Oleh :
Tubagus Isak Iskandar
Universitas Langlangbuana
ABSTRAK
Pemimpin yang terpilih melalui proses demokrasi
tidak selalu ideal mengingat sejak awal kelahirannya sistem demokrasi memiliki
cacat bawaan. Namun, sebagai sebuah sistem dan etika politik, demokrasi
dianggap sebagai pilihan terbaik karena jika konsep demokrasi dilaksanakan
dengan benar, hal itu lebih menjanjikan bagi kelangsungan dan stabilitas hidup
bernegara secara beradab.
Kata Kunci: Politik
dinasti, etika politik dan demokrasi.
ABSTRACT
A
leader that is selected by a democratic process is not always an ideal one,
given that since the birth of the democratic system itself it has brought with
it an innate defect. However, as a system and politics ethics, democracy is considered
as the best choice because if a democratic concept is implemented truly, it
will be more promising for the sustainability and stability of a state in a
civilized way.
Keywords: Dynasty politics, politic ethic, and democracy
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tidak ada ideologi dan sistem
politik yang sempurna. Sejarah pernah menyaksikan beragam kekuasaan politik
dengan beragam sumber legitimasi. Ada yang diperoleh melalui garis keturunan
(kerajaan), ada yang melalui pemilihan umum (demokrasi), ada yang mengklaim
sebagai mandat dan anugerah Tuhan (teokrasi). Masing-masing mempunyai argumen
untuk menunjukkan keunggulannya. Namun, secara historis-empiris tampaknya
sistem demokrasi paling diminati, terutama oleh masyarakat majemuk yang tingkat
pendidikannya sudah maju seperti halnya Amerika Serikat. Salah satu keunggulan
demokrasi adalah adanya mekanisme kontrol dan partisipasi rakyat secara
reguler, terlembagakan dan terbuka melalui sistem perwakilan.
Gambaran demokrasi yang begitu
ideal ternyata mengandung ‘cacat bawaan’ yang sangat membahayakan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Simon Jenkins pernah menulis dalam majalah ‘The Time’
tentang kondisi demokrasi yang sedang sakit (Democracy Is Not In Good Shape). Penggalan artikel Simon Jenkins di atas,
mencerminkan kegelisahannya tentang kondisi demokrasi sekarang.
Dalam artikel
tersebut, Simon Jenkins menjelaskan bahwa cacat bawaan demokrasi
telah membajak suara mayoritas rakyat untuk kepentingan segelintir elite yang
haus kekuasaan dan rakus kekayaan. Permainan ini dilakukan oleh segelintir
orang yang mengklaim dirinya wakil rakyat atau pemerintah yang dipilih oleh
mayoritas rakyat. Mereka membuat kebijakan yang justru jauh dari kepentingan
rakyat. Lebih jauh Simon Jenkins menjelaskan lobi dan korupsi telah mencemari
proses pemerintahan. Memang, demokrasi yang mahal dan elitis telah melahirkan
simbiosis mutualisme antara kelompok pemilik modal (kapital) dan politisi yang
ujung-ujungnya merugikan rakyat.
Bagi masyarakat yang pendidikan
dan ekonominya telah maju, cacat bawaan demokrasi bisa diperkecil. Akan tetapi,
bagi masyarakat Indonesia yang kondisi ekonomi maupun pendidikannya masih
rendah, sekalipun demokrasi menjadi pilihan utama, sebaiknya jangan berharap
demokrasi sebagai obat mujarab yang bisa segera menyembuhkan keterpurukan
bangsa yang sudah parah ini mengingat demokrasi bukan sekadar prosedur,
melainkan juga kultur dan sikap hidup.
Sakitnya demokrasi ini, jelas bukan sekadar
kasuistis atau penyimpangan dari demokrasi, tetapi memang cacat bawaan
demokrasi. Hal yang paling mendasar adalah ketika demokrasi menyerahkan
kedaulatan di tangan rakyat, dengan asumsi suara mayoritas rakyat adalah
kebenaran, suara rakyat sama dengan suara Tuhan. Ketika kebenaran diserahkan pada
manusia, di situlah hawa nafsu dan kepentingan manusia lebih dominan. Ketika
elite pemilik modal dan politisi mendominasi demokrasi, lahirlah kebijakan
untuk kepentingan mereka sendiri, bukan rakyat. Bukti lain cacat bawaan
demokrasi adalah tumbuh suburnya politik dinasti pada negara tersebut.
