Tentang SosioHumanitas Unla

SosioHumanitas Unla merupakan Jurnal Ilmu-ilmu Sosial & Humaniora Universitas Langlangbuana.

Sosiohumanitas berisi karya ilmiah hasil penelitian atau pemikiran berdasarkan kajian literatur yang dimuat dalam bentuk media cetak oleh LPPM Universitas Langlangbuana Bandung.

Materi yang dibahas mencakup masalah dan isu-isu yang aktual mengenai aspek sosial budaya dan kemanusiaan lainnya.

ISSN 1410-9263.

Politik Dinasti Ciri Cacat Bawaan Demokrasi


Oleh :
Tubagus Isak Iskandar
Universitas Langlangbuana


ABSTRAK

Pemimpin yang terpilih melalui proses demokrasi tidak selalu ideal mengingat sejak awal kelahirannya sistem demokrasi memiliki cacat bawaan. Namun, sebagai sebuah sistem dan etika politik, demokrasi dianggap sebagai pilihan terbaik karena jika konsep demokrasi dilaksanakan dengan benar, hal itu lebih menjanjikan bagi kelangsungan dan stabilitas hidup bernegara secara beradab. 

Kata Kunci: Politik dinasti, etika politik dan demokrasi.


ABSTRACT

A leader that is selected by a democratic process is not always an ideal one, given that since the birth of the democratic system itself it has brought with it an innate defect. However, as a system and politics ethics, democracy is considered as the best choice because if a democratic concept is implemented truly, it will be more promising for the sustainability and stability of a state in a civilized way. 

