Tentang SosioHumanitas Unla

SosioHumanitas Unla merupakan Jurnal Ilmu-ilmu Sosial & Humaniora Universitas Langlangbuana.

Sosiohumanitas berisi karya ilmiah hasil penelitian atau pemikiran berdasarkan kajian literatur yang dimuat dalam bentuk media cetak oleh LPPM Universitas Langlangbuana Bandung.

Materi yang dibahas mencakup masalah dan isu-isu yang aktual mengenai aspek sosial budaya dan kemanusiaan lainnya.

ISSN 1410-9263.

Kondisi Lingkungan dalam Implementasi Kebijakan Rusunawa Cingised Kota Bandung


Oleh:
Diani Indah
Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Langlangbuana Bandung

 
ABSTRAK

Dengan semakin kompleksitasnya permasalahan Pengelolaan Rumah Susun Sederhana Sewa (rusunawa) khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah maka pemerintah dengan berbagai kebijakan telah melakukan terobosan dengan segala upaya untuk memberdayakan masyarakat melalui penguatan kelembagaan Sosial, Ekonomi serta bantuan dalam berbagai aspek kehidupan. Program 1000 tower yang dilakukan oleh Pemerintah merupakan realisasi dari kebijakan pemerintah yang mempunyai tujuan untuk membantu keluarga yang mempunyai keterbatasan ekonomi dalam memperoleh tempat tinggal. Penelitian ini tentang pelaksanaan kebijakan rusunawa oleh Kepala Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang dalam peningkatan program 1000 tower di Kota Bandung. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui metode kualitatif melalui wawancara mendalam, observasi dan kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan pentingnya integrasi dan koordinasi dalam implementasi kebijakan desentralisasi pengelolaan rusunawa. Integrasi antara kebijakan pemerintah pusat dan kebijakan pemerintah daerah saat ini, dan kebijakan pemerintah daerah di masa mendatang penting untuk mengurangi resiko tidak efektifnya pengelolaan rusunawa di daerah. Sedangkan integrasi antara kebijakan pembangunan rusunawa dengan kebijakan pengelolaannya sebelum pembangunan rusunawa penting untuk meningkatkan efektivitas pembangunan rusunawa.

Kata kunci: pengelolaan, rumah susun sederhana sewa, implementasi kebijakan

ABSTRACT

With the growing complexity of management problems Simple Flats Rent particularly for low-income communities, the government and the various policies have made a breakthrough with every effort to empower communities through strengthening of social and economic institution, as well as providing assistance in various aspects of life. A 1000 tower program undertaken by the Government is the realization of government policy whose objective was to help families with economic limitations in obtaining residence. This study on the implementation of the policy on simple flats rent by the Head of Human Settlements and Spatial Planning in the 1000 tower program in the city of Bandung. Data collection techniques performed through qualitative method through in-depth interviews, observation and questionnaires. The results showed the importance of integration and coordination in the implementation of the decentralization policy on simple flat management. Integration between the policies of the central government and local government policy at this time, and the government policy in the future is important to reduce the risk of ineffective management of public housing in the area. While the integration between development policy on simple flat with management prior to the construction of public housing policies important to improve the effectiveness of public housing construction.

Keywords: management, modest apartment rental, policy implementation




PENDAHULUAN
Menurut Cheema and Rondinelli, (1983), kondisi lingkungan (environment conditions) meliputi:
§  Physical Infrastructure.
§  Spacial and Physical requirement.
§  Social, economic, and political setting from which policies emerge; A nation’s structure politic;
§  Characteristic of local power structures; dominant position to the rural elite/traditional local elites, paternalisctic.
§  Social and cultural characteristic of groups of involved in policymaking and administration; Traditional cultural and behavioral characteristic.