Politik dinasti adalah satu
realita yang tak terbantahkan dan tidak bisa dihindari apapun bentuk
pemerintahan satu negara. Bahkan, Amerika Serikat yang dijadikan contoh negara
paling demokratis dan yang telah mengeterapkan sistem demokrasi ratusan tahun
tidak terhindar dari politik dinasti. Seperti dilansir banyak media, dinasti
Bush dan Kennedy merupakan dinasti yang mentradisi dalam politik dinasti di
Amerika Serikat.
Politik dinasti yang terjadi di Indoesia dengan di
luar negeri sangat berbeda. Jika di luar negeri tatanan demokrasi sudah sangat
matang, sehingga pelaksanaa demokrasi benar-benar transparan dan akuntabel.
Berbeda dengan apa yang terjadi di negeri ini yang masih "belajar"
sehingga pelaksanaannya dipenuhi intrik-intrik politik terselubung yang
mengelabuhi rakyat. Partai politik sangat mempengaruhi dominasi kekuasaan
dengan berbagai cara untuk mendapatkan legimitasi kekuasaan mengatasnamakan
demokrasi.
Politik dinasti dianggap
bertentangan dengan semangat reformasi. Meski berpolitik adalah hak setiap
orang, akan tetapi praktek politik dinasti berdampak buruk. Politik dinasti
akan menumbuhkan oligarki politik, serta tidak sehat bagi upaya regenerasi
kepemimpinan politik. Kekuasaan hanya dikuasai oleh beberapa orang yang berasal
dari satu keluarga, tanpa memberikan ruang kepada pihak lain untuk ikut
berpartisipasi.
Keberadaan dinasti politik di
Indonesia saat ini berdampak negatif. Kepemimpinan oleh dinasti itu tidak
mendapatkan pengawasan sehingga bisa menimbulkan dampak Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN). Akibatnya, kesejahteraan
masyarakat menjadi terbelakang karena mementingkan urusan kelompok dan
keuntungan saja.
Ada banyak kejanggalan yang perlu dikoreksi ketika
politik dinasti berkuasa. Hal yang paling menonjol adalah banyak terjadi
ketidakberesan dalam menjalankan amanah konstitusi. Peluang terjadinya korupsi,
kolusi dan nepotisme jelas sangat tinggi, karena ketika saudara dan
handaitaulannya diajak masuk dalam pusaran kekuasaan, maka yang akan terjadi
adalah tidak transparan dalam menjalankan roda pemerintahan. Politik dinasti
akan menjadi tantangan yang berat, jika tidak ada ruang kontrol yang memadai.
Dalam kasus-kasus Pilkada di
Indonesia, politik kekerabatan memang banyak terjadi. Banten merupakan salah
satu contoh, bagaimana keluarga Atut, setidaknya karena dialah yang berposisi
tertinggi sebagai Gubernur, sukses menghadirkan keluarga atau kerabat dalam
level politik lokal setingkat kabupaten/kota. Tidak hanya itu,
organisasi-organisasi sosial yang menonjol juga dikuasai oleh
"keluarga".
Permasalahan
Berdasarkan uraian singkat latar belakang di atas,
maka permasalahan yang akan diangkat adalah sebagai berikut:
a.
Bagaimanakah ciri-ciri demokrasi yang telah terjangkit cacat
bawaan berupa politik dinasti?
b.
Bahaya apakah yang dirasakan dengan adanya politik
dinasti dalam sistem kenegaraan khususnya di Indonesia.
PEMBAHASAN
Ciri-ciri Cacat Bawaan Demokrasi
Berupa Politik Dinasti
Bentuk pemerintahan demokrasi (kekuasaan rakyat)
dari kota Athena di Yunani, bukan satu-satunya bentuk pemerintahan pada zaman itu.
Masih terdapat bentuk pemerintahan lainnya yaitu monarki (kekuasaan raja),
oligarki (kekuasaan sebagian kecil orang kaya) dan tirani (kekuasaan tunggal).