Keywords: Dynasty politics, politic ethic, and democracy




PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tidak ada ideologi dan sistem politik yang sempurna. Sejarah pernah menyaksikan beragam kekuasaan politik dengan beragam sumber legitimasi. Ada yang diperoleh melalui garis keturunan (kerajaan), ada yang melalui pemilihan umum (demokrasi), ada yang mengklaim sebagai mandat dan anugerah Tuhan (teokrasi). Masing-masing mempunyai argumen untuk menunjukkan keunggulannya. Namun, secara historis-empiris tampaknya sistem demokrasi paling diminati, terutama oleh masyarakat majemuk yang tingkat pendidikannya sudah maju seperti halnya Amerika Serikat. Salah satu keunggulan demokrasi adalah adanya mekanisme kontrol dan partisipasi rakyat secara reguler, terlembagakan dan terbuka melalui sistem perwakilan.
Gambaran demokrasi yang begitu ideal ternyata mengandung ‘cacat bawaan’ yang sangat membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Simon Jenkins pernah menulis dalam majalah ‘The Time’ tentang kondisi demokrasi yang sedang sakit (Democracy Is Not In Good Shape). Penggalan artikel Simon Jenkins di atas, mencerminkan kegelisahannya tentang kondisi demokrasi sekarang. 
Dalam artikel tersebut, Simon Jenkins menjelaskan bahwa cacat bawaan demokrasi telah membajak suara mayoritas rakyat untuk kepentingan segelintir elite yang haus kekuasaan dan rakus kekayaan. Permainan ini dilakukan oleh segelintir orang yang mengklaim dirinya wakil rakyat atau pemerintah yang dipilih oleh mayoritas rakyat. Mereka membuat kebijakan yang justru jauh dari kepentingan rakyat. Lebih jauh Simon Jenkins menjelaskan lobi dan korupsi telah mencemari proses pemerintahan. Memang, demokrasi yang mahal dan elitis telah melahirkan simbiosis mutualisme antara kelompok pemilik modal (kapital) dan politisi yang ujung-ujungnya merugikan rakyat.
Bagi masyarakat yang pendidikan dan ekonominya telah maju, cacat bawaan demokrasi bisa diperkecil. Akan tetapi, bagi masyarakat Indonesia yang kondisi ekonomi maupun pendidikannya masih rendah, sekalipun demokrasi menjadi pilihan utama, sebaiknya jangan berharap demokrasi sebagai obat mujarab yang bisa segera menyembuhkan keterpurukan bangsa yang sudah parah ini mengingat demokrasi bukan sekadar prosedur, melainkan juga kultur dan sikap hidup. 
Sakitnya demokrasi ini, jelas bukan sekadar kasuistis atau penyimpangan dari demokrasi, tetapi memang cacat bawaan demokrasi. Hal yang paling mendasar adalah ketika demokrasi menyerahkan kedaulatan di tangan rakyat, dengan asumsi suara mayoritas rakyat adalah kebenaran, suara rakyat sama dengan suara Tuhan. Ketika kebenaran diserahkan pada manusia, di situlah hawa nafsu dan kepentingan manusia lebih dominan. Ketika elite pemilik modal dan politisi mendominasi demokrasi, lahirlah kebijakan untuk kepentingan mereka sendiri, bukan rakyat. Bukti lain cacat bawaan demokrasi adalah tumbuh suburnya politik dinasti pada negara tersebut.
