Oleh:
Meima,
Dani Durahman
Fakultas
Hukum Universitas Langlangbuana Bandung
Email: fh_unla@yahoo.com.sg
ABSTRAK
Penelitian ini
bertujuan untuk mengkaji bagaimana implementasi konsep sistem multipartai
berkaitan dengan sistem presidensial yang dianut di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis
normatif, yaitu menetapkan standar norma tertentu terhadap suatu fenomena
dengan mengkaji data-data sekunder.
Sedangkan analisis data menggunakan metode yuridis kualitatif,
yaitu bersumber dari studi kepustakaan dan studi lapangan, kemudian disusun
secara sistematis, setelah dianalisa disajikan secara diskriptif. Penelitian lebih menekankan pada kajian analisis
data sekunder atau studi kepustakaan yang ditunjang dengan data primer yaitu
studi lapangan. Sistem presidensial yang berdasarkan
sistem multipartai, bila tidak ada partai politik yang meraih suara mayoritas
di parlemen, koalisi merupakan suatu yang tidak bisa dihindari. Koalisi
pendukung presiden dalam sistem presidensialisme tidak stabil. Karena, pertama,
koalisi pemerintahan dan elektoral sering berbeda. Dalam koalisi pemerintahan,
partai politik tidak bertanggung
jawab menaikkan Presiden dalam pemilu sehingga partai politik cenderung
meninggalkan presiden yang tidak lagi populer. Pemilu presiden selalu ada di
depan mata sehingga partai politik berusaha sebisa mungkin menjaga jarak dengan
berbagai kebijakan Presiden, yang mungkin baik, tetapi tidak populis. Dampak
multi partai di Indonesia yaitu sulitnya Presiden untuk membuat keputusan. Presiden mengalamai
resistansi karena peran Legislatif lebih dominan dalam sistem multi partai. Sebenarnya
posisi Presiden RI sangat kuat karena presiden dipilih langsung oleh rakyat
bukan dipilih
oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tetapi dalam hal penerbitan dan pengesahan perundang-undangan Presiden
perlu dukungan DPR. Sedangkan
seringkali keputusan DPR bisa dengan kepentingan
primordial masing-masing.
Kata Kunci: Sistem Presidensial,
multipartai
ABSTRACT
This study aims to examine how the implementation of the concept of a multiparty system with regard to the presidential system adopted in Indonesia. The method used is a normative juridical approach, which sets a certain standard norms to a phenomenon by analyzing secondary data. While the analysis of data using qualitative juridical method, which is sourced from literature study and field studies, then arranged systematically, having analyzed descriptively presented. Research more emphasis on secondary data analysis study or literature study, supported by the primary data field study. Presidential system based on a multiparty system, if there is no political party that won a majority in parliament, the coalition is an unavoidable. Coalition supporting the president in a presidential system is unstable, because the government and the electoral coalition often different. In a coalition government, political parties are not responsible raise in the presidential elections so that the political parties are likely to leave the president who no longer popular. Presidential elections always in sight so that political parties are trying as much as possible to keep a distance with a wide range of policies the president, which may be good, but not populist. One of the effects of multi-party in Indonesia is the President have difficulty in making decisions. President experiencing resistance because the Legislature has more dominant role in the multi-party system. The actual position of the President is very powerful because the president is elected directly by the people rather than elected by the House of Representatives (DPR), but in terms of publishing and ratification legislation the president needs the support of Parliament. Though often biased by the Parliament's decision primordial interests respectively.
Keywords: Presidential System, multiparty
PENDAHULUAN
Latar Belakang Penelitian
Konstitusi suatu negara, umumnya digunakan untuk
mengatur dan sekaligus untuk membatasi kekuasaan negara. Melalui konstitusi,
dapat dilihat sistem pemerintahan, bentuk negara, sistem kontrol antara
kekuasaan negara, jaminan hak-hak warga negara dan tidak kalah penting mengenai
pembagian kekuasaan antar unsur pemegang kekusaan negara seperti kekuasaan
pemerintahan (eksekutif), kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudisial (Mulyosudarmo, 2004).