Semua bentuk pemerintahan silih berganti berlaku di kota Athena dan juga di
daerah-daerah sekitarnya. Kala itu Yunani terdiri dari 1.500 negara kota (poleis),
yang kecil dan independent. Tetapi hanya warga kota Athena yang berusaha untuk
memilih dan menetapkan bentuk pemerintahan demokrasi. Menjadikan warga kota
Athena, satu-satunya negara kota yang menerapkan pemerintahan demokrasi (Betham, 2000).
Tiga tokoh pada zaman Yunani banyak mempengaruhi
bentuk pemerintahan yang diterapkan di kota-kota yang ada. Ketiganya, Socrates,
Plato dan Aistoteles. Dalam perkembangan selanjutnya, mereka dianggap berperan
besar dalam membentuk pola pikir barat (western mind) dalam
pemerintahan. Socrates menekankan pentingnya argumentasi dan pemikiran kritis
dalam berpikir. Plato menekankan perlunya untuk selalu mencari “kebenaran” dan
mempertahankan pemikiran kritis. Sedangkan Aristoteles, murid dari Plato dan
guru dari Alexander Agung, mengembangkan pemikiran ”kategoris” di mana segala
sesuatu harus dapat didefinisikan dan dikategorikan (Betham, 2000).
Pada masanya, Socrates dikabarkan menolak demokrasi
yang dipraktekkan warga kota Athena. Socrates yakin hanya orang-orang bijak
saja (filosof) yang semestinya menyelenggarakan pemerintahan. Atas dasar ini
dia sebenarnya tidak hanya menolak demokrasi, melainkan sistem pemerintahan
lain yang tidak dijalankan oleh filosof. Penolakan Socrates bisa dipahami,
sebab bagaimana mungkin keputusan penting bisa diserahkan kepada orang
kebanyakan yang tidak memiliki ilmu, pengalaman dan kompeten. Apalagi
menyamakan pemikiran seorang filosof yang bijak bestari dengan seorang petani
buta huruf. Socrates khawatir demokrasi begitu berubah terjadi mobokrasi. Arah
pemerintahan ditentukan oleh kumpulan orang banyak yang tak kompeten (Sahdan, 2004).
Plato juga serupa Socrates. Bagi Plato, pemimpin
dari sebuah masyarakat haruslah seorang filsuf raja, yakni pimpinan yang hidup
untuk mencari apa “yang baik”, dan menerapkannya di dalam pola pemerintahannya.
Meski begitu Plato mengusulkan pemerintahan ideal haruslah berbentuk demokrasi
dengan monarkhi. Sebab jika hanya monarkhi maka akan terlalu banyak kelaliman.
Jika terlalu demokrasi maka akan terlalu banyak kebebasan. Pendapat Plato
diperkuat Aristoteles. Aristoteles percaya bahwa bentuk politik yang ideal
adalah gabungan dari bentuk demokrasi dan monarkhi (Sahdan, 2004).
Penolakan Socrates terhadap bentuk pemerintahan
demokrasi di kota Athena harus dibayar mahal dengan jiwanya. Socrates yang
berwatak tegas menolak untuk mencabut pemikirannya. Karena penguasa Athena
menganggap pikiran Socrates dapat menyesatkan dan meracuni kaum muda. Terutama
pikiran tentang adanya kebenaran mutlak di samping kebenaran-kebenaran relatif.
Hal ini bertentangan dengan pemikiran pada umumnya yang menyatakan semua kebenaran
adalah relatif. Penguasa Athena membuat keputusan secara demokratis bahwa
Socrates bersalah dan harus dijatuhi hukuman mati. Meski dibujuk untuk
melarikan diri, Socrates tetap menerima vonis matinya. Eksekusi dilangsungkan
dengan Socrates memilih minum racun, sekitar tahun 399 sebelum Masehi pada saat
ia berumur 70 tahun (Sahdan, 2004).