Politik dinasti adalah satu realita yang tak terbantahkan dan tidak bisa dihindari apapun bentuk pemerintahan satu negara. Bahkan, Amerika Serikat yang dijadikan contoh negara paling demokratis dan yang telah mengeterapkan sistem demokrasi ratusan tahun tidak terhindar dari politik dinasti. Seperti dilansir banyak media, dinasti Bush dan Kennedy merupakan dinasti yang mentradisi dalam politik dinasti di Amerika Serikat.
Politik dinasti yang terjadi di Indoesia dengan di luar negeri sangat berbeda. Jika di luar negeri tatanan demokrasi sudah sangat matang, sehingga pelaksanaa demokrasi benar-benar transparan dan akuntabel. Berbeda dengan apa yang terjadi di negeri ini yang masih "belajar" sehingga pelaksanaannya dipenuhi intrik-intrik politik terselubung yang mengelabuhi rakyat. Partai politik sangat mempengaruhi dominasi kekuasaan dengan berbagai cara untuk mendapatkan legimitasi kekuasaan mengatasnamakan demokrasi.
Politik dinasti dianggap bertentangan dengan semangat reformasi. Meski berpolitik adalah hak setiap orang, akan tetapi praktek politik dinasti berdampak buruk. Politik dinasti akan menumbuhkan oligarki politik, serta tidak sehat bagi upaya regenerasi kepemimpinan politik. Kekuasaan hanya dikuasai oleh beberapa orang yang berasal dari satu keluarga, tanpa memberikan ruang kepada pihak lain untuk ikut berpartisipasi.
Keberadaan dinasti politik di Indonesia saat ini berdampak negatif. Kepemimpinan oleh dinasti itu tidak mendapatkan pengawasan sehingga bisa menimbulkan dampak Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Akibatnya, kesejahteraan masyarakat menjadi terbelakang karena mementingkan urusan kelompok dan keuntungan saja. 
Ada banyak kejanggalan yang perlu dikoreksi ketika politik dinasti berkuasa. Hal yang paling menonjol adalah banyak terjadi ketidakberesan dalam menjalankan amanah konstitusi. Peluang terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme jelas sangat tinggi, karena ketika saudara dan handaitaulannya diajak masuk dalam pusaran kekuasaan, maka yang akan terjadi adalah tidak transparan dalam menjalankan roda pemerintahan. Politik dinasti akan menjadi tantangan yang berat, jika tidak ada ruang kontrol yang memadai.
Dalam kasus-kasus Pilkada di Indonesia, politik kekerabatan memang banyak terjadi. Banten merupakan salah satu contoh, bagaimana keluarga Atut, setidaknya karena dialah yang berposisi tertinggi sebagai Gubernur, sukses menghadirkan keluarga atau kerabat dalam level politik lokal setingkat kabupaten/kota. Tidak hanya itu, organisasi-organisasi sosial yang menonjol juga dikuasai oleh "keluarga".

Permasalahan
Berdasarkan uraian singkat latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan diangkat adalah sebagai berikut:
a.    Bagaimanakah ciri-ciri demokrasi yang telah terjangkit cacat bawaan berupa politik dinasti?
b.    Bahaya apakah yang dirasakan dengan adanya politik dinasti dalam sistem kenegaraan khususnya di Indonesia.