Dalam pandangan Cheema dan Rondinelli (1983) tersebut, kondisi lingkungan yang dimaksudkan dapat dilihat dari dua aspek yaitu fisik dan non fisik. Dari aspek fisik meliputi kondisi keberadaan infrastruktur atau fasilitas publik dan keadaan geografis kewilayahan, sedangkan aspek nonfisik meliputi kondisi sosial, ekonomi dan politik. Di dalam aspek non fisik terdapat aspek struktur politik dan supra struktur politik di tingkat lokal yang meliputi antara lain, sosial budaya, berbagai organisasi kepentingan, dan partisipasi masyarakat. Selanjutnya, struktur politik nasional, ideologi, dan proses-proses yang digunakan dalam perumusan kebijakan, semuanya mempengaruhi arah dan kecepatan implementasi. Selain itu, karakteristik struktur lokal, kelompok-kelompok sosial budaya yang terlibat dalam perumusan kebijakan, organisasi kepentingan dan kondisi infrastruktur juga berperan penting.
Kondisi lingkungan sosial-ekonomi dan politik yang khusus dan kompleks akan melahirkan suatu kebijakan yang tidak hanya akan mewarnai substansi kebijakan itu sendiri, melainkan juga pola-pola hubungan inter-organisasi dan karakteristik badan-badan pelaksana di lapangan, serta berpengaruh terhadap ketersediaan jumlah dan jenis sumber daya yang diperlukan untuk pelaksanaannya.
Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di sekitar suatu objek. Lingkungan terbagi menjadi lingkungan internal dan lingkungan eksternal. Lingkungan internal misalnya, sumber daya manusia, pendanaan, peraturan dalam organisasi, infrastruktur organisasi, struktur organisasi dan tugas pokok dan fungsi setiap jabatan dalam organisasi. Sedang lingkungan eksternal adalah masyarakat umum, keadaan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, kompetitor dan bencana alam. Dengan demikian, kondisi lingkungan internal di rusunawa adalah para pengelola rusunawa atau pegawai  Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung, khususnya bidang perumahan, penghuni rusunawa, pendanaan rusunawa, peraturan walikota tentang petunjuk teknis pengelolaan rusunawa, struktur organisasi dinas tata ruang dan cipta karya Kota Bandung. Kemudian, lingkungan eksternalnya adalah kondisi politik yang berkaitan dengan rusunawa di Cingised, kondisi ekonomi masyarakat terutama masyarakat berpenghasilan rendah, kondisi sosial di sekitar rusunawa Cingised, kondisi budaya masyarakat disekitar rusunawa Cingised, kondisi keamanan termasuk dari bencana alam banjir yang sering terjadi di daerah Cingised.
Kondisi Lingkungan yang kondusif terhadap implementasi kebijakan pengelolaan rusunawa sewa di Kota Bandung, meliputi proses pembuatan keputusan daerah, faktor-faktor sosial budaya dan ketersediaan infrastruktur fisik yang menunjang program perumahan rusunawa. Menurut hasil wawancara dengan salah satu penghuni[1], kondisi lingkungan sesama penghuni dan masyarakat cukup baik. Kondisi budaya masyarakat justru sangat mendukung dengan keberadaan rusunawa yang sudah terbangun. Dengan terbangunnya rusunawa diharapkan masyarakat dapat menempati rusunawa.[2] Tetapi dari hasil pengamatan lapangan terlihat bahwa bangunan  rusunawa belum seluruhnya bisa dimanfaatkan secara maksimal bagi masyarakat/warga yang berpenghasilan menengah kebawah  untuk menikmati hunian vertikal yang terjangkau, Selain kultur warga yang belum terbiasa dengan hunian vertikal. Selain itu, kondisi ekonomi masyarakat masih banyak yang belum mampu untuk memiliki rumah. Partisipasi Stakeholder di Kota Bandung belum memahami sesungguhnya apa yang diinginkan oleh masyarakat terutama mereka yang sudah tinggal di rusunawa.
Kondisi politik yang berlaku belum mendukung sepenuhnya akan keberadaan rusunawa. Kondisi politik di sini adalah segala hal yang berkaitan dengan proses pengambilan keputusan oleh elite politik di Kota Bandung, dan struktur kekuasaan daerah. Dari hasil wawancara dengan kepala bidang perumahan Cingised[3], bahwa proses pembuatan keputusan dalam mengimplementasikan keberadaan rusunawa, hanya sepihak di kalangan elite politik dengan tidak berkoordinasi dengan pihak pengelola ataupun masyarakat sebagai pelaksana program. Struktur kekuasaan daerah sebenarnya cukup baik hanya perlu pembinaan dan pengimplementasian di lapangan yang perlu tanggung jawab dan konsisten dalam kerjanya.
Faktor lingkungan yang terdiri atas struktur dan gaya politik, karakteristik struktur kekuasaan daerah, keterbatasan sumber daya, dan akses pada infrastruktur fisik sangat mempengaruhi suksesnya implementasi kebijakan desentralisasi. Implementasi kebijakan desentralisasi mempunyai dua dimensi: administrasi dan politik. Keduanya membentuk sistem lingkungan yang kompleks dan tali temali. Pembuatan keputusan, proses dan prosedur kerja, teknik melakukan kerja, dan manajemen pelaksanaan berpadu dengan budaya, kepentingan politik aspirasi kelompok dan komunikasi desa, lembaga politik, dan lembaga swadaya masyarakat (Cheema dan Rondinelli, 1983).
Dalam the enviromental context tercakup berbagai faktor seperti struktur politik nasional, proses perumusan kebijakan, infrastruktur politik, dan suprastruktur politik di tingkat lokal, sosial budaya, berbagai kelompok kepentingan serta tersedianya sarana dan prasarana fisik. Di banyak negara berkembang, implementasi kebijakan desentralisasi terhambat karena gaya dan struktur politik lokal, karakteristik struktur kekuasaan lokal, keterbatasan sumber daya dan akses pada infrastruktur fisik.
Dalam pengelolaan pelayanan hunian bagi masyarakat perkotaan melalui pemanfaatan rumah susun sederhana sewa diperlukan pengaturan dan perlindungan hukum bagi pihak-pihak terkait. Penerbitan produk hukum diperlukan untuk mendukung terwujudnya tujuan pembangunan dan pemanfaatan rumah susun sederhana sewa.Berdasarkan kaidah penyediaan produk hukum, pengelolaan rumah susun sederhana sewa di Kota Bandung masih terbatas berupa Peraturan Walikota Bandung No. 413 Tahun 2010 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Unit Pelaksana Teknis pada Lembaga Teknis Daerah dan Dinas Daerah di Lingkungan Pemerintah Kota Bandung, yaitu Pasal 10, tentang UPT Pengelolaan Rumah Susun Sederhana Sewa  sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) pada Dinas Tata Ruang dan Ciptakarya. Hal ini diduga disesuaikan dengan jumlah aset yang sudah diserahkan ke Pemda Kota Bandung, yaitu 2 aset dari 5 aset rumah susun sederhana sewa yang telah dibangun dan difungsikan. Sebagaimana Pedoman Pembentukan Kelembagaan Rumah Susun Sewa Sederhana (Rusunawa) oleh Dinas Tata Ruang dan Permukiman Pemerintah Propinsi Jawa Barat, produk hukum tentang pengelolaan rusunawa cukup diterbitkan berupa Peraturan Walikota/Bupati jika:
a)    Rusunawa yang telah dan atau akan selesai dibangun dengan kapasitas hunian terbatas (≤ 2 twin block) serta harus segera dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal bagi masyarakat;
b)   Pembangunan dan pengelolaan rusunawa tidak termasuk dalam perencanaan strategis (renstra) bidang perumahan dan permukiman di daerah atau termasuk dalam renstra tetapi dengan kapasitas hunian terbatas.