Sebenarnya kematian Socrates membuat Plato dan
Aristoteles kehilangan kepercayaan kepada demokrasi. Betapa demokrasi lebih
membenarkan pikiran kebenaran orang-orang awam ketimbang pemikiran kebenaran
filosof. Para penguasa telah memanipulasi demokrasi atau pemikiran orang awam
demi keberlanjutan kekuasaan mereka. Mereka gunakan pikiran orang awam untuk
mewakili keinginan berkuasa mereka tanpa harus mengacu kepada subtansi dan
kebenaran sesungguhnya.
Begitu cacat bawaan demokrasi, berakibat demokrasi
selalu dalam keadaan bongkar pasang menuju perbaikan. Juga menimbulkan pro dan
kontra tiada akhirnya dari Yunani hingga sekarang. Misalnya, Harrison dan
Jeremy Bentham, filsuf utilitarian asal Inggris, setuju dengan ide-ide dasar
demokrasi. Namun, Jean-Jacques Rousseau, filsuf politik Prancis, menolak konsep
dan penerapan demokrasi. Baginya, di dalam demokrasi, rakyat harus
berpartisipasi langsung, dan tidak bisa diwakilkan.
Gurita politik terjadi untuk mempertahankan
kekuasaan agar tidak keluar dari link mereka. Selanjutnya kekuasaan itu
dijadikan alat untuk mengamankan diri dan kepentingan. Kekuasaan itu juga
menjadi alat ampuh untuk motif uang. Bahkan penggunaan kekuasaan untuk motif
uang ini hampir tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan di dalam demokrasi
sekarang. Jika bukan untuk menumpuk kekayaan, maka yang hampir bisa dipastikan
adalah untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan selama proses politik
sebelumnya dan mengumpulkan biaya bagi proses politik ke depan, selain untuk
balas budi kepada para ‘cukong’ yang secara langsung maupun tidak langsung,
memodali proses politik yang dijalani. Maka gurita kekuasan dan jabatan yang
diantaranya melalui politik dinasti itu pun menjelma menjadi “gurita
persekongkolan”.
Politik dinasti (dynasty politics)
secara sederhana dapat diartikan sebagai praktik kekuasaan dimana anggota
keluarga (sanak famili) diberi dan/atau mendapat posisi dalam struktur
kekuasaan, jadi kekuasaan hanya terbagi kepada dan terdistribusi di
kalangan kerabat, keluarga sedarah.
Pemahaman lainnya yang menyatakan
dirinya sebagai negara demokratis, demokrasi menjunjung nilai-nilai keadilan
dan kesejahteraan. Politik dinasti bisa saja menjadi musuh bagi demokrasi
karena peran publik dalam politik dinasti tidak dianggap penting, yang paling
substansial dalam demokrasi adalah keterwakilan publik, untuk memilih
pemimpinnya agar memperoleh pelayanan dan kesejahteraan.
Dinasti politik hanya akan menjadi bahaya
bagi politisi “negarawan” sebab demokrasi mengajarkan kebebasan untuk memilih
pemimpin, dinasti hanya fokus kepada keinginan pribadi dan golongan untuk
memerintah. Konsep demokrasi yang diterima banyak orang adalah demokrasi
konsensus melalui legitimasi yang disetujui banyak orang. Dinasti politi bisa
saja menghilangkan akal sehat yang menghancurkan substansi politik dan
demokrasi.
Politik kekerabatan bisa dimaklumi sebagai hak asasi
manusia, bila yang bersangkutan memiliki kapabilitas, kompetensi, integritas
dan kemampuan human socialisme. Tetapi dalam realitasnya cenderung nihil
dan dipaksakan sehingga hanya membentuk sebuah koloni atau klan kekerabatan
dengan tujuan melanggengkan kekuasaan dan meraup proyek-proyek pemerintah. Di
sinilah terjadinya distorsi demokrasi yang tidak sepandangan dengan kehendak
rakyat pada umumnya. Terjadi birokrasi yang tidak transparan dan akuntabel
sehingga cenderung terjadinya manipulasi dan korupsi. Politik dinasti bila
dibiarkan, maka akan semakin menggurita sampai ke tingkat paling bawah,
sehingga mengakar semakin kuat dengan mengatasnamakan demokrasi terselubung.