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD’45) merupakan konsep dasar sistem
kehidupan dan kepentingan nasional baik ditinjau dari segi kenegaraan maupun
dari segi kemasyarakatan (Thaib,
2003). UUD’45 memuat ketentuan mengenai landasan ideal,
landasan struktural dan landasan operasional pengelolaan negara.
Mengenai
kekuasaan pemerintahan negara Indonesia khususnya mengenai sistem
pemerintahannya, Pasal 4 ayat (1) UUD’45 menyatakan bahwa “presiden adalah
kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan”. Sistem presidensial yang
dipraktekkan di Indonesia, bila ditelusuri lebih jauh ternyata meninggalkan
atau mengurangi beberapa unsur penting dalam sistem presidensial tetapi
memasukkan beberapa nuansa dari sistem pemerintahan parlementer. Hal tersebut
menghasilkan suatu sistem pemerintahan presidensial yang kurang lazim atau
kurang sempurna (Legowo, 2014).
Ciri
utama dari sistem presidensial adalah pemisahan cabang-cabang eksekutif dan
legislatif, dengan kekuasaan eksekutif berada di luar lembaga legislatif. Ini
sangat berbeda dengan sistem parlementer yang dicirikan oleh lembaga legislatif
sebagai ajang utama penyusunan undang-undang dan kekuatan eksekutif.
Definisi
paling sederhana mengenai perbedaan kedua sistem itu adalah tingkat
independensi relatif eksekutif. Eksekutif pada sistem presidensial, relatif independen daripada legislatif,
sedangkan pada sistem parlementer, terdapat saling ketergantungan dan saling
berkaitan dalam kapasitas-kapasitas legislatif dan eksekutif.
Independensi
relatif eksekutif daripada legislatif dalam sistem presidensial
dimanifestasikan dalam pemilihan umum secara langsung yang terpisah antara
kepala eksekutif dan anggota-anggota legislatif. Anggota-anggota badan
eksekutif tidak merangkap sebagai anggota legislatif. Kepala pemerintahan pada
sistem parlementer, dipilih dari anggota legislatif yang memperoleh dukungan
suara mayoritas, demikian juga anggota-anggota kabinet direkrut dari
anggota-anggota legislatif (Legowo,
2014).
Pasal 28
UUD’45 yang menyatakan bahwa “kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang”, merupakan landasan konstitusional untuk kegiatan berserikat,
berkumpul dan mengeluarkan pikiran baik lisan maupun tertulis. Atas dasar
landasan konstitusional mengenai kemerdekaan berserikat dan berkumpul, manusia
sebagai makhluk sosial (zoon politicon) diberikan haknya untuk dapat
hidup berkelompok baik yang bersifat tetap maupun yang bersifat tidak tetap
yang di dalam UUD’45 diberi istilah berserikat dan berkumpul.
Ketentuan
yang bersifat pokok tentang berserikat atau berorganisasi tersebut membentuk
landasan konstitusional untuk mendirikan organisasi-organisasi. Dewasa ini
dikenal istilah organisasi sosialpolitik dan organisasi kemasyarakatan yang
terdiri dari ormas profesional dan fungsionalserta berbagai macam lembaga
swadaya masyarakat.
Peraturan
pelaksanaan yang pertama dibentuk sebagai pelaksanaan Pasal 28 UUD’45 adalah
Maklumat Pemerintah yang dikeluarkan oleh Wakil Presiden pada tanggal 3
Nopember 1945 tentang Pembentukan Partai-Partai Politik, yang menghendaki
kehidupan politik dengan sistem multipartai, diikuti dengan ditetapkannya Ketetapan
MPR RI Nomor: II/MPR/1983 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (selanjutnya disingkat GBHN) yang
menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi organisasi sosial politik
dan organisasi kemasyarakatan.
Berakhirnya
rezim orde baru yang diikuti dengan munculnya era reformasi, dilakukan upaya
penataan sistem politik yang demokratis, yang ditandai dengan digantinya
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985 tentang
Partai Politik dan Golongan Karya dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik,
yang menafsirkan kembali Pasal 28 UUD’45 secara luas, yang melahirkan pula
sistem multipartai.