PEMBAHASAN
Ciri-ciri Cacat Bawaan Demokrasi Berupa Politik Dinasti
Bentuk pemerintahan demokrasi (kekuasaan rakyat) dari kota Athena di Yunani, bukan satu-satunya bentuk pemerintahan pada zaman itu. Masih terdapat bentuk pemerintahan lainnya yaitu monarki (kekuasaan raja), oligarki (kekuasaan sebagian kecil orang kaya) dan tirani (kekuasaan tunggal). Semua bentuk pemerintahan silih berganti berlaku di kota Athena dan juga di daerah-daerah sekitarnya. Kala itu Yunani terdiri dari 1.500 negara kota (poleis), yang kecil dan independent. Tetapi hanya warga kota Athena yang berusaha untuk memilih dan menetapkan bentuk pemerintahan demokrasi. Menjadikan warga kota Athena, satu-satunya negara kota yang menerapkan pemerintahan demokrasi (Betham, 2000).
Tiga tokoh pada zaman Yunani banyak mempengaruhi bentuk pemerintahan yang diterapkan di kota-kota yang ada. Ketiganya, Socrates, Plato dan Aistoteles. Dalam perkembangan selanjutnya, mereka dianggap berperan besar dalam membentuk pola pikir barat (western mind) dalam pemerintahan. Socrates menekankan pentingnya argumentasi dan pemikiran kritis dalam berpikir. Plato menekankan perlunya untuk selalu mencari “kebenaran” dan mempertahankan pemikiran kritis. Sedangkan Aristoteles, murid dari Plato dan guru dari Alexander Agung, mengembangkan pemikiran ”kategoris” di mana segala sesuatu harus dapat didefinisikan dan dikategorikan (Betham, 2000).
Pada masanya, Socrates dikabarkan menolak demokrasi yang dipraktekkan warga kota Athena. Socrates yakin hanya orang-orang bijak saja (filosof) yang semestinya menyelenggarakan pemerintahan. Atas dasar ini dia sebenarnya tidak hanya menolak demokrasi, melainkan sistem pemerintahan lain yang tidak dijalankan oleh filosof. Penolakan Socrates bisa dipahami, sebab bagaimana mungkin keputusan penting bisa diserahkan kepada orang kebanyakan yang tidak memiliki ilmu, pengalaman dan kompeten. Apalagi menyamakan pemikiran seorang filosof yang bijak bestari dengan seorang petani buta huruf. Socrates khawatir demokrasi begitu berubah terjadi mobokrasi. Arah pemerintahan ditentukan oleh kumpulan orang banyak yang tak kompeten (Sahdan, 2004).
Plato juga serupa Socrates. Bagi Plato, pemimpin dari sebuah masyarakat haruslah seorang filsuf raja, yakni pimpinan yang hidup untuk mencari apa “yang baik”, dan menerapkannya di dalam pola pemerintahannya. Meski begitu Plato mengusulkan pemerintahan ideal haruslah berbentuk demokrasi dengan monarkhi. Sebab jika hanya monarkhi maka akan terlalu banyak kelaliman. Jika terlalu demokrasi maka akan terlalu banyak kebebasan. Pendapat Plato diperkuat Aristoteles. Aristoteles percaya bahwa bentuk politik yang ideal adalah gabungan dari bentuk demokrasi dan monarkhi (Sahdan, 2004).
Penolakan Socrates terhadap bentuk pemerintahan demokrasi di kota Athena harus dibayar mahal dengan jiwanya. Socrates yang berwatak tegas menolak untuk mencabut pemikirannya. Karena penguasa Athena menganggap pikiran Socrates dapat menyesatkan dan meracuni kaum muda. Terutama pikiran tentang adanya kebenaran mutlak di samping kebenaran-kebenaran relatif. Hal ini bertentangan dengan pemikiran pada umumnya yang menyatakan semua kebenaran adalah relatif. Penguasa Athena membuat keputusan secara demokratis bahwa Socrates bersalah dan harus dijatuhi hukuman mati. Meski dibujuk untuk melarikan diri, Socrates tetap menerima vonis matinya. Eksekusi dilangsungkan dengan Socrates memilih minum racun, sekitar tahun 399 sebelum Masehi pada saat ia berumur 70 tahun (Sahdan, 2004).
Sebenarnya kematian Socrates membuat Plato dan Aristoteles kehilangan kepercayaan kepada demokrasi. Betapa demokrasi lebih membenarkan pikiran kebenaran orang-orang awam ketimbang pemikiran kebenaran filosof. Para penguasa telah memanipulasi demokrasi atau pemikiran orang awam demi keberlanjutan kekuasaan mereka. Mereka gunakan pikiran orang awam untuk mewakili keinginan berkuasa mereka tanpa harus mengacu kepada subtansi dan kebenaran sesungguhnya.
