
Peristiwa komunikasi menjadi sesuatu yang terberikan dan
melekat dalam rentang perjalanan kehidupan manusia di dunia. Saat seorang ibu
merasakan gerakan janin dalam rahimnya, saat bayi menangis untuk kali pertama
melihat dunia, menelusuri rentang waktu kanak-kanak, remaja, menjadi dewasa dan
tutup usia, semuanya – tidak dapat tidak – akan diwarnai oleh aktivitas
komunikasi. Melalui komunikasi, sesungguhnya orang tengah menyatakan eksistensi
diri, memupuk suatu hubungan, menemukan kebahagiaan, menjalani proses kehidupan
dan bagian dalam membentuk pemahaman konsepsi diri secara utuh dan
terintegrasi.
Gamble & Gamble (2002) menggambarkan, bahwa setiap
manusia tidak mungkin dapat menghindarkan diri dari komunikasi. Ketika kita
terdiam, menghindarkan diri dari banyak orang – dan kita merasa telah tidak
berkomunikasi – maka sesungguhnya kita telah berkomunikasi dengan orang lain,
dengan menunjukkan diri ketidakhadiran kita dalam situasi komunikasi.
Selanjutnya dalam tindak komuniaksi, kita tidaklah berbicara tentang apa yang
hendak disampaikan melainkan juga terkait dengan hubungan antara pelaku-pelaku
komunikasi. Kesejatian komunikasi tidaklah terbentur pada taburan kata-kata
verbal, melainkan keseluruhan unsur ketubuhan dalam bentuk non-verbal di mana
kesemuanya saling melengkapi dan memperkuat kesemestaan hakikat interaksi
secara menyeluruh.
Mulyana (2007) melakukan identifikasi atas 3 (tiga) sudut
pandang atau cara untuk memahaminya, yakni sebagai aktivitas transmisi,
interaksi dan transaksi informasi. Ketiga perspektif ini boleh dikatakan
sebagai interpretasi longgar atas ragam pemaknaan tentang komunikasi. Namun, kesemuanya merujuk pada suatu hal yang tak terbantahkan, yakni
komunikasi secara hakiki melibatkan interaksi manusia dengan manusia lain.
Proses pembuatan pesan, desain pesan dan pengemasannya serta penelaahan akan
implikasi dari tersampaikannya pesan serta bagaimana dialektika atas pesan yang
dikonstruksi bahkan direkonstruksi adalah sebuah produk manusia
Oleh karenanya, maka sesungguhnya
komunikasi sejatinya merupakan proses yang sistemik di mana manusia saling
berinteraksi satu sama lain dengan dan melalui simbol sebagai suatu informasi
yang didesain dan memiliki makna (Wood, 2004). Meskipun ditelaah dalam
perpsektif yang beragam, namun aktivitas komunikasi senantiasa bersandar pada
dua pilar, manusia dan simbol. Manusia, dalam konteks transmisi, interaksi
maupun transaksi informasi menempatkan diri sebagai subjek, objek dan atau
sekaligus keduanya. Simbol, merupakan ekstensifikasi dari penginderaan dan
pemahaman manusia atas objek untuk kemudian dimaknai sebagai representasi dari
objek yang didiskursuskan.
Cottam, et.al (2004) menegaskan, dalam
ihkwal politik, seseorang tidaklah menjadi pemrosesor informasi yang sempurna
atau juga suatu tabula rasa. Situasi ini menuntut adanya mekanisme psikologi
tertentu untuk memfasilitasi diri dalam melakukan pemrosesan itu sendiri.
Bullock & Stallybrass (1977) menjelaskan bahwa diperlukan suatu proses
psikis yang secara terintegratif memadukan unsur-unsur kemahiran, pengelolaan
dan penggunaan pengetahuan yang lebih akrab dikenal dengan istilah kognisi. Hal
ini sejalan dengan pemikiran Scheerer (dalam Shaw & Costanzo, 1980) di mana
kognisi dibutuhkan untuk menjembatani peristiwa di luar dengan di dalam diri
individu. Dengan kata lain, seseorang akan cenderung berusaha untuk
menterjemahkan informasi untuk kemudian dievaluasinya. Hal ini terjadi karena
dia akan menjadi nyaman bilamana memiliki independensi dalam menyaring
informasi apakah sesuai dengan ide-ide atau nilai yang mereka miliki sehingga
kemudian mereka akan menggunakannya atau sebaliknya. Hal senada juga
diungkapkan oleh Weiner (1986) yang memaparkan bahwa orang memproses informasi
secara naif melalui dugaan-dugaan tertentu mengapa mereka membutuhkannya.