Presiden
dalam sistem presidensial, memiliki posisi yang relatif kuat dan tidak dapat
dijatuhkan karena rendah subjektif seperti rendahnya dukungan politik. Namun,
masih ada mekanisme untuk mengontrol presiden. Jika presiden melakukan
pelanggaran konstitusi, pengkhianatan terhadap negara dan terlibat masalah
kriminal, posisi presiden bisa dijatuhkan. Bila presiden diberhentikan karena
pelanggaran-pelanggaran tertentu, biasanya seorang wakil presiden menggantikan
posisinya (Nurhajrul, 2013).
Adapun
ciri-ciri dari sistem pemerintahan presidensial, adalah (Strong, 2004):
1.
Presiden adalah kepala
eksekutif yang memimpin kabinetnya yang semuanya diangkat olehnya dan
bertanggung jawab kepadanya. Ia sekaligus sebagai kepala negara (lambang
negara) dengan masa jabatan yang telah ditentukan dengan pasti oleh UUD’45;
2.
Presiden tidak dipilih
oleh badan legislatif, tetapi dipilih oleh sejumlah pemilih. Oleh karena itu,
presiden bukan bagian dari badan legislatif seperti dalam sistem pemerintahan
parlementer;
3.
Presiden tidak
bertanggung jawab kepada badan legislatif dan tidak dapat dijatuhkan oleh badan
legislatif; dan
4.
Sebagai imbangannya,
presiden tidak dapat membubarkan badan legislatif.
Indonesia
telah menempatkan presiden dalam fungsi kepala negara sekaligus kepala
pemerintahan yang memiliki kekuasaan yaitu sebagai:
1.
Kekuasaannya legislatif
(Pasal 5 dan Pasal 7 ayat (2) UUD’45);
2.
Kekuasaannya
administratif (Pasal 15 dan Pasal 17 ayat (2) UUD’45);
3.
Kekuasaannya eksekutif
(Pasal 4 ayat (1) UUD’45);
4.
Kekuasaannya militer
(Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 UUD’45);
5.
Kekuasaannya yudikatif
(Pasal 14 UUD’45); dan
6.
Kekuasaannya diplomatik
(Pasal 13 UUD’45).
Lembaga
perwakilan muncul pada abad ke-18 Masehi di Eropa sebagai lembaga demokrasi. Waktu
itu muncul gagasan, pemerintahan memerlukan persetujuan dari yang diperintah. Luasnya
wilayah pada waktu itu berdampak kepada kurangnya realisasi kepentingan
pemerintah, karenanya perlu dibentuk lembaga perwakilan untuk mewakili
kepentingan rakyat yang disebut sebagai parlemen. Parlemen merupakan suatu
mekanisme untuk merealisasikan gagasan normatif bahwa pemerintahan harus di
jalankan dengan kehendak rakyat.
Teori
perwakilan politik yang di cetuskan oleh Alfred de Gazio, merupakan hubungan
antara dua pihak yaitu wakil dengan yang terwakili dimana wakil memiliki
kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan yang berkenaan dengan kesepakatan
yang dibuatnya. Keterwakilan politik akan terwujud apabila kepentingan anggota
masyarakat telah diwakili sepenuhnya oleh wakil-wakil mereka di dalam lembaga
parlemen (Sabit, 1985).
Dalam
perkembangannya rakyat menyelenggarakan kedaulatan yang dimilikinya melalui
wakilnya. Wakil rakyat inilah yang kemudian mewakili mayoritas rakyat,
karenanya masyarakat memberikan mandat kepada para wakilnya untuk mewakili
kepentinganya dalam proses politik dan pemerintahan.
Negara
Indonesia, berdasarkan UUD’45 menganut sistem pemerintahan presidensial, tetapi
dalam praktik penyelenggaraannya menganut sistem pemerintahan parlementer.
Kerancuan sistem menyebabkan Presiden Republik Indonesia Tahun 2004-2009 Susilo
Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (selanjutnya disingkat
SBY-JK), tidak berdaya menyusun kabinet secara mandiri karena harus
mengakomodasi kepentingan partai politik untuk menghindari konflik dengan Dewan
Perwakilan Rakyat (selanjutnya disingkat DPR). Oleh sebab itu, dari 38 (tiga
puluh delapan) anggota kabinet, 19 (sembilan belas) menteri berasal dari
delapan partai politik. Kalau akomodasi partai dalam kabinet direfleksikan
dalam kekuatan di DPR, partai yang ikut memerintah sebanyak 404 (empat ratus
empat) kursi (sekitar 73%) dan di luar pemerintah 146 (seratus empat puluh
enam) kursi (sekitar 23%).