Begitu cacat bawaan demokrasi, berakibat demokrasi selalu dalam keadaan bongkar pasang menuju perbaikan. Juga menimbulkan pro dan kontra tiada akhirnya dari Yunani hingga sekarang. Misalnya, Harrison dan Jeremy Bentham, filsuf utilitarian asal Inggris, setuju dengan ide-ide dasar demokrasi. Namun, Jean-Jacques Rousseau, filsuf politik Prancis, menolak konsep dan penerapan demokrasi. Baginya, di dalam demokrasi, rakyat harus berpartisipasi langsung, dan tidak bisa diwakilkan.
Gurita politik terjadi untuk mempertahankan kekuasaan agar tidak keluar dari link mereka. Selanjutnya kekuasaan itu dijadikan alat untuk mengamankan diri dan kepentingan. Kekuasaan itu juga menjadi alat ampuh untuk motif uang. Bahkan penggunaan kekuasaan untuk motif uang ini hampir tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan di dalam demokrasi sekarang. Jika bukan untuk menumpuk kekayaan, maka yang hampir bisa dipastikan adalah untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan selama proses politik sebelumnya dan mengumpulkan biaya bagi proses politik ke depan, selain untuk balas budi kepada para ‘cukong’ yang secara langsung maupun tidak langsung, memodali proses politik yang dijalani. Maka gurita kekuasan dan jabatan yang diantaranya melalui politik dinasti itu pun menjelma menjadi “gurita persekongkolan”.
Politik dinasti (dynasty politics) secara sederhana dapat diartikan sebagai praktik kekuasaan dimana anggota keluarga (sanak famili) diberi dan/atau mendapat posisi dalam struktur kekuasaan, jadi kekuasaan hanya terbagi kepada dan terdistribusi  di kalangan kerabat, keluarga sedarah.
Pemahaman lainnya  yang menyatakan dirinya sebagai negara demokratis, demokrasi menjunjung nilai-nilai keadilan dan kesejahteraan. Politik dinasti bisa saja menjadi musuh bagi demokrasi karena peran publik dalam politik dinasti tidak dianggap penting, yang paling substansial dalam demokrasi adalah keterwakilan publik, untuk memilih pemimpinnya agar memperoleh pelayanan dan kesejahteraan.
Dinasti politik hanya akan menjadi bahaya bagi politisi “negarawan” sebab demokrasi mengajarkan kebebasan untuk memilih pemimpin, dinasti hanya fokus kepada keinginan pribadi dan golongan untuk memerintah. Konsep demokrasi yang diterima banyak orang adalah demokrasi konsensus melalui legitimasi yang disetujui banyak orang. Dinasti politi bisa saja menghilangkan akal sehat yang menghancurkan substansi politik dan demokrasi.
Politik kekerabatan bisa dimaklumi sebagai hak asasi manusia, bila yang bersangkutan memiliki kapabilitas, kompetensi, integritas dan kemampuan human socialisme. Tetapi dalam realitasnya cenderung nihil dan dipaksakan sehingga hanya membentuk sebuah koloni atau klan kekerabatan dengan tujuan melanggengkan kekuasaan dan meraup proyek-proyek pemerintah. Di sinilah terjadinya distorsi demokrasi yang tidak sepandangan dengan kehendak rakyat pada umumnya. Terjadi birokrasi yang tidak transparan dan akuntabel sehingga cenderung terjadinya manipulasi dan korupsi. Politik dinasti bila dibiarkan, maka akan semakin menggurita sampai ke tingkat paling bawah, sehingga mengakar semakin kuat dengan mengatasnamakan demokrasi terselubung.
Politik dinasti dalam jabatan kepala dan wakil kepala daerah sesungguhnya terjadi secara luas. Puluhan kepala daerah terpilih ataupun gagal dalam Pilkada terindikasi punya hubungan kekerabatan dengan pejabat lain. Hal itu dinilai sebagai ”cacat bawaan demokrasi”. Satu mata rantai yang tidak pernah terputuskan dalam cacat bawaan demokrasi ini adalah:
a.       Adanya keinginan sosok individu untuk berkuasa (asas kebebasan).
b.      Adanya persaingan antara sosok individu untuk menguasai lainya (asas kesetaraan).
c.       Adanya kesepakatan kebersamaan dan penundukan, maka terbentuklah kelompok terorganisir untuk berkuasa. Dalam kelompok mulai ada penguasa kelompok dan pengikut kelompok (asas persaudaraan).
d.      Muncul pembiayaan organisasi yang tinggi tercapainya deal pembiayaan dalam transaksi jual beli (terjadinya kolaborasi antara penguasa dan pengusaha) menyatunya kekuatan modal dengan politisi.
e.       Pembagian tugas antara kekuasaan politik dengan kekuasaaan modal mengakibatkan pembusukan manajemen pembiayaan (korupsi).
f.       Upaya mempertahankan kekuasaan melalui jaringan nepotisme dalam pendistribusian fasilitas (politik dinasti), inilah akhir dari perjalanan demokrasi.