Politik dinasti dalam jabatan
kepala dan wakil kepala daerah sesungguhnya terjadi secara luas. Puluhan kepala
daerah terpilih ataupun gagal dalam Pilkada terindikasi punya hubungan
kekerabatan dengan pejabat lain. Hal itu dinilai sebagai ”cacat bawaan
demokrasi”. Satu mata rantai yang tidak pernah terputuskan dalam cacat bawaan
demokrasi ini adalah:
a. Adanya keinginan
sosok individu untuk berkuasa (asas kebebasan).
b. Adanya persaingan
antara sosok individu untuk menguasai lainya (asas kesetaraan).
c. Adanya
kesepakatan kebersamaan dan penundukan, maka terbentuklah kelompok terorganisir
untuk berkuasa. Dalam kelompok mulai ada penguasa kelompok dan pengikut
kelompok (asas persaudaraan).
d. Muncul pembiayaan
organisasi yang tinggi tercapainya deal pembiayaan dalam transaksi jual
beli (terjadinya kolaborasi antara penguasa dan pengusaha) menyatunya kekuatan
modal dengan politisi.
e. Pembagian tugas
antara kekuasaan politik dengan kekuasaaan modal mengakibatkan pembusukan
manajemen pembiayaan (korupsi).
f. Upaya
mempertahankan kekuasaan melalui jaringan nepotisme dalam pendistribusian
fasilitas (politik dinasti), inilah akhir dari perjalanan demokrasi.
Bahaya Politik Dinasti dalam Sistem
Kenegaraan di Indonesia
Berpolitik adalah hak seseorang
yang mendasar. Tidak ada larangan siapapun untuk menjadi Caleg atau Capres,
bahkan untuk satu keluarga pun. Soal kepatutan, biasanya akan tenggelam dengan
konteks tradisi kepolitikan yang feodal atau setidaknya neo-feodalistik. Ketika
oligarki partai dikuasai oleh "keluarga", maka kekuasaan trah atau
dinasti menjadi lazim.
Meritokrasi politik yang bertumpu
pada prestasi dan objektivitas, otomatis terganggu oleh sentimen-sentimen
dinastik. Pilihan-pilihan untuk mengedepankan keluarga atau kerabat sendiri
dalam promosi-promosi politik penting di partai atau dalam jabatan publik lebih
menonjol. Subjektivitas kelompok dalam oligarki politik, kemudian akan identik
dengan subjektivitas keluarga.
Semua warga negara dijamin secara hukum dan
perundang-undangan untuk memilih dan dipilih dalam setiap momentum politik
pemilihan umum, baik pemilihan kepala desa, pemilihan kepala daerah, maupun
pemilihan presiden. Paling tidak ada beberapa catatan penting yang seyogianya
perlu kita pertimbangkan ketika politik dinasti keluarga ini mendominasi dalam
berbagai momen suksesi kepemimpinan (Karim, 2001).
Pertama, mekanisme
organisasi kepartaian harus tetap on the track dilakukan, sehingga tidak
menimbulkan gejolak internal di kalangan para pengurus dan para kader partai
politik ketika akan mengusung kandidat dari tokoh sanak saudara incumbent.
Hal ini sematamata mesti dipahami dalam konteks bagaimana kita konsisten dan berkomitmen
dalam melakukan kaderisasi.
Kedua, siapa pun
keluarga politik yang mempunyai trah politik keluarga yang mau tampil
seyogianya dia adalah kader partai yang dibuktikan dengan keanggotaan dan
keaktifannya di dalam membesarkan partai politik. Hal ini semata-mata dipahami
agar institusi partai politik yang selama ini kita pahami sebagai institusi
pencipta kader pemimpin benarbenar dihormati harkat, martabat, dan marwah
politiknya.
Ketiga, bahwa partai
politik bukanlah semata-mata “kendaraan rental politik” yang setiap waktu dan
setiap saat bisa “direntalkan” atas dasar motif ekonomi-politik. Kita harus
merawat partai politik adalah institusi yang sah dalam melahirkan kader-kader
kepemimpinan yang mumpuni.