Problematika
sistem presidensial pada umumnya terjadi ketika ia dikombinasikan dengan sistem
multipartai, apalagi dengan tingkat fragmentasi
dan polarisasi yang relatif tinggi.
Presidensialisme dan sistem multipartai bukan hanya merupakan “kombinasi yang
sulit”, melainkan juga membuka peluang terjadinya deadlock dalam relasi
eksekutif dan legislatif yang kemudian berdampak pada instabilitas demokrasi presidensial.
Sistem
multipartai dewasa ini, ternyata gagal memberikan sumbangan kepada negara
karena tidak mengkondisikan pembentukan kekuatan oposisi yang diperlukan untuk
menopang rezim dan pemerintahan yang kuat, stabil, dan efektif secara
demokratik. Bersamaan dengan itu, sistem multipartai tidak pula berfungsi untuk
melandasi praktik politik check and balances, baik diantara lembaga
negara maupun fraksi pemerintah dengan fraksi lainnya di lembaga perwakilan
rakyat.
Kombinasi
sistem presidensial dengan sistem multipartai, dimana presiden dipilih secara langsung
oleh rakyat, untuk pertama kalinya di Indonesia pada pemilu 2004, menyebabkan
adanya perbedaan basis dukungan. Presiden dan wakil presiden terpilih SBY-JK,
terpilih secara mayoritas lebih dari 60% (enam puluh prosen) pada pemilihan
presiden putaran kedua, tetapi basis dukungan politiknya di parlemen rendah.
Koalisi kerakyatan yang dibangun oleh Presiden SBY-JK hanya didukung oleh
partai yang memiliki suara pada pemilu legislatif 2004 sekitar 38% (tiga puluh
delapan prosen) (Nurhasim dan Bhakti,
2009).
Megawati dan Hasyim Muzadi yang
membentuk koalisi kebangsaan didukung hampir 55% (lima puluh lima prosen)
partai yang memperoleh kursi diparlemen. Begitu pula pada pemilu 2014 yang akan
datang, sistem multipartai tetap dipergunakan. Kenyataan inilah yang
dikhawatirkan akan menyebabkan efek buruk bagi sistem presidensial, karena
antara presiden yang dipilih oleh rakyat, belum tentu mereka memiliki dukungan
politik yang cukup kuat di parlemen. Komisi Pemilihan Umum menetapkan pasangan
Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai peraih suara terbanyak Pemilu Presiden
2014. Keduanya meraih kemenangan 70.997.85 suara (53,15 persen) pada Pemilu
Presiden 2014. Jumlah itu berselisih 8.421.389 suara dari pasangan Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa, yang meraih 62.576.444 suara (46,85 persen).
Dilema
presidensialisme tersebut bertambah kompleks jika tidak ada satu partai politik
pun yang menguasai kursi mayoritas di parlemen. Fragmentasi kekuatan partai-partai politik di parlemen seperti ini
lazimnya adalah produk dari penggunaan sistem pemilu perwakilan berimbang.
Kesepakatan
tentang sistem pemerintahan presidensial justru berujung pada perubahan sistem
ketatanegaraan. Berlakunya sistem presidensial murni mengakibatkan
berkurangnya wewenang dan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (selanjutnya
disingkat MPR) sebagai lembaga tertinggi yang berimplikasi pada perubahan
kedaulatan rakyat yangterkandung dalam Pasal 1 ayat (2) UUD’45. Adapun wewenang
MPR setelah perubahan UUD’45, antara lain:
1.
Mengubah dan menetapkan
undang-undang dasar;
2.
Melantik Presiden dan
Wakil Presiden;
3.
Memutuskan usul DPR
berdasar- kan putusan Mahkamah Konstitusi untuk memberhentikan Presiden dan
Wakil Presiden;
4.
Melantik Wakil Presiden
menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti atau diberhenti- kan atau
tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya;
5.