Mengkaji Peraturan Walikota Bandung No. 413 Tahun 2010 yang dimaksud, tampak bahwa peraturan yang saat ini ada masih terbatas mengatur kelembagaan pengelolaan rumah susun dan belum mengatur hal-hal lain yang diperlukan, yaitu: objek pengaturan rumah susun, penghunian rumah susun, keuangan pengelolaan rumah susun, hak dan kewajiban, serta larangan dan sanksi (sebagaimana merujuk kepada Pedoman Pembentukan Kelembagaan Rumah Susun Sewa Sederhana). Kurang memadainya Peraturan Walikota Bandung No. 413 Tahun 2010 dapat berekses kepada: ketidak-tepatan sasaran penghunian rumah susun, yaitu masyarakat berpenghasilan rendah, ketidak-sesuaian penghunian rumah susun sesuai persyaratan, dan ketidak-merataan penghunian rumah susun (berkaitan dengan penghunian rumah susun). Demikian juga ketidak-jelasan pengusahaan pengelolaan yang dapat berekses pada tidak tercapainya surplus; ketidak-jelasan pembiayaan, baik untuk pengelolaan, rehabilitasi, dan reinvestasi rumah susun dari APBD yang berekses pada menurunnya kualitas aset; serta ketidak-jelasan nilai sewa rumah susun yang dapat berekses pada tidak sesuainya sasaran pengusahaan dengan kebutuhan biaya pengelolaan rumah susun; dan ketidak-adilan dan ketidak-wajaran nilai sewa (berkaitan dengan keuangan pengelolaan rumah susun). Selain itu juga tidak seimbangnya hak dan kewajiban masing-masing pihak yang berkepentingan serta tingginya penyalah-gunaan rumah susun akibat tidak jelasnya larangan dan sanksi (berkaitan dengan larangan dan sanksi).
Berkaitan dengan masih adanya aset yang belum diserahkan pengelolaannya kepada Pemda, demikian juga masih lemahnya produk hukum yang ada saat ini, maka produk hukum yang segera perlu ditetapkan dan diberlakukan adalah Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Rumah Susun Sederhana Sewa. Jika Pemerintah Daerah Kota Bandung juga tertarik dalam Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) dari APBD, maka Perda yang diperlukan dapat diperluas menjadi Peraturan Daerah tentang Pembangunan dan Pengelolaan Rumah Susun Sederhana Sewa.
Belumadanya Peraturan Daerah tentang Pembangunan dan Pengelolaan Rumah Susun Sederhana Sewa turut berekses pada tidak terjaminnya kejelasan hukum atas rencana dan operasionalisasi pengelolaan rumah susun sederhana sewa oleh UPT Pengelolaan Rumah Susun Sederhana Sewa. Walaupun UPT Pengelolaan Rumah Susun Sederhana Sewa telah berinisiatif untuk menerbitkan rencana dan pedoman teknis operasional pengelolaan rumah susun sederhana sewa secara mandiri, namun hal ini dinilai belum memadai. Baik dalam menjamin kepastian hukum yang mengatur objek pengaturan rumah susun, penghunian rumah susun, keuangan pengelolaan rumah susun, hak dan kewajiban penyewa dan pengelola, serta larangan dan sanksi.
Peran UPT Pengelolaan Rumah Susun Sederhana Sewa dalam pelaksanaan operasional pengelolaan rumah susun sederhana sewa, sebagaimana tercantum dan rincian tugas UPT Pengelolaan Rumah Susun Sederhana Sewa dalam stuktur organisasi Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung masih terbatas pada memberikan arahan teknis kepada masyarakat mengenai tata ruang dan bangunan sesuai dengan izin yang telah ditetapkan. Ketatausahaan pengelolaan rumah susun sederhana sewa masih terbatas pada menginvetarisir dan menghimpun data bangunan rumah susun serta melaksanakan pengelolaan administrasi yang berkaitan dengan pengawasan tata ruang dan bangunan. Demikian juga prosedur pengawasan, pengendalian, evaluasi dan pelaporan kegiatan pengelolaan rumah susun sederhana sewa juga masih belum diatur dengan jelas.
Khusus yang terkait dengan implementasi kebijakan desentralisasi, Cheema dan Rondinelli (1983), menyatakan bahwa:“… four sets of factorsthat seem influence the implementation of decentralization policies in developing countries that follow: environment conditions, interorganizational relationship, resources for policy an program implementation, characteristics of implementing agencies”.
Dalam pandangan Cheema dan Rondinelli, implementasi kebijakan desentralisasi khususnya di negera-negera berkembang dipengaruhi empat variabel yang saling berkaitan, yaitu: (1) kondisi lingkungan, (2) hubungan antar-organisasi, (3) sumber daya untuk implementasi kebijakan dan program, dan (4) karakteristik agen pelaksana kebijakan.
Adanya ketidakjelasan pelaksanaan desentralisasi juga menunjukkan kurangnya dukungan politik dalam pengelolaan rusunawa yang disebabkan oleh faktor egosektoral antar lembaga dan pemerintahan, baik di pusat (Kemenpera) maupun di daerah (Pemerintah dan DPRD Kota Bandung). Hal ini berakibat pada tidak adanya peraturan yang mengatur pengelolaan rusunawa di Kota Bandung, sehingga berimbas kepada belum efektifnya implementasi pengelolaan rusunawa. Hal ini didukung pendapat informan[4] sebagai berikut: “bahwa sungguh disayangkan bangunan-bangunan rusunawa ini menjadi terbengkalai hanya karena belum adanya aturan pemerintah Kota Bandung tentang pengelolaan rusunawa ini, padahal masyarakat sangat mendukung dengan adanya rusunawa”.
Diperlukan dukungan politik yang lebih besar dari pembuat dan pelaksana kebijakan di Kota Bandung untuk mempercepat penyusunan dan penetapan produk hukum pembangunan dan atau pengelolaan rusunawa di Kota Bandung, baik Perwal yang khusus tentang itu (tidak hanya Perwal saat ini yang hanya memuat tentang kelembagaan pengelolaan rusunawa) maupun Perda tentang pembangunan dan/atau pengelolaan rusunawa. Selain itu juga diperlukan peningkatan koordinasi antarorganisasi kelembagaan dari pemerintah pusat (Kemenpera), pemerintah Provinsi Jawa Barat, danpemerintah Kota Bandung, baik dalam kaitannya dengan pengembangan kebijakan maupun implementasi kebijakan pembangunan dan/atau pengelolaan rumah susun sederhana.
Sedangkan hasil wawancara dengan Kepala UPT Pengelola Rusunawa Kota Bandung,[5] bahwa: “Ketersediaan infrastruktur fisik masih banyak yang memprihatinkan. Banyak bangunan rusunawa yang terbengkalai. Selain menimbulkan kesan kumuh, kondisi rusunawa yang semrawut juga berpotensi untuk melakukan aksi kriminalitas[6]. Demikian juga hasil wawancara dengan penghuni/Satpam rusunawa Cingised, bahwa: “kondisi lingkungan di rusunawa Cingised dalam adalah semrawut dan dari pihak pemerintah daerah belum pernah ada yang datang untuk berkomunikasi dengan para penghuni rusunawa[7]. Sedangkan dari hasil pengamatan di rusunawa Cingised, memperlihatkan bahwa bangunan yang sudah ada sejak Tahun 2008 – 2009, sampai saat ini belum terisi sehingga menyebabkan bangunan rusunawa tidak terawat, padahal banyak masyarakat yang ingin menempati bangunan tersebut. Sementara bangunan yang sudah terbangun belum ada yang menempati tetapi di lain pihak pemerintah sudah membangun lagi 2 twin blok di sebelah belakang dari bangunan yang sudah ada.
Efek dari masih rendahnya dukungan politik ini menyebabkan pengelolaan rusunawa tidak berjalan dengan baik dan berekses pada menurunnya kualitas lingkungan fisik rusunawa. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa semua rusunawa yang ada di Kota Bandung yaitu Rusunawa: Cingised, Sadang Serang, Industri Dalam, dan Rancasili, kondisi lingkungan fisiknya masih jauh dari sempurna, atau tidak terawat.
Kenyataan yang terungkap di lapangan menunjukkan bahwa belum efektifnya implementasi pengelolaan rusunawa yang berada di bawah Permenpera No. 14 Tahun 2007 juga dikondisikan oleh rendahnya dukungan lingkungan. Implementasi kebijakan publik adalah aktivitas dari administrasi publik, yakni salah satu proses kegiatan yang dilakukan oleh unit-unit administratif atau unit-unit birokratik. Pada berbagai tingkat pemerintahan baik bersifat vertikal maupun horizontal dalam proses kebijakan publik. Di mana proses kebijakan publik dapat dikelompokkan ke dalam tiga fungsi, yaitu: ”perumusan kebijakan publik, implementasi kebijakan publik, pengawasan dan evaluasi (hasil) kebijakan publik”.
Berdasarkan pandangan tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa proses implementasi kebijakan sesungguhnya tidak hanya menyangkut perilaku badan-badan administratif yang bertanggung jawab dalam pengelolaan rusunawa untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran (target group), melainkan pula menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan dan pengguna rusunawa dan pada akhirnya berpengaruh terhadap dampak baik yang diharapkan (intended) maupun yang tidak diharapkan (unintended negative effects).
Sebaliknya keseluruhan proses implementasi kebijakan dapat dievaluasi dengan cara mengukur atau membandingkan antara hasil akhir dan program-program tersebut dengan tujuan-tujuan kebijakan.
Dari penjelasan di atas telah dikemukakan bahwa proses implementasi kebijakan pengelolaan rusunawa sejalan dengan pandangan Van Meter dan Van Horn yang mengemukakan keterhubungan berbagai variabel dan faktor yang mempengaruhi kebijakan publik, yakni aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi, karakteristik agen pelaksana, kondisi ekonomi, sosial dan politik, kecenderungan (disposition)/pelaksana (implementors). Pendekatan ini dianggap lebih kondusif di dalam memahami kompleksitas persoalan implementasi yang seringkali terjadi di dalam kegiatan dan aktifitas implementasi kebijakan publik, khususnya di area rusunawa Cingised.
Edwards III (1980) mengemukakan bahwa ada tiga indikator yang dapat digunakan dalam mengukur keberhasilan variabel komunikasi,  ketiga indikator tersebut adalah: (1) Transmission. Distribution of good communication will be able to produce a good implementation too. Often there are problems in the distribution of communications that is a misunderstanding (miscommuni- cation) caused many levels of bureaucracy that must be passed in the communication process, so that what is expected to be distorted in the middle of the road; (2) Clarity. Communications received by the policy implementers (street-level-bureaucrats) must be clear and not confusing or ambiguous /ambivalent; (3) Consistency. Commands given in the implementation of a communication should be consistent and clear to set or run. If the command is given frequent changes, it can cause confusion for implementers in the field.
Ketiga indikator tersebut saling berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain.  Sejatinya, penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Tetapi, implementasi yang baik tidak terlepas dari kejelasan komunikasi yang disampaikan atau diterima oleh pelaksana kebijakan tersebut. Kejelasan informasi dan komunikasi belumlah memadai bila komunikasi tidak konsisten untuk ditetapkan atau dijalankan.
Pada kategori komunikasi misalnya dijelaskan bahwa prospek-prospek tentang implementasi yang efektif ditentukan oleh kebijakan dan kejelasan ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan yang dinyatakan dan oleh ketepatan dari konsistensi dalam mengkomunikasikan ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan. Di rusunawa Cingised, karena komunikasi yang ada tidak efektif menyebabkan belum adanya kejelasan peraturan untuk mengatur rusunawa Cingised. Hal ini didukung oleh hasil wawancara kepala UPT Cingised yang mengatakan bahwa “ketidakjelasan aturan membingungkan para pelaksana yang ada di lapangan untuk menertibkan penghuni dan untuk menarik uang sewa. Tidak terjalinnya Komunikasi antara pelaksana UPT dengan pihak eksekutif dan legislatif Kota Bandung kurang harmonis”.14
Sedangkan pada kategori karakteristik agen pelaksana Van Meter dan Van Horn (1975) mengetengahkan beberapa unsur yang mungkin berpengaruh terhadap suatu organisasi dalam mengimplementasi- kan kebijakan, (1) kompetensi dan ukuran staf suatu badan, (2) tingkat pengawasan hierarkis terhadap keputusan-keputusan sub unit dan proses-proses dalam badan-badan pelaksana, (3) sumber-sumber politik suatu organisasi, (3) tingkat komunikasi terbuka, dan (4) kaitan formal dan informal suatu badan dengan pembuat keputusan atau pelaksana keputusan.
Variabel ketiga yang mempengaruhi terhadap implementasi kebijakan adalah kondisi-kondisi sosial, ekonomi, sosial dan politik, dampak dari faktor-faktor ini akan mempengaruhi terhadap pencapaian badan-badan pelaksana.Sedangkan pada variabel ke empat kecenderungan pelaksana, ada 3 unsur tanggapan pelaksana yang mungkin mempengaruhi kemampuan untuk melaksanakan kebijakan, yaitu kognisi (komprehensi, pemahaman), macam tanggapan (penerimaan, penolakan) dan intensitas tanggapan itu.

PENUTUP
Kebijakan pengelolaan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) di Kota Bandung belum di implementasi- kan secara efektif. Tingkat pemanfaatan rusunawa oleh kelompok sasaran masih rendah, rusunawa banyak ditempati oleh masyarakat yang bukan kelompok sasaran. Di lain pihak, kelompok sasaran yang telah menempati banyak yang mengalihkan haknya kepada orang lain yang bukan kelompok sasaran. Tidak efektifnya implementasi kebijakan pengelolaan rusunawa disebabkan belum memadai- nya faktor kondisi lingkungan, hubungan antar organisasi, keter- sediaan sumberdaya, dan karakteristik instansi pelaksana.
Kondisi lingkungan ekonomi, sosial, budaya dan ketahanan masyarakat mendukung pelaksanaan kebijakan akan tetapi kondisi lingkungan politik tidak mendukung. Dukungan Pemerintahdan DPRD Kota Bandung untuk menetapkan kebijakan penjelasan yang diperlukan dalam implementasi kebijakan desentralisasi pengelolaan rusunawa belum memadai, demikian pula pendampingan dari Kemenpera mewakili pemerintah pusat. Kebijakan penjelas yang ada baru berupa Peraturan Walikota tentang keberadaan Unit Pelaksana Teknis Pengelolaan Rusunawa di bawah Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya dalam SOTK, yang belum memadai untuk mengatur pengelolaan rusunawa secara teknis. Belum adanya peraturan daerah tentang pembangunan dan pengelolaan rusunawa juga mengakibatkan tertundanya serah terima pengelolaan blok-blok susulan yang sudah dibangun dari pemerintah pusat ke Pemerintah Kota Bandung.
Hubungan antar lembaga dalam implementasi kebijakan belum terjalin dengan baik terutama dalam hal komunikasi yang disebabkan oleh kepentingan egosektoral, sebagaimana ditandai oleh belum adanya serah terima pengelolaan rusunawa dari Kemenpera ke Pemerintah Kota Bandung secara resmi. Ketersediaan sumberdaya pelaksanaan program, baik dari segi ketersediaan dan ketepatan penggunaan anggaran, belum mendukung pelaksanaan kebijakan pelaksanaan rusunawa, karena belum ada serah terima aset tetap. Terkecuali Rusunawa Cingised blok I dan blok II baru serah terima aset pada tahun 2012, padahal bangunan sudah ada sejak tahun 2008. Sedangkan dari segi karakteristik agen pelaksana, ketersediaan personil yang memiliki kemampuan khusus menangani permasalahan di bidang pengelolaan unit pengelolaan teknis (UPT) masih kurang, sehingga kebijakan dilaksanakan secara tradisional mengikuti apa yang dilakukan sebelumnya, serta belum adanya biaya sosialisasi ke penghuni rusunawa.


DAFTAR PUSTAKA

Cheema, G. S. Dan Rondinelli, D.A. (Eds.) (1983). Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing Countries, Beverly Hills. Sage Publications.

Edward III, G. C. (1980). Implementing Public Policy. USA: Congressional  Quarterly Inc.

Reita C.T. (2010). Implementasi Kebijakan Rumah Susun Sederhana Sewa di Provinsi DKI Jakarta. Disertasi. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.

Van Meter D. S dan Van Horn, K. (1975). The Policy Implemen- tation Proces: a Conceptual  Framework. Administration and Society, 6 : 445-4

  



[1] Hasil wawancara dengan salah seorang penghuni, tanggal 15 September 2013
[2] Hasil wawancara dengan staf pengelola UPT Pengelola rusunawa Cingised, tanggal 12 januari 2013
[3] Hasil wawancara dengan ketua bidang perumahan, tanggal 12 januari 2013
[4]Hasil wawancara dengan salah seorang anggota Dewan di Kota Bandung, tanggal 11 Januari 2014
[5] Hasil wawancara dengan kepala UPT pengelola Rusunawa Kota Bandung. tanggal 15 Juni 21012
[6] Hasil wawancara dengan  Kepala UPTPengelola Rusunawa Kota Bandung, 15 Juni 2012.
[7] Hasil wawancara dengan penghuni/satpam rusunawa indal, tanggal 14 Maret 2013