Bahaya Politik Dinasti dalam Sistem Kenegaraan di Indonesia
Berpolitik adalah hak seseorang yang mendasar. Tidak ada larangan siapapun untuk menjadi Caleg atau Capres, bahkan untuk satu keluarga pun. Soal kepatutan, biasanya akan tenggelam dengan konteks tradisi kepolitikan yang feodal atau setidaknya neo-feodalistik. Ketika oligarki partai dikuasai oleh "keluarga", maka kekuasaan trah atau dinasti menjadi lazim. 
Meritokrasi politik yang bertumpu pada prestasi dan objektivitas, otomatis terganggu oleh sentimen-sentimen dinastik. Pilihan-pilihan untuk mengedepankan keluarga atau kerabat sendiri dalam promosi-promosi politik penting di partai atau dalam jabatan publik lebih menonjol. Subjektivitas kelompok dalam oligarki politik, kemudian akan identik dengan subjektivitas keluarga.
Semua warga negara dijamin secara hukum dan perundang-undangan untuk memilih dan dipilih dalam setiap momentum politik pemilihan umum, baik pemilihan kepala desa, pemilihan kepala daerah, maupun pemilihan presiden. Paling tidak ada beberapa catatan penting yang seyogianya perlu kita pertimbangkan ketika politik dinasti keluarga ini mendominasi dalam berbagai momen suksesi kepemimpinan (Karim, 2001).
Pertama, mekanisme organisasi kepartaian harus tetap on the track dilakukan, sehingga tidak menimbulkan gejolak internal di kalangan para pengurus dan para kader partai politik ketika akan mengusung kandidat dari tokoh sanak saudara incumbent. Hal ini sematamata mesti dipahami dalam konteks bagaimana kita konsisten dan berkomitmen dalam melakukan kaderisasi.
Kedua, siapa pun keluarga politik yang mempunyai trah politik keluarga yang mau tampil seyogianya dia adalah kader partai yang dibuktikan dengan keanggotaan dan keaktifannya di dalam membesarkan partai politik. Hal ini semata-mata dipahami agar institusi partai politik yang selama ini kita pahami sebagai institusi pencipta kader pemimpin benarbenar dihormati harkat, martabat, dan marwah politiknya.
Ketiga, bahwa partai politik bukanlah semata-mata “kendaraan rental politik” yang setiap waktu dan setiap saat bisa “direntalkan” atas dasar motif ekonomi-politik. Kita harus merawat partai politik adalah institusi yang sah dalam melahirkan kader-kader kepemimpinan yang mumpuni.
Keempat, kualitas dari trah dinasti politik harus teruji dan tepercaya, sehingga kualitas dan keberhasilan dalam konteks kepemimpinannya akan berakibat positif terhadap perkembangan dan kebesaran partai itu sendiri. Sebaliknya, jika kualitasnya banyak tidak dirasakan manfaatnya bagi rakyat itu sendiri, dipastikan yang terkena dampak negatif dari kualitas negatif kepemimpinannya akan berakibat negatif pula terhadap citra dan kondisi partai politik pengusungnya.
Namun, penting untuk mengevaluasi dan mengeliminasi dampak negatif dari kecenderungan politik dinasti yang memanfaatkan tokoh incumbent hanya semata-mata untuk “menumpang” popularitas. Apalagi jika para sanak saudara yang mencalonkan diri dalam setiap momentum politik lagi-lagi adalah mereka yang tidak pernah menempa diri dan terjun langsung dalam dinamika partai politik.
Dinasti adalah sistem reproduksi kekuasaan yang primitif karena mengandalkan darah dan keturunan dari segelintir orang. Maka, di dalam dinasti tidak ada politik karena peran publik (polis) sama sekali tidak dipertimbangkan. Dengan sendirinya, dinasti juga adalah musuh demokrasi dalam arti yang paling substansial.
Dalam bentuk yang halus, politik dinasti muncul dalam gejala ”dinasti politik” yang mendorong sanak keluarga elite-elite lama untuk terus memegang kekuasaan yang diturunkan ”secara demokratis” oleh para pendahulu mereka. Dalam jenis ini, penyesuaian terhadap etik demokrasi modern dilakukan dengan cara mempersiapkan putra-putri yang bersangkutan dalam sistem pendidikan dan rekrutmen politik yang sedemikian dini. Jadi, dengan itu, apabila mereka muncul, kemunculannya seolah-olah bukan diakibatkan oleh karena faktor darah dan keluarga, melainkan oleh karena faktor-faktor kepolitikan yang lebih wajar dan rasional. Cara semacam ini masih dipraktikkan dalam negara-negara demokratis, misalnya Amerika Serikat dan India (Mayo, 2005).