Memilih dan melantik
Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan
jabatan Wakil Presiden selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari;
6.
Memilih dan melantik
Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam
masa jabatannya dari dua paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan
oleh partai politik atau gabungan partai politik yang paket calon Presiden dan
Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum
sebelumnya sampai habis masa jabatnnya selambat-lambatnya dalam waktu tiga
puluh hari;
7.
Menetapkan peraturan
tata tertib dan kode etik;
8.
Memilih dan menetapkan
pimpinan majelis; dan
9.
Membentuk alat
kelengkapan majelis.
Kesepakatan
itu sendiri memang tidak terlalu jelas apakah mempertahankan sistem
presidensial berarti hanya mempertahankan aspek presidensial dalam sistem campuran
agar tidak berubah menjadi sistem parlementer atau lebih dari itu, mengubah
sistem pemerintahan menjadi sistem presidensial murni. Meskipun secara sadar
kita menganut sistem multipartai yang tentunya akan mempengaruhi sistem
presidensial Indonesia.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang permasalahan maka tujuan dari penelitian ini, adalah mengkaji bagaimana implementasi konsep sistem multi partai dalam pemilu di
Indonesia serta akibatnya terhadap sistem
presidensial yang dianut di Indonesia.
TINJAUAN PUSTAKA
Sistem Presidensial
Pemerintahan sistem presidensial adalah suatu
pemerintahan dimana kedudukan eksekutif tidak bertanggung jawab kepada badan
perwakilan rakyat, dengan kata lain kekuasaan eksekutif berada diluar
pengawasan (langsung) parlemen.
Presiden dalam sistem ini memiliki kekuasaan yang kuat,
karena selain sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan yang mengetuai
kabinet (dewan menteri) (Syafiie,
2002). Oleh karena itu, agar tidak menjurus kepada
diktatorisme, maka diperlukan checks and
balances, antara lembaga tinggi negara inilah yang disebut checking power with power (Syafiie dan Azhari, 2005).
Menurut Rod Hague, pemerintahan presidensial terdiri
dari tiga unsur yaitu (Syafiie dan
Azhari, 2005):
a.
Presiden yang dipilih
rakyat memimpin pemerintahan dan mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang
terkait.
b.
Presiden dengan dewan
perwakilan memiliki masa jabatan yang tetap, tidak bisa saling menjatuhkan.
c.
Tidak ada status yang
tumpang tindih antara badan eksekutif dan badan legislatif.
Presiden dalam sistem presidensial, memiliki posisi yang
relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan karena rendah subjektif seperti
rendahnya dukungan politik. Namun masih ada mekanisme untuk mengontrol
presiden. Jika presiden melakukan pelanggaran konstitusi, pengkhianatan terhadap
negara, dan terlibat masalah kriminal, posisi presiden bisa dijatuhkan. Bila
presiden diberhentikan karena pelanggaran-pelanggaran tertentu, biasanya
seorang wakil presiden akan menggantikan posisinya (Anonim, 2014). Presiden
bertanggungjawab kepada pemilihnya (kiescollege).
Sehingga seorang presiden diberhentikan atas tuduhan House of Representatives setelah diputuskan oleh senat. Misal,
sistem pemerintahan presidensial di USA (Tutik, 2006).
Dengan demikian, pertama, sebagai kekuasaan tertinggi,
tindakan eksekutif dalam sistem pemerintahan presidensial seringkali menuntut
adanya kekuasaan tak terbatas, demi kebaikan negara, setidak-tidaknya selama
periode tertentu; kedua, orang yang
berada diposisi ini menjadi suatu keseluruhan yang tak lebih baik dari
anggotanya yang paling rendah, dan semua menjadi buruk daripada anggota
terendahnya.
Adapun ciri-ciri dari sistem presidensial adalah:
a.
“Presiden adalah kepala
eksekutif yang memimpin kabinetnya yang semuanya diangkat olehnya dan
bertanggung jawab kepadanya. Ia sekaligus sebagai kepala negara (lambang
negara) dengan masa jabatan yang telah ditentukan dengan pasti oleh UUD;
b.
Presiden tidak dipilih
oleh badan legislatif, tetapi dipilih oleh sejumlah pemilih. Oleh karena itu,
ia bukan bagian dari badan legislatif seperti dalam sistem pemerintahan
parlementer;
c.