Keempat, kualitas dari
trah dinasti politik harus teruji dan tepercaya, sehingga kualitas dan
keberhasilan dalam konteks kepemimpinannya akan berakibat positif terhadap
perkembangan dan kebesaran partai itu sendiri. Sebaliknya, jika kualitasnya
banyak tidak dirasakan manfaatnya bagi rakyat itu sendiri, dipastikan yang
terkena dampak negatif dari kualitas negatif kepemimpinannya akan berakibat
negatif pula terhadap citra dan kondisi partai politik pengusungnya.
Namun, penting untuk mengevaluasi dan mengeliminasi
dampak negatif dari kecenderungan politik dinasti yang memanfaatkan tokoh incumbent
hanya semata-mata untuk “menumpang” popularitas. Apalagi jika para sanak
saudara yang mencalonkan diri dalam setiap momentum politik lagi-lagi adalah
mereka yang tidak pernah menempa diri dan terjun langsung dalam dinamika partai
politik.
Dinasti adalah sistem reproduksi kekuasaan yang primitif karena
mengandalkan darah dan keturunan dari segelintir orang. Maka, di dalam dinasti
tidak ada politik karena peran publik (polis) sama sekali tidak
dipertimbangkan. Dengan sendirinya, dinasti juga adalah musuh demokrasi dalam
arti yang paling substansial.
Dalam bentuk yang halus, politik dinasti muncul dalam gejala ”dinasti
politik” yang mendorong sanak keluarga elite-elite lama untuk terus memegang
kekuasaan yang diturunkan ”secara demokratis” oleh para pendahulu mereka. Dalam
jenis ini, penyesuaian terhadap etik demokrasi modern dilakukan dengan cara
mempersiapkan putra-putri yang bersangkutan dalam sistem pendidikan dan
rekrutmen politik yang sedemikian dini. Jadi, dengan itu, apabila mereka
muncul, kemunculannya seolah-olah bukan diakibatkan oleh karena faktor darah
dan keluarga, melainkan oleh karena faktor-faktor kepolitikan yang lebih wajar
dan rasional. Cara semacam ini masih dipraktikkan dalam negara-negara demokratis,
misalnya Amerika Serikat dan India (Mayo, 2005).
Dalam bentuk yang lain, politik dinasti tampil dalam cara yang lebih vulgar
dan identik dengan otoriterianisme. Ia muncul dari suatu sistem politik modern
yang sebelumnya sudah dibekukan dan dikondisikan sedemikian rupa sehingga
”rakyat” melalui wakilnya hanya bisa memilih anak/istri dari keluarga penguasa
lama. Dengan demikian, di sini yang terjadi sebenarnya adalah politik dinasti
yang dipilih bukan secara sukarela (by consent), tetapi secara represif,
ini misalnya terjadi di Singapura (Mayo, 2005).
Dalam bentuk ketiga, politik dinasti muncul dalam konteks yang lebih unik.
Apabila di Amerika dan India (bahkan Singapura) politik dinasti dilakukan
dengan mempertimbangkan delikasi politik demokratis dan persiapan matang untuk
tidak ”memalukan”, dalam tipe ketiga, politik dinasti muncul semata-mata
sebagai bagian dari mekanisme reproduksi kekuasaan pribadi yang vulgar dengan
memanfaatkan sistem demokrasi yang baru. Dalam mekanisme ini politik dinasti
berkolaborasi secara intens dengan politik uang, kapitalisme media, dan budaya
patronase. Uang, media, dan budaya patronase dipakai dan dimanipulasi untuk “mengatrol” penampilan dan meraup justifikasi politik. Gejala ini menguat di
Filipina dan Indonesia sekarang (Mayo, 2005).
Ringkasnya, mengenai sifat baik-buruk politik dinasti pada dasarnya memang
akan sangat bergantung pada pendasaran dan filsafat politik apa yang dianut.
Bagi mereka yang berpandangan ekstrem liberal yang menganggap bahwa inti dari
politik adalah hak-hak individual, politik dinasti diperbolehkan, bahkan mesti
dibela. Ini dipandang sebagai bagian dari hak individu. Namun, bagi mereka yang
berpandangan sedikit republikan, politik dinasti secara prinsip tidak bisa
diterima.