Dalam bentuk yang lain, politik dinasti tampil dalam cara yang lebih vulgar dan identik dengan otoriterianisme. Ia muncul dari suatu sistem politik modern yang sebelumnya sudah dibekukan dan dikondisikan sedemikian rupa sehingga ”rakyat” melalui wakilnya hanya bisa memilih anak/istri dari keluarga penguasa lama. Dengan demikian, di sini yang terjadi sebenarnya adalah politik dinasti yang dipilih bukan secara sukarela (by consent), tetapi secara represif, ini misalnya terjadi di Singapura (Mayo, 2005).
Dalam bentuk ketiga, politik dinasti muncul dalam konteks yang lebih unik. Apabila di Amerika dan India (bahkan Singapura) politik dinasti dilakukan dengan mempertimbangkan delikasi politik demokratis dan persiapan matang untuk tidak ”memalukan”, dalam tipe ketiga, politik dinasti muncul semata-mata sebagai bagian dari mekanisme reproduksi kekuasaan pribadi yang vulgar dengan memanfaatkan sistem demokrasi yang baru. Dalam mekanisme ini politik dinasti berkolaborasi secara intens dengan politik uang, kapitalisme media, dan budaya patronase. Uang, media, dan budaya patronase dipakai dan dimanipulasi untuk mengatrol” penampilan dan meraup justifikasi politik. Gejala ini menguat di Filipina dan Indonesia sekarang (Mayo, 2005).
Ringkasnya, mengenai sifat baik-buruk politik dinasti pada dasarnya memang akan sangat bergantung pada pendasaran dan filsafat politik apa yang dianut. Bagi mereka yang berpandangan ekstrem liberal yang menganggap bahwa inti dari politik adalah hak-hak individual, politik dinasti diperbolehkan, bahkan mesti dibela. Ini dipandang sebagai bagian dari hak individu. Namun, bagi mereka yang berpandangan sedikit republikan, politik dinasti secara prinsip tidak bisa diterima.
Dalam konteks Indonesia, invasi kepentingan pribadi ini sudah mencapai tahap kegilaan tertentu. Ini terlihat dalam gejala di mana makin banyak anak, istri (bahkan ada istri pertama dan istri kedua) artis-artis yang hanya mengandalkan bombastisme media bertarung dalam pilkada-pilkada. Kegilaan ini secara sepintas barangkali sama sekali tidak mencederai prosedur demokrasi di Indonesia, tetapi secara prinsip merusak substansi politik dan demokrasi yang mengedepankan kemaslahatan dan akal budi umum.
Politik dinasti membuat partai politik hanya sebagai simbolis saja, sehingga banyak implikasi negatif yang didapat, seperti pengaruh sukses dalam Pemilu. Parpol hanya kumpulan gerombolan dan fans club, di mana tidak melakukan kompetensi secara profesional. Politik dinasti mengajarkan kita untuk menjadi mental menerobos hal ini tidak diperlukan jenjang-jenjang sebagai- mana mestinya dan ini menimbulkan hal yang tidak baik.
Semua itu sebenarnya bisa dikatakan sudah menjadi rahasia umum. Rahasia umum itulah yang mendapatkan fakta riil dari kasus gurita politik di Banten. Hal yang sama agaknya terjadi di banyak daerah, termasuk daerah yang tidak diidentifikasi terjadi politik dinasti di situ. Hanya barangkali apa yang terjadi di Banten termasuk yang paling menonjol. Betapa tidak, Sang ‘Ratu’ beserta kerabatnya ditengarai menguasai 175 proyek di Provinsi Banten dalam rentang waktu 2011-2013 dengan total nilai Rp 1,148 triliun. Berdasarkan penelusuran ICW dan Masyarakat Transparansi Anggaran (Mata) Banten, 175 proyek tersebut dikuasai 10 perusahaan keluarga Atut dan 24 perusahaan yang berafiliasi dengan keluarga Atut. Layaknya arisan keluarga, pemenang proyek itu digilir baik dari 10 perusahaan keluarga Atut maupun 24 perusahaan yang berafiliasi itu.
Kekuatan politik yang dibangun atas dasar dinasti sudah pasti akan menggunakan segala cara untuk menjadi pemenang. Dinasti politik kecenderungannya melakukan suap dan menyuap adalah satu bentuk lain dari kerja korupsi. Sebagai contoh, kasus suap yang libatkan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, adik kandung Atut Chosiyah, Gubernur Banten yang bernama Tubagus Chaery Wardhana, yang saat ini menggunjang sistem hukum dan politik di tanah air, adalah bagian dari contoh korupsi politik. Mereka mendapatkan kekuasaanya dengan cara menyuap MK, mungkin juga penyelenggara Pemilukada dan mungkin juga rakyat, dengan cara membeli suara pemilih.
Praktik dinasti politik di Indonesia, kian mengkhawatirkan. Pasalnya, kebanyakan dari penguasa hanya ingin melanggengkan oligarki kekuasaannya. Praktik dinasti politik di negeri ini cenderung semakin tak sehat. Itu adalah contoh, bagaimana demokrasi Indonesia masih mengalami pendangkalan, saat etika tidak pernah menjadi dasar dalam berpolitik. Lantaran selama ini begitu banyak aturan tentang pemilukada memang tak memiliki makna. Alhasil persoalan etika tidak lagi menjadi perhatian utama masyarakat. Publik dan pemilih terlalu apatis, bahkan sebagian besar pragmatis, sehingga dinasti politik makin menggurita sampai ke level paling bawah kekuasaan.
Tantangan serius ke depan adalah bagaimana melakukan perombakan besar untuk mengatasi korupsi politik dinasti dan praktik oligarki. Karena bila dinasti politik yang terbukti pernah korupsi menguasai lingkar kekuasaan, demokrasi pun akan makin bangkrut, karena digerogoti koruptor dalam lingkaran kekuasaan. Politik dinasti  menyebabkan rakyat lemah semakin terpinggirkan. Apabila penguasa sudah tidak lagi memikirkan rakyatnya, hanya saja memikirkan dirinya, dan kekuasaan. Masyarakat yang lemah akan selalu tertindas akibat cengkeraman dinasti politik.
Bahaya dari politik dinasti adalah hasratnya untuk mengekalkan diri dan melembagakannya dalam kepolitikan. Sifat alamiahnya adalah kekuasaan politik hendak dijalankan secara turun-temurun di atas garis trah dan kekerabatan, bukan didasarkan pada kualitas kepemimpinan, tujuan-tujuan bersama, keputusan dan kerja-kerja asosiatif. Pengekalan dan pelembagaan politik dinasti dimungkinkan dengan merajalelanya politik-uang. Demokrasi diubah teksturnya sedemikian rupa bukan lagi sebagai ruang konsteslasi ide, gagasan, program dan ideologi, melainkan pasar transaksi jual-beli kepentingan individu dan kelompok-kekerabatan. Politik dinasti di dalam partai politik dimungkinkan tumbuh saat cuaca demokrasi bersifat semu.
Demokrasi semu lebih berupa pasar transaksi kepentingan pribadi, namun dengan menggunakan alat-alat kelengkapan demokrasi seperti partai politik, lembaga dan institusi negara, serta media massa. Peralatan sistem demokrasi tersebut digunakan bukan untuk menopang sistem demokrasi, melainkan memanipulasinya menjadi penopang sistem oligarki. Politik dipersempit menjadi ruang perebutan kekuasaan politik dan penimbunan kekayaan antar para oligarkis, sementara rakyat kebanyakan dibayar untuk berduyun-duyun melegalkan manipulasi tersebut lewat pemilu, pilkada dan aksi-aksi protes lainnya.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
a.       Konsep demokrasi yang diterima banyak orang adalah demokrasi konsensus melalui legitimasi yang disetujui banyak orang. Dalam politik dinasti terjadinya distorsi demokrasi yang tidak sepandangan dengan kehendak rakyat pada umumnya. Terjadi birokrasi yang tidak transparan dan akuntabel sehingga cenderung terjadinya manipulasi dan korupsi.
b.      Bahaya dari politik dinasti adalah hasratnya untuk mengekalkan diri dan melembagakannya dalam kepolitikan. Sifat alamiahnya adalah kekuasaan politik hendak dijalankan secara turun-temurun di atas garis trah dan kekerabatan, bukan didasarkan pada kualitas kepemimpinan. Pengekalan dan pelembagaan politik dinasti dimungkinkan dengan merajalela- nya politik-uang. Demokrasi diubah teksturnya sedemikian rupa bukan lagi sebagai ruang konsteslasi ide, gagasan, program dan ideologi, melainkan pasar transaksi jual-beli kepentingan individu dan kelompok-kekerabatan.

Saran
a.       Politik dinasti harus dilawan oleh semua kalangan. Masyarakat memiliki peran yang sangat penting dan strategis untuk memutus politik dinasti ini. Masyarakat harus lebih aktif untuk memastikan bahwa di manapun negeri ini tidak terjadi monopoli, tidak terjadi konsentrasi kekuasaan. Masyarakat tidak boleh terlalu bergantung pada sekelompok orang yang ada di daerah itu.
b.      Seorang kepala daerah ataupun jabatan penting yang ada di daerah harus diisi oleh orang yang memiliki akuntabilitas, kapabilitas dan integritas. Bukan oleh mereka yang memiliki uang. Prinsip keadilan harus tetap ditegakkan.


DAFTAR PUSTAKA

Betham, D. (2000). Demokrasi. Yogyakarta: Kanisius.

Karim, A. (2001). Membangun Warga Negara yang Demokratis. Jakarta: Grafindo Media Pratama.

Maso’ed, M. (2000). Negara, Kapital dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mayo, H. B. (2005). Menjadikan Demokrasi Bermakna: Masalah dan Pilihan Indonesia. Jakarta: Demos.

Sahdan, G. (2004). Jalan Transisi Demokrasi: Pasca Soeharto. Jakarta: LP3EAS.