Presiden tidak
bertanggung jawab kepada badan legislatif dan tidak dapat dijatuhkan oleh badan
legislatif; dan
d.
Sebagai imbangannya,
presiden tidak dapat membubarkan badan legislatif”.
1.
Komparasi
Sistem Parlementer dan Sistem Presidensial
Sistem komparatif adalah perpaduaan antara kedua sistem
di atas yang mengambil beberapa keuntungan dan kelemahan dari kedua sistem
tersebut yang sesuai dengan latar belakang sejarah politik suatu negara. Jadi,
sistem pemerintahan ini, selain memiliki presiden sebagai kepala negara, juga
memiliki perdana menteri sebagai kepala pemerintahan, untuk memimpin kabinet
yang bertanggung jawab kepada parlemen.
Adapun ciri-ciri dari sistem ini adalah:
a.
Dalam sistem ini
eksekutif terdiri dari presiden dan perdana menteri.
b.
Presiden tidak memiliki
posisi yang dominan, artinya presiden hanya sebagai lambang dalam suatu
pemerintahan.
c.
Kabinet tidak dipimpin
oleh presiden melainkan oleh perdana menteri yang bertanggung jawab kepada
parlemen.
d.
Presiden dapat
membubarkan parlemen.
Sistem pemerintahan quasi pada hakekatnya merupakan
bentuk variasi dari sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan
presidensial. Hal ini disebabkan situasi dan kondisi yang berbeda sehingga
melahirkan bentuk-bentuk semuanya. Apabila dilihat dari kedua sistem
pemerintahan diatas, sistem pemerintahan quasi bukan merupakan bentuk
sebenarnya. Dalam sistem ini dikenal bentuk quasi parlementer dan quasi
presidensial.
Presiden pada pemerintahan sistem quasi presidensial,
merupakan kepala pemerintahan dengan dibantu oleh kabinet (ciri presidensial). Tetapi
dia bertanggung jawab kepada lembaga di mana dia bertanggung
jawab, sehingga lembaga ini (legislatif) dapat menjatuhkan presiden/eksekutif (ciri
sistem parlementer). Misal, sistem pemerintahan Republik Indonesia.
Menurut penulis, pada sistem pemerintahan quasi
parlementer, presiden, raja dan ratu adalah kepala negara yang tidak lebih
hanya sebagai simbol saja. Kekuasaan eksekutif adalah kabinet yang terdiri dari
perdana menteri dan menteri-menteri yang bertanggung jawab secara
sendiri-sendiri atau bersama kepada parlemen (ciri parlementer) sedangkan
lembaga legislatifnya dipilih melalui pemilihan umum secara langsung oleh
rakyat (ciri presidensial). Misalnya, sistem pemerintahan Philipina. Atau
sistem pemerintahan yang dipraktekkan di Perancis yang biasa dikenal oleh para
sarjana dengan sebutan hybrid system.
Kedudukan sebagai kepala negara dipegang oleh presiden yang dipilih langsung
oleh rakyat, tetapi juga ada kepala pemerintahan yang dipimpin oleh seorang
perdana menteri yang didukung oleh parlemen seperti sistem pemerintahan parlementer
yang biasa (Asshiddiqie, 2006).
Pada sistem quasi ini penulis tidak menspesifikasikan
ciri-cirinya karena tergantung dari quasi apa yang digunakan dalam suatu negara
ditambah lagi bahwa tidak ada suatu negara yang menganut sistem pemerintahan
yang sama persis karena akan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik
suatu negara. Misalnya jika yang digunakan adalah sistem quasi presidensial
maka menggunakan ciri-ciri sistem presidensial yang kemudian dimasukkan
sebagian ciri sistem pemerintahan parlementer yang sesuai dengan kondisi sosial
politik negara tersebut. Begitu juga sebaliknya jika yang digunakan adalah sistem pemerintahan quasi parlementer.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah
metode pendekatan yuridis normatif, yaitu menetapkan standar norma tertentu terhadap
suatu fenomena dengan mengkaji data-data sekunder serta membahas sistem
kepartaian dalam sistem pemerintahan presidensial dalam multi partai,
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Partai Politik. Sedangkan analisis data menggunakan metode
yuridis kualitatif, yaitu bersumber dari studi kepustakaan dan studi lapangan,
kemudian disusun secara sistematis, setelah dianalisa disajikan secara
diskriptif. Penelitian lebih
menekan- kan pada kajian analisis data sekunder atau studi kepustakaan yang
ditunjang dengan data primer yaitu studi lapangan.