Selain itu, ketika dihadapkan pada
informasi cenderung berlimpah, maka seseorang akan cenderung fokus pada satu
atau sejumlah informasi yang dianggap paling relevan dengan kebutuhannya.
Ottati & Wyer (1990) menggambarkan, bahwa informasi diterima untuk kemudian
disesuaikan diukur untuk kemudian disimpan dalam memori yang setiap saat dapat
digunakan ketika seseorang dalam proses pengambilan keputusan. Di sisi lain,
individu juga mengelaborasi dinamika emosi dan afeksinya. Richard & Gross
(1999) menuturkan bahwa emosi berperan dalam proses penentuan pengambilan
keputusan. Sejalan dengan mereka, Isen (1993) mengungkapkan bahwa afeksi
positif dapat meningkatkan upaya-upaya politik yang damai seperti penyelesaian
masalah, negoisasi dan pengambilan keputusan bersama, Cottam, et.al, (2004)
menjelaskan bahwa aspek-aspek afeksi bekerja dalam pemrosesan informasi dalam
wujud bagaimana peristiwa diintegrasikan dengan pengalaman emosional di masa
lalu dan kedekatan peristiwa dengan produksi
emosi yang dimilikinya. Bentuk-bentuk afeksi politik ditunjukkan dalam bentuk
penggunaan orientasi emosi positif dengan kelompok sebagai mekanisme pemandu
dalam proses partisipasi politik. Secara positif, keterikatan kelompok dapat
memfasilitasi dirinya untuk mendapatkan sesuatu yang tidak dimilikinya ketika
berada di luar kelompok (Byron & Byrne, 2000).
Fenomena di atas memunculkan asumsi
bahwa seseorang dalam memperlakukan informasi tidaklah berlaku unsur
kognitifnya saja melainkan pula dimensi afektif. Pemrosesan informasi dengan
meniadakan unsur kognitif akan menempatkan individu dalam pembentukan sikap
politiknya lebih didominasi oleh preferensi, emosi dan mood belaka dengan mengabaikan set mental dalam organisasi pesan
yang hadir. Sebaliknya, ketika individu lebih menempatkan informasi untuk
dikelola dalam skema-skema asimetrik, maka orang tersebut menafikkan adanya
proses evaluasi dan keterlibatan lingkungan di mana dia banyak melakukan proses
penjangkaran informasi. Pemikiran ini diperkuat oleh Stephan & Stephan
(1993) yang mengungkapkan bahwa manusia dalam menghadapi informasi akan
menggunakan sisten interkoneksi pararel antara kognitif dan afektifnya serta
Cottam, et.al, (2004) yang melihat bahwa untuk memahami politik diperlukan
interaksi kognisi dan emosi di mana wujud interaksi tersebut akrab dikenal
dengan konsepsi sikap.
Dengan kerangka tersebut, maka kita
dapat merujuk pada konsep intoleransi politik yang digagas oleh Sullivan
(1999). Menurutnya, seseorang akan menjadi bersikap toleran atau sebaliknya
disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat individual sekaligus lingkungan di
mana kedua faktor tersebut memainkan peran yang berbeda-beda tiap individunya.
Faktor individual merupakan akumulasi pengalaman kehidupannya yang telah
mengakar dan berperan sebagai penentu arah sikap serta tingkah laku. Lusiana
(2004) menandaskan, bahwa akumulasi yang ada sejatinya adalah predisposisi
kepribadian, pengalaman politik dan cara pandang terhadap dunia. Berangkat dari
kerangka tersebut, jelaskah bahwa dalam mengidentifikasi dan merekonstruksi
pemahaman politiknya terdapat kecenderungan adanya perasaan keterancaman di
dalam dirinya yang membatasi kesediaan untuk melakukan transmisi, transaksi dan
interaksi informasi dengan mereka yang dinilai berbeda secara politik
ideologis. Pengalaman politik yang apolitik selama ini, perspektif dalam
memahami jagad politik yang senantiasa telah dikonstruksi pada satu kebijakan
yang meniadakan perbedaan prinsipal membangun kepribadian yang senantiasa
melihat bahwa perbedaan pandangan adalah sebuah ancaman.
Sedangkan dari persepktif eksternal,
maka Sears, et. al (1985) melihat bahwa informasi politik lebih mudah dipahami
setelah dilakukan kategorisasi atau identifikasi. Selain itu, melalui
identifikasi atas nilai-nilai yang memiliki makna politik signifikan memiliki
kaitan erat dengan derajat partisipasi politiknya. Namun demikian, kategorisasi
dengan penggunaan identifikasi kelompok politik secara ekstrim akan
memungkinkan terjadinya diskriminasi dan kecenderungan untuk memanifestasikan
kesesuaian dirinya dengan kelompok atau informasi politik tertentu semata di
mana proses identifikasi kelompok atau
ideologi tertentu hanya berfungsi sebagai diskriminan pada saat terjadinya
perasaan keterancaman.
REDUKSI KETERANCAMAN & MODAL SOSIAL: SEBUAH SOLUSI
Berangkat dari fenomena secara
psikologis, bahwa komunikasi politik dapat tergagalkan sebagai akibat dari
sikap intoleran, maka solusi dalam mereduksi konflik adalah: Pertama, melakukan pemetaan terhadap
penyebab perasaan keterancaman yang diasumsikan sebagai faktor kepribadian
pemicu komunikasi yang intoleran, apakah ancaman yang dirasakan oleh para
pelaku politik bersifat realistik, simbolik ataukah stereotipe belaka ? Dengan identifikasi
yang jelas, maka desain komunikasi dialogis akan lebih terancang secara cermat,
apakah proses dialektika antara mereka yang berkonflik langsung bicara pada
tataran substansi permasalahan ataukah lebih karena perbedaan cara pandang.
Identifikasi ini menjadi sangat penting sebagai dasar rekonsiliasi pasca
konflik atau preparasi aktivitas politik yang rentan konflik di masa mendatang.
Kedua, membangun sebuah pendidikan
politik sedini mungkin yang berbasis kesetaraan dengan mengedepankan modalitas sosial.
Melalui modalitas sosial, individu akan terbiasa dengan jaringan, kesepahaman
dan saling mempercayai sebagai dasar
partisipasi politik.
Ketika kedua aspek tersebut –
faktor individual dan lingkungan – terintegrasi, maka akan terbangun kesamaan
persepsi di mana politik akan lebih ditafsirkan sebagai kontestasi program
dibandingkan sebuah persinggungan kepentingan apalagi ketersinggungan pribadi.
Pemetaan terhadap perasaan keterancaman dan modalitas sosial hanya dapat
berlangsung ketika setiap individu mampu membangun dialog konstruktif sehingga
pesan/simbol searah dari seseorang/institusi kepada seseorang/banyak
orang/institusi lain dengan asumsi akan terjadi penyesuaian sikap dan perilaku
sebagaimana yang dikehendaki penyampai setelah menerima pesan, berlangsung
umpan balik serta pencapaian tafsir makna yang diusahakan oleh penyampai dan
penerima pesan/simbol secara bersamaan.
DAFTAR PUSTAKA
Baron, R.A & Byrne, D (2000).
Social Psychology 9th Edition. Allyn
& Bacon, Massachuchets
Bullock, A & Stallybrass, O (1977). The harper dictionary of modern thought. Harper
& Row, New York.
Conway,
M. (1991). Political participation in the united states 2nded, Washington
DC, A Division of Congressional Quarterly Inc.
Cottam, M, Uhler, B.D., Mastors, E., Preston, T.
(2004). Introduction to Political Psychology.
Lawrence Erlbaum, London.
Finkel,
S.E., Sigelman, L., & Humphries, S. (1999) Democratic values and political tolerance. Measures of
Social Psychology Attitude, 2, 203-296, San Diego California, Academic Press
Gamble, T.K & Gamble, M (2002). Communication
Work. Mc Graw Hill, New York.
Huntington,
S.P., & Nelson, J.M. (1994). Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Jakarta, Rineka
Cipta.
Lusiana, Y (2004). Model Integrasi Intoleransi
Politik. Tesis Fakultas Psikologi UI, tidak diterbitkan.
Mulyana, D (2007). Ilmu komunikasi: Suatu pengantar, remaja rosdakarya,
Bandung
Ottati, V.C & Wyer, R.S
(1990). The cognition
mediators of political choice.
University of Illinois Press, Illinois.
Putnam,
R.D. (2000). Bowling alone : The collaps and revival of American community, New
York, Simon and Schuster.
Richards, J.M & Gross, J.J. (1999). Composure at any cost ? The cognitive consequent of emotion suppression,
Personality and Social Psychology Bulletin 25.
Sears, D.O, Freedman, J.L, Peplau, L.A (1985). Social psychology 5th edition. Prentice-Hall,
Inc, Englewood Cliffs-New Jersey.
Stephan, W & Stephan C (1993). Cognition and affect in stereotyping:
Pararell interactive networks, Academic, New York.
Sullivan,
J.L., & Transue, J.E. (1999). The psychological underpinning of democracy,
a selective review of research on political tolerance, interpersonal trustand
social capital, Annual Review of Psychology, 50, 625-650.
Verba, S., Scholzman, K.,& Brady, H. (1995). Voice and equality: Civic
voluntarism in American public, Cambridge, Harvard University Press.
Weiner, B (1986). an
attribution theory of motivation and emotion. Springer-Verlag. New York.