Dalam konteks Indonesia, invasi kepentingan pribadi ini sudah mencapai
tahap kegilaan tertentu. Ini terlihat dalam gejala di mana makin banyak anak,
istri (bahkan ada istri pertama dan istri kedua) artis-artis yang hanya
mengandalkan bombastisme media bertarung dalam pilkada-pilkada. Kegilaan ini
secara sepintas barangkali sama sekali tidak mencederai prosedur demokrasi di
Indonesia, tetapi secara prinsip merusak substansi politik dan demokrasi yang
mengedepankan kemaslahatan dan akal budi umum.
Politik dinasti membuat partai politik hanya
sebagai simbolis saja, sehingga banyak implikasi negatif yang didapat, seperti
pengaruh sukses dalam Pemilu. Parpol hanya kumpulan gerombolan dan fans club,
di mana tidak melakukan kompetensi secara profesional. Politik dinasti
mengajarkan kita untuk menjadi mental menerobos hal ini tidak diperlukan
jenjang-jenjang sebagai- mana mestinya dan ini menimbulkan hal yang tidak baik.
Semua itu sebenarnya bisa dikatakan sudah menjadi
rahasia umum. Rahasia umum itulah yang mendapatkan fakta riil dari kasus gurita
politik di Banten. Hal yang sama agaknya terjadi di banyak daerah, termasuk
daerah yang tidak diidentifikasi terjadi politik dinasti di situ. Hanya
barangkali apa yang terjadi di Banten termasuk yang paling menonjol. Betapa
tidak, Sang ‘Ratu’ beserta kerabatnya ditengarai menguasai 175 proyek di
Provinsi Banten dalam rentang waktu 2011-2013 dengan total nilai Rp 1,148
triliun. Berdasarkan penelusuran ICW dan Masyarakat Transparansi Anggaran
(Mata) Banten, 175 proyek tersebut dikuasai 10 perusahaan keluarga Atut dan 24
perusahaan yang berafiliasi dengan keluarga Atut. Layaknya arisan keluarga,
pemenang proyek itu digilir baik dari 10 perusahaan keluarga Atut maupun 24
perusahaan yang berafiliasi itu.
Kekuatan politik yang dibangun atas dasar dinasti
sudah pasti akan menggunakan segala cara untuk menjadi pemenang. Dinasti
politik kecenderungannya melakukan suap dan menyuap adalah satu bentuk lain
dari kerja korupsi. Sebagai contoh, kasus suap yang libatkan ketua Mahkamah
Konstitusi (MK) Akil Mochtar, adik kandung Atut Chosiyah, Gubernur Banten yang
bernama Tubagus Chaery Wardhana, yang saat ini menggunjang sistem hukum dan
politik di tanah air, adalah bagian dari contoh korupsi politik. Mereka
mendapatkan kekuasaanya dengan cara menyuap MK, mungkin juga penyelenggara
Pemilukada dan mungkin juga rakyat, dengan cara membeli suara pemilih.
Praktik dinasti politik di Indonesia, kian mengkhawatirkan.
Pasalnya, kebanyakan dari penguasa hanya ingin melanggengkan oligarki
kekuasaannya. Praktik dinasti politik di negeri ini cenderung semakin tak
sehat. Itu adalah contoh, bagaimana demokrasi Indonesia masih mengalami
pendangkalan, saat etika tidak pernah menjadi dasar dalam berpolitik. Lantaran
selama ini begitu banyak aturan tentang pemilukada memang tak memiliki makna.
Alhasil persoalan etika tidak lagi menjadi perhatian utama masyarakat. Publik
dan pemilih terlalu apatis, bahkan sebagian besar pragmatis, sehingga dinasti
politik makin menggurita sampai ke level paling bawah kekuasaan.
Tantangan serius ke depan adalah bagaimana
melakukan perombakan besar untuk mengatasi korupsi politik dinasti dan praktik
oligarki. Karena bila dinasti politik yang terbukti pernah korupsi menguasai
lingkar kekuasaan, demokrasi pun akan makin bangkrut, karena digerogoti
koruptor dalam lingkaran kekuasaan. Politik dinasti menyebabkan rakyat lemah semakin
terpinggirkan. Apabila penguasa sudah tidak lagi memikirkan rakyatnya, hanya
saja memikirkan dirinya, dan kekuasaan. Masyarakat yang lemah akan selalu
tertindas akibat cengkeraman dinasti politik.
Bahaya dari politik dinasti adalah hasratnya untuk
mengekalkan diri dan melembagakannya dalam kepolitikan. Sifat alamiahnya adalah
kekuasaan politik hendak dijalankan secara turun-temurun di atas garis trah dan
kekerabatan, bukan didasarkan pada kualitas kepemimpinan, tujuan-tujuan
bersama, keputusan dan kerja-kerja asosiatif. Pengekalan dan pelembagaan
politik dinasti dimungkinkan dengan merajalelanya politik-uang. Demokrasi
diubah teksturnya sedemikian rupa bukan lagi sebagai ruang konsteslasi ide,
gagasan, program dan ideologi, melainkan pasar transaksi jual-beli kepentingan
individu dan kelompok-kekerabatan. Politik dinasti di dalam partai politik
dimungkinkan tumbuh saat cuaca demokrasi bersifat semu.
Demokrasi semu lebih berupa pasar transaksi
kepentingan pribadi, namun dengan menggunakan alat-alat kelengkapan demokrasi
seperti partai politik, lembaga dan institusi negara, serta media massa.
Peralatan sistem demokrasi tersebut digunakan bukan untuk menopang sistem
demokrasi, melainkan memanipulasinya menjadi penopang sistem oligarki. Politik
dipersempit menjadi ruang perebutan kekuasaan politik dan penimbunan kekayaan antar
para oligarkis, sementara rakyat kebanyakan dibayar untuk berduyun-duyun
melegalkan manipulasi tersebut lewat pemilu, pilkada dan aksi-aksi protes
lainnya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
a.
Konsep demokrasi yang diterima banyak orang adalah
demokrasi konsensus melalui legitimasi yang disetujui banyak orang. Dalam
politik dinasti terjadinya distorsi demokrasi yang tidak sepandangan
dengan kehendak rakyat pada umumnya. Terjadi birokrasi yang tidak transparan
dan akuntabel sehingga cenderung terjadinya manipulasi dan korupsi.
b.
Bahaya dari politik dinasti adalah hasratnya untuk
mengekalkan diri dan melembagakannya dalam kepolitikan. Sifat alamiahnya adalah
kekuasaan politik hendak dijalankan secara turun-temurun di atas garis trah dan
kekerabatan, bukan didasarkan pada kualitas kepemimpinan. Pengekalan dan
pelembagaan politik dinasti dimungkinkan dengan merajalela- nya politik-uang.
Demokrasi diubah teksturnya sedemikian rupa bukan lagi sebagai ruang
konsteslasi ide, gagasan, program dan ideologi, melainkan pasar transaksi
jual-beli kepentingan individu dan kelompok-kekerabatan.
Saran
a.
Politik dinasti harus dilawan oleh semua kalangan.
Masyarakat memiliki peran yang sangat penting dan strategis untuk memutus
politik dinasti ini. Masyarakat harus lebih aktif untuk memastikan bahwa di
manapun negeri ini tidak terjadi monopoli, tidak terjadi konsentrasi kekuasaan.
Masyarakat tidak boleh terlalu bergantung pada sekelompok orang yang ada di
daerah itu.
b.
Seorang kepala daerah ataupun jabatan penting yang ada di
daerah harus diisi oleh orang yang memiliki akuntabilitas, kapabilitas dan
integritas. Bukan oleh mereka yang memiliki uang. Prinsip keadilan harus tetap
ditegakkan.
DAFTAR PUSTAKA
Betham, D. (2000). Demokrasi.
Yogyakarta: Kanisius.
Karim, A. (2001). Membangun
Warga Negara yang Demokratis. Jakarta: Grafindo Media Pratama.
Maso’ed, M. (2000). Negara,
Kapital dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mayo, H. B. (2005). Menjadikan
Demokrasi Bermakna: Masalah dan Pilihan Indonesia. Jakarta: Demos.
Sahdan, G. (2004). Jalan
Transisi Demokrasi: Pasca Soeharto. Jakarta: LP3EAS.