PEMBAHASAN
Implementasi
konsepsi sistem multi partai dalam pemilu berkaitan dengan sistem presidensial
yang dianut di Indonesia
Partai politik merupakan salah satu institusi inti dari
pelaksanaan demokrasi modern. Demokrasi modern mengandaikan sebuah sistem yang
disebut keterwakilan (representativeness),
baik keterwakilan dalam lembaga formal kenegaraan seperti parlemen maupun
keterwakilan aspirasi masyarakat dalam institusi kepartaian. Berbeda dengan
demokrasi langsung sebagaimana dipraktekkan dimasa Yunani Kuno, demokrasi modern sebagai demokrasi tidak
langsung membutuhkan media penyampai pesan politik kepada negara (pemerintah). Media
yang berupa institusi tersebut biasa kita sebut sebagai partai politik dan
keberadaannya diatur dalam konstitusi negara modern. Mengingat fungsi partai
politik yang begitu penting, sering bahkan keberadaan dan kinerjanya merupakan
ukuran mutlak bagaimana demokrasi berkembang di suatu negara.
Sistem kepartaian merupakan suatu mekanisme interaksi
antar partai politik dalam sebuah sistem politik yang berjalan. Maksudnya,
karena tujuan utama dari partai politik adalah mencari dan mempertahankan
kekuasaan guna mewujudkan program-program yang disusun berdasarkan ideologi tertentu, maka
untuk merelisasikan program-program tersebut partai-partai politik yang ada
berinteraksi satu dengan yang lainnya dalam suatu sistem kepartaian.
Terdapat beberapa sistem kepartaian yang dapat digunakan
dalam merelasasikan interaksi antar partai dalam suatu sistem politik
yakni sistem satu partai, sistem dua
partai serta sistem multipartai.
Indonesia pasca reformasi telah menganut sistem
multipartai di mana, dalam sistem multipartai umumnya diperkuat oleh sistem
pemilihan perwakilan berimbang (proportional
representation) yang memberikan kesempatan luas bagi pertumbuhan
partai-partai dan golongan-golongan kecil. Melalui sistem ini partai-partai
kecil dapat menarik keuntungan dari ketentuan bahwa kelebihan suara yang
diperolehnya di suatu daerah pemilihan dapat ditarik ke daerah pemilihan lain
untuk menggenapkan jumlah suara yang diperlukan.
Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat
kemajemukan masyarakat yang sangat tinggi dan memiliki pluralitas sosial yang
sangat kompleks. Komposisi masyarakat Indonesia terdiri atas suku, agama, dan
identitas agama yang sangat majemuk. Struktur sosial masyarakat hampir memiliki
hubungan searah dengan tipologi partai politik di Indonesia hal ini dibuktikan
dari partai politik di Indonesia yang kebanyakan masih dilandasi faktor
ideologi dan faktor identitas politik tertentu. Idealnya sesuai dengan fungsi
dan tujuannya partai politik didirikan sebagai wadah artikulasi dan agregasi
kepentingan masyarakat.
Partai yang dominan lebih banyak dalam sistem multi
partai, bukan hanya dua partai, dan partai-partai kecil yang memiliki
eksistensi berjuang dalam setiap pemilu. Partai-partai politik yang beredar,
merupakan representasi dari ideologi rakyat meskipun titik berat sumber
ideologinya berbeda-beda, dan bukan sebagai ideologi politik saja, misalnya
berbasis agama, nasionalisme, status sosial ekonomi, dan sebagainya.
Sistem kepartaian ini memungkinkan terjadinya koalisi
antar partai, untuk membentuk pemerintahan setelah pemilu diadakan. Adapun
jabatan-jabatan publik terutama di lembaga eksekutif, merupakan hasil tawar
menawar antara partai politik pembentuk koalisi dipemerintahan, sehingga
posisi-posisi dipemerintahan diisi oleh kader-kader dari berbagai partai politik.
Partai-partai dianggap memain- kan peranan menyeluruh
sebelum, selama, dan sesudah pemilu. Berbeda dengan kelompok-kelompok
kepentingan, partai-partai menjangkau suatu lingkup kepentingan manusia secara
luas. Mereka mengidentifikasi, memilah, menentukan, dan mengarah- kan pelbagai
kepentingan tersebut menuju cara-cara bertindak yang dapat dipilih oleh para
pemilih dan pemerintah. Partai-partai yang bersaing mengemukakan
program-program lintas kebijakan didalam konteks persaingan memperebutkan
pemerintahan. Program-program itu menstrukturkan pilihan para pemilih. Sekali
telah duduk dipemerintahan, partai-partai merupakan lembaga pengorganisir utama
yang membentuk, melaksanakan dan mengawasi proses penyusunan kebijakan, artinya
pilihan suatu kebijakan diperhitungkan atas dasar banyak kriteria dan
masing-masing kriteria memiliki nilai bobot (weight) yang berbeda menurut kondisi, situasi dan posisi.
Program-program pemilu formal merupakan pernyataan
paling jelas yang bisa diperoleh, yang berisi kehendak-kehendak kebijakan yang
dikemukakan pemimpin partai-partai yang tengah bersaing. Program-program partai
dapat mengantisipasi kebijakan melalui dua cara yaitu lewat agenda dan lewat
mandat. Agenda kebijakan yang berlaku beserta evolusinya bisa ditelusuri lewat
program-program dari serangkaian partai-partai di sebuah negara. Validitas
agenda yang dipresentasikan partai-partai diukur dengan sejauh manakah
kebijakan mengikuti jalan yang serupa dengan yang ditempuh program-program
partai. Dengan begitu, partai merupakan artikulator agenda kebijakan yang
efektif sejauh profil pelbagai kebijakan yang diberlakukan pemerintah mencermin-
kan profil pelbagai partai kepada khalayak pemilih.
Secara kolektif dari waktu kewaktu, partai-partai yang
bersaing disuatu negara menyajikan suatu satuan perhatian yang programatis yang
berubah, yang membuktikan terjadinya pergeseran batas-batas diskursus
kebijakan. Jika hal tersebut juga berhubungan dengan batas-batas tindakan
pemerintah yang berubah, maka akan dapat dinyatakan bahwa partai-partai telah
menciptakan agenda yang efektif, dari proses persaingan dan dengan adanya
agenda yang dibentuk secara publik.
Meskipun partai bukan merupakan pelaksana dari suatu pemerintahan, namun
keberadaannya akan mempengaruhi bagaimana dan ke arah mana pelaksanaan
pemerintahan dijalankan. Terutama bagi partai pemenang pemilihan atau partai
berkuasa dan partai oposisi yang berjalan efektif, partai politik merupakan
pelaksana pemerintah yang tersembuyi. Keberadaannya mem- pengaruhi ragam
kebijakan yang dikembangkan. Karena itu bisa dikatakan bahwa kegagalan
sekaligus keberhasilan suatu pemerintahan dalam melayani dan memakmurkan
masyarakatnya adalah kegagalan dan keberhasilan partai politik menjalan- kan
fungsinya secara efektif.
Akibat sistem kepartaian
terhadap sistem presidensial
Pemerintahan dalam arti yang sempit adalah perbuatan
memerintah yang dilakukan oleh badan eksekutif beserta jajarannya dalam rangka
mencapai tujuan penyelenggaraan negara. Sistem pemerintahan diartikan sebagai
suatu tatanan utuh, terdiri atas berbagai komponen pemerintahan yang bekerja
saling bergantungan dan mempengaruhi dalam mencapai tujuan dan fungsi pemerintahan.
Kekuasaan dalam suatu negara menurut Montesquieu
diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu kekuasaan eksekutif yang berarti kekuasaan
menjalankan undang-undang atau kekuasaan menjalankan pemerintahan, kekuasaan
legislatif yang berarti kekuasaan membentuk undang-undang dan kekuasaan yudikