Tentang SosioHumanitas Unla

SosioHumanitas Unla merupakan Jurnal Ilmu-ilmu Sosial & Humaniora Universitas Langlangbuana.

Sosiohumanitas berisi karya ilmiah hasil penelitian atau pemikiran berdasarkan kajian literatur yang dimuat dalam bentuk media cetak oleh LPPM Universitas Langlangbuana Bandung.

Materi yang dibahas mencakup masalah dan isu-isu yang aktual mengenai aspek sosial budaya dan kemanusiaan lainnya.

ISSN 1410-9263.

Peranan Pengukuran Indikator Kinerja Utama (Key Performance Indicator) pada Instansi Pemerintah


Oleh:
Arnia Fajarwati
Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Langlangbuana Bandung

 
ABSTRAK

Pada saat ini organisasi publik sedang menghadapi tantangan besar dengan adanya kebijakan otonomi daerah. Organisasi publik semakin dituntut untuk memberikan pelayanan secara profesional, walaupun orientasi organisasi publik tetap non-profit. Oleh karena itu organisasi publik harus memperhatikan pentingnya peranan pengukuran kinerja, sebagai sarana untuk memantau pekerjaan aparat pemerintah. Pengukuran kinerja organisasi publik merupakan suatu alat perencanaan dan sistem pengendalian manajemen yang bertujuan untuk membantu manajer publik menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan non finansial. Alat ukur untuk mengukur kinerja ini disebut sebagai Indikator Kinerja Utama. Pengukuran kinerja sektor publik dilakukan untuk memenuhi tiga maksud, yaitu untuk memperbaiki kinerja pemerintah sehingga dapat fokus pada tujuan dan sasaran program unit kerja; untuk pengalokasian sumber daya dan pembuatan keputusan dan untuk mewujudkan pertanggungjawaban publik serta memperbaiki komunikasi pelanggan.

Kata kunci: Indikator Kinerja Utama, Instansi Pemerintah


ABSTRACT

At the moment public organizations are facing a huge challenge to the policy of regional autonomy. Public organizations increasingly required to provide services in a professional, although the orientation of public organizations remain non-profit. Therefore, public organizations should pay attention to the important role of performance measurement, as a means to monitor the work of government officials. Performance measurement of public organizations is a planning tool management and controlling system that aims to help public managers assess the achievement of a strategy by means of financial and non-financial measurement. Measuring tool for measuring the performance of these so-called Key Performance Indicators. Public sector performance measurement is done to fulfill three purposes, namely to improve the performance of the government so that it can focus on the goals and targets of the program of work units; for allocation of resources and decision-making and to create public accountability and improve customer communications.

Keywords: Key Performance Indicators, Government Agencies


PENDAHULUAN
Tuntutan terhadap penyelenggaraan good governance  di Indonesia dirasakan semakin kuat seiring dengan perjalanan reformasi yang digulirkan sejak tahun 1998. Tuntutan tersebut tidak hanya muncul di tingkat pemerintah pusat saja tetapi juga di kalangan pemerintah daerah, yang dikenal dengan istilah good local governance. Pelaku dari good governance dan juga good local governance tidak hanya tertuju kepada aktor regulator saja yaitu pemerintah tetapi juga melibatkan peranan dari pelaku sektor swasta dan peran serta masyarakat.
Dalam kerangka pembangunan good governance baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah tersebut, kebijakan umum pemerintah adalah ingin menjalankan pemerintahan yang berorientasi pada hasil (result oriented government). Orientasi pada input, terutama uang, seperti selama ini dijalankan, hendak ditinggalkan. Pemerintahan yang berorientasi pada hasil pertama-tama akan fokus pada kemaslahatan bagi masyarakat, berupa upaya untuk menghasilkan output dan outcome yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Output merupakan hasil langsung dari program-program atau kegiatan yang dijalankan pemerintah dan dapat berwujud sarana, barang, dan jasa pelayanan kepada masyarakat, sedang outcome adalah berfungsinya sarana, barang dan jasa tersebut sehingga memberikan manfaat bagi masyarakat. Output dan outcome inilah yang selayaknya dipandang sebagai kinerja, bukan kemampuan menyerap anggaran seperti persepsi yang ada selarna ini. Namun demikian uang tetap merupakan faktor penting untuk mencapai kinerja tertentu baik berupa output maupun outcome. Money follows function, bukan sebaliknya.
Upaya untuk mengukur keberhasilan pemerintah supaya dapat melayani dan memenuhi  kebutuhan masyarakat yang berorientasi pada hasil tersebut, adalah dengan penerapan konsep manajemen kinerja. Dalam melaksanakan manajemen kinerja ini diperlukan Indikator Kinerja Utama (IKU) yang dapat terukur secara kuantitatif dan jelas batas waktunya.  IKU inilah yang dapat menilai kinerja pemerintah secara internal maupun eksternal yang sudah berbasiskan pada RPJM. Secara rinci IKU merupakan standar kinerja yang sangat berguna untuk menilai kuantitas, kualitas dan efisiensi pelayanan. Selain itu dapat memotivasi para birokrat pelaksana, melakukan penyesuaian anggaran, mendorong pemerintah agar lebih memperhatikan kebutuhan masyarakat yang dilayani dan memberikan arah dalam pelayanan publik. IKU tentu saja juga berfungsi sebagai pedoman dalam perencanaan jangka menengah dan tahunan, penyusunan dokumen penetapan kerja, pelaporan akuntabilitas kinerja, evaluasi kinerja instansi pemerintah, dan pemantauan dan pengendalian kinerja pelaksanaan program dan kegiatan. IKU juga memegang peranan penting dalam mengelola Sumber Daya Manusia (SDM), karena standar kinerja merupakan suatu cara mengukur  kontribusi-kontribusi dari individu-individu anggota organisasi kepada organisasinya.


PENGERTIAN INDIKATOR KINERJA
Sebagian besar organisasi publik telah menyadari kebutuhan akan pengukuran kinerja dalam instansinya (‘bottom-line’ performance). Namun pengukuran tersebut masih dilakukan dengan menggunakan sistem tradisional, yaitu pengukuran pencapaian finansial yang didasarkan pada pelaporan keuangan.Padahal, menurut Mulyadi dan Setyawan (1999), ukuran keuangan tidak dapat menggambarkan kondisi riil perusahaan di masa lalu dan tidak mampu menjadi pedoman bagi suatu organisasi kearah yang lebih baik, serta hanya berorientasi jangka pendek. Jadi, sistem pengukuran kinerja finansial organisasi publik ini lebih dirancang untuk memenuhi kebutuhan shareholders, daripada untuk menyediakan informasi dalam membantu pengelolaan suatu organisasi.
Kinerja merujuk pada hasil yang dapat diselesaikan oleh seorang karyawan dalam periode waktu tertentu. Kinerja juga merujuk pada perilaku karyawan dalam bekerja. Hersey dan Blanchard (1993) mendefinisikan kinerja sebagai suatu fungsi dari motivasi dan kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaannya. Kinerja adalah hasil seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu di dalam melaksanakan tugas, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama (Rivai dan Basri, 2004). Sejalan dengan definisi-definisi sebelumnya, Robbins (1997) menggambarkan kinerja sebagai fungsi interaksi antara kemampuan (ability), motivasi (motivation) dan kesempatan (opportunity).
Kinerja seorang karyawan merupakan hal yang bersifat individual karena setiap karyawan mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda dalam melaksanakan tugasnya. Keberhasilan kinerja seseorang diukur dari sejauhmana ia dapat mencapai tujuan yang ditetapkan baginya. Ikopin (2008) juga menyatakan bahwa pengukuran kinerja karyawan identik dengan apakah karyawan mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Artinya, karyawan memiliki tanggung jawab, mampu melaksanakan pekerjaannya tepat waktu dan dapat mencapai target yang telah ditentukan.
Model penilaian kinerja yang dicontohkan oleh Gary Dessler (2009) meliputi indikator sebagai berikut :
1.      Kualitas Kerja adalah akuransi, ketelitian, dan bisa diterima atas  pekerjaanyang dilakukan.
2.      Produktivitas adalah kuantitas dan efesiensi kerja yang dihasilkan dalam  periode waktu tertentu.
3.      Pengetahuan pekerjaan adalah keterampilan dan informasi praktis /teknis yang digunakan oleh pekerjaan.
4.      Bisa diandalkan adalah sejauh- mana seorang karyawan bisa diandalkan atas penyelesaian dan tindak lanjut tugas.
5.      Kehadiran adalah sejauhmana karyawan tepat waktu, mengamati periode waktu istirahat/makan  yang ditentukan dan catatan kehadiran secara keseluruhan.
6.      Kemandirian adalah sejauhmana pekerjaan yang dilakukan dengan atau tanpa pengawasan.

PENERAPAN INDIKATOR KINERJA PADA INSTANSI PEMERINTAH
Penyusunan Indikator Kinerja Utama (Key Performance Indicators) atau disebut juga sebagai Indikator Kinerja Kunci sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) yaitu suatu system untuk upaya membangun sistem manajemen pemerintahan yang transparan, partisipatif, akuntabel dan berorientasi pada hasil, yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat, kualitas pelayanan publik dan daya saing daerah.
Hal ini sejalan dengan pelaksanaan Inpres Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah yang menyatakan bahwa asas-asas umum penyelenggaraan negara meliputi kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas dan profesionalitas serta akuntabilitas.
Telah ditegaskan pula dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa terdapat sejumlah asas penyelenggaran pemerintahan daerah, di mana salah satu asasnya adalah asas akuntabilitas. Dengan demikian pemerintah daerah dan DPRD sebagai penyelenggara pemerintahan  daerah dalam tugas dan fungsinya wajib menerapkan asas akuntabilitas tersebut. Tetapi pada kenyataannya makna dari penerapan asas akuntabilitas sepertinya masih belum terlaksana dengan baik, hal ini dapat dilihat dari belum terpenuhinya keinginan dan kebutuhan masyarakat akan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah.
Sehubungan dengan pernyataan di atas di pandang perlu untuk penyusunan Indikator Kinerja Utama bagi tiap-tiap tingkatan pemerintahan,  yang merupakan upaya untuk menunjukkan arah dan dimensi kebijakan pembangunan di lingkungan pemerintahan. 
Di sisi lain dalam rangka meningkatkan akuntabilitas kinerja maka setiap instansi pemerintah saat ini dituntut untuk menetapkan indikator kinerja utama di lingkungan instansi masing-masing. Tuntutan demikian sangat beralasan karena seringkali terjadi ketidakselarasan dalam penetapan indikator kinerja sehingga menyebabkan  hasil yang disajikan tidak sesuai dengan perencanaan instansi dengan instansi atasannya bahkan dengan perencanaan nasional.  Oleh karena itu indikator kinerja utama merupakan suatuukuran yang sangat penting dalam pencapaian kinerja instansi pemerintah. Di lingkungan instansi pemerintah, indikator kinerja utama dapat digunakan untuk beragam kepentingan, yaitu:
1.      Perencanaan jangka menengah.
2.      Perencanaan tahunan.
3.      Penyusunan dokumen penetapan kinerja.
4.      Pelaporan akuntabilitas kinerja.
5.      Evaluasi kinerja instansi pemerintah.
6.      Pemantauan dan pengendalian kinerja pelaksana program dan  kegiatan-kegiatan.

Untuk tingkat unit kerja, indikator kinerja yang digunakan harus lebih rinci dan spesifik namun tetap harus diperhatikan keselarasan dan keseimbangannya dengan indikator kinerja unit-unit kerja lainnya serta dengan tingkat instansi pemerintah. Dengan demikian, mulai dari bagian terkecil suatu organisasi sampai bagian terbesarnya sejak awal sudah selaras satu sama lain sehingga perencanaan instansi sampai perencanaan nasional dapat tercapai.
Pemaknaan tersebut sejalan dengan apa yang tercantum dalam:
1.      Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
2.      Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara tanggal 25 Maret 2003 Nomor 239/IX/6/8/2003 tentang Perbaikan Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
3.      Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
4.      Surat Keputusan MENPAN Nomor KEP-135/M.PAN/2004 tentang Pedoman Umum Evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
5.      Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah.

6.      Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
7.      Surat Menteri Negara PAN Nomor B/1301/M.PAN/04/2009 Perihal Kebijakan Evaluasi Akuntabilitas Kinerja Tahun 2009, dan
8.      Peraturan MENPAN dan Reformasi Birokrasi Nomor 7 Tahun 2010 Tentang Pedoman Penilaian Kinerja Unit Pelayanan Publik.

Menurut PERMENPAN Nomor: PER/09/M.PAN/5/2007, yang dimaksud dengan indikator kinerja utama adalah ukuran keberhasilan dari suatu dan sasaran strategis organisasi. Setiap instansi pemerintah wajib menetapkan indikator kinerja utama dilingkungannya masing-masing dengan tujuan sebagai berikut:
1.      Untuk memperoleh informasi kinerja yang penting dan diperlukan dalam menyelenggara- kan manajemen kinerja secara baik.
2.      Untuk memperoleh ukuran keberhasilan dari pencapaian suatu tujuan dan sasaran strategis organisasi yang digunakan untuk perbaikan kinerja dan peningkatan akuntabilitas kinerja.

Penyusunan IKU dilakukan di setiap  instansi pemerintah, yang  meliputi Kementrian Koordinator/ Kementerian Negara/Departemen/ Lembaga Pemerintah Non Departemen, Sekretariat Jenderal Lembaga Tinggi Negara dan Lembaga Lain yang menjalankan fungsi pemerintahan. Pemerintahan Provinsi, Pemerintah Kota, dan Pemerintah Kabupaten.
Oleh karena itu diperlukan koordinasi yang baik di dalam tubuh instansi tersebut sehingga penyusunan Indikator Kinerja Umum dapat dilaksanakan dengan baik dan penerapannya dilakukan secara terintegrasi di antara unit kerja di dalamnya.
Indikator kinerja utama instansi pemerintah harus selaras antar tingkatan unit organisasi. Cakupan IKU pada setiap tingkatan unit organisasi meliputi IKU keluaran (output) dan hasil (outcome) dengan tatanan sebagai berikut:
1.      Indikator kinerja utama pada tingkat Kementrian Negara/- Departemen/LPND/Pemerintah Provinsi/Pemerintah Kabupaten/ Pemerintah Kota sekurang-kurangnya adalah indikator hasil (outcome) sesuai dengan kewenangan kewenangan, tugas dan fungsi.
2.      Indikator kinerja utama pada unit organisasi setingkat Eselon I adalah indikator hasil (outcome) dan atau keluaran (output) yang sekarang setingkat lebih tinggi dari keluaran (output) unit kerja di bawahnya.
3.      Indikator kinerja utama pada unit organisasi setingkat eselon II- /Satuan Kerja/SKPD/unit kerja mandiri sekurang-kurangnya adalah indikator keluaran (output).

Selanjutnya berkaitan dengan pengambil keputusan dalam penetapan IKU, maka ada beberapa aturan yang harus diikuti, yaitu:
1.      Menteri/Pimpinan Lembaga wajib menetapkan indikator kinerja utama untuk Kementrian Koordinator/Departemen/ Kementrian Negara/ Lembaga dan unit organisasi setingkat Eselon I serta Unit Kerja Mandiri dan dibawahnya.
2.      Sekretaris Jenderal Lembaga Tinggi Negara dan Lembaga Lain yang menjalankan fungsi pemerintahan wajib menetapkan IKU untuk Lembaga Tinggi Negara Lain, dan unit organisasi setingkat Eselon I serta Unit Kerja Mandiri di bawahnya.
3.      Gubernur/Bupati/Walikota wajib menetapkan IKU untuk Pemerintah Propinsi/Kabupaten/- Kota dan Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) serta Unit Kerja Mandiri di bawahnya.

Dalam pemilihan dan penetapan kinerja utama di lingkungan instansi pemerintah hendaknya melibatkan pemangku kepentingan (stakeholder) dari instansi yang bersangkutan. Selain itu indikator kinerja utama yang ditetapkan harus memenuhi karakteristik indikator kinerja yang baik dan cukup memadai guna pengukuran kinerja unit organisasi yang bersangkutan.
Pada PERMENPAN Nomor: PER/09/M.PAN/5/2007, karakteristik indikator yang baik dan cukup memadai untuk pengukuran kinerja unitorganisasi yang bersangkutan yaitu:
1)   Spesifik
2)   Dapat dicapai
3)   Relevan
4)   Menggambarkan keberhasilan sesuatu yang diukur
5)   Dapat dikualifikasi dan diukur.

Untuk keberhasilan IKU secara makro pada suatu pemerintah daerah tidak hanya ditentukan oleh satu SKPD/OPD, tetapi juga dipengaruhi oleh keberhasilan SKPD/OPD lain. Oleh karena itu, IKU pada level pemerintah daerah minimal harus pada tingkat indikator hasil (outcomes), dan secara bertahap ditingkatkan pada indikator manfaat (benefis), dan dampak (impacts).
Penyusunan IKU di lingkungan Pemerintah  Daerah diawali dengan pengkajian beragam dokumen yang relevan, antara lain:
1.      Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, Rencana Strategis, kebijakan umum dan atau dokumen strategis lainnya yang relevan.
2.      Bidang kewenangan, tugas dan fungsi, serta peran lainnya.
3.      Kebutuhan informasi kinerja untuk penyelenggaraan akuntabilitas kinerja.
4.      Kebutuhan data statistik pemerintah.
5.      Kelaziman pada bidang tertentu dan perkembangan ilmu pengetahuan.

Dari hasil kajian tersebut kemudian disusun IKU. Selanjutnya, Kepala Daerah menetapkan IKU untuk Pemerintah Daerah. Dalam Penyusunan IKU Pemerintah Daerah, Kepala Daerah melibatkan pemangku kepentingan (stakeholder) dari Instansi Pemerintah Daerah yang bersangkutan.

PENUTUP
Dengan diterapkannya Indikator Kinerja Utama (Key Peformance Indicator) pada tingkatan instansi pemerintah diharapkan kualitas pelayanan publik sedikitnya dapat terukur sesuai dengan keinginan masyarakat akan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Tuntutan demikian sangat beralasan karena sering kali terjadi ketidakselarasan dalam penetapan indikator kinerja sehingga menyebabkan  hasil yang disajikan tidak sesuai dengan perencanaan instansi dengan instansi atasannya bahkan dengan perencanaan nasional.
Selain itu pemilihan dan penetapan kinerja utama di lingkungan instansi pemerintah hendaknya melibatkan pemangku kepentingan (stakeholder) dari instansi yang  bersangkutan, sehingga memperoleh informasi kinerja yang penting dan diperlukan dalam menyelenggarakan manajemen kinerja dan memperoleh ukuran keberhasilan dari pencapaian suatu tujuan dan sasaran strategis organisasi yang digunakan untuk perbaikan kinerja dan peningkatan akuntabilitas kinerja.

DAFTAR PUSTAKA
Anthony, R. N. & Govindarajan, V. (2005). Management Control Systems, 11th Edition, Salemba Empat, Jakarta.
Astri, W.W., (2009). Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah (LAKIP).
Hansen, D.R. & Mowen, M.M., (2005). Management Accounting, 7th Edition, Thomson.
Helmi, S., (2009). Rasio-rasio Keuangan Perusahaan. http://shelmi.wordpress.com/2009/03/04/rasio-%E2%80%93-rasio­keuangan-perusahaan/ diakses pada September 2010
Ikopin (2008). Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Karyawan. http://one.indo skripsi.com Diakses pada November 2010.
Mulyadi & Setyawan, J. (2001). Sistem Perencanaan Dan Pengendalian Manajemen: Sistem Pelipatgandaan Kinerja Keuangan Perusahaan, Salemba Empat, Jakarta
Rivai, V. & Fawzi, A., Basri, M. (2004), Performance Appraisal: Sistem yang Tepat untuk Menilai Kinerja Karyawan dan Meningkatkan Daya Saing Perusahaan. PT Rajagrafindo Persada, Jakarta
Robbins, S.P. (1997). Perilaku Organisasi: Konsep Kontroversi dan Aplikasi. Edisi Bahasa Indonesia. Prenhallindo, Jakarta.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah.
Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja  Instansi Pemerintah.
Peraturan Menteri Negara PAN Nomor: PER/09/M.PAN/5/2007, tentang tentang Pedoman Umum Penetapan Indikator Kinerja Utama di Lingkungan Instansi Pemerintah
Peraturan Menteri Negara PAN Nomor: PER/20/Menpan/11- /2008 tentang Petunjuk Penyusunan Indikator Kinerja Utama Indikator Kinerja Utama
Surat Keputusan Menteri Negara PAN Nomor: KEP-135/M.PAN/2004 tentang  Pedoman Umum Evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
Surat Menteri Negara PAN Nomor B/1301/M.PAN/04/2009 Perihal Kebijakan Evaluasi Akunta- bilitas Kinerja Tahun 2009.
Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara tanggal 25 Maret 2003 Nomor 239/IX/6/8/- 2003 tentang Perbaikan Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
http://gitacintanyawilis.blogspot.com/2009/11/laporan-akuntabilitas­kinerja diakses pada Oktober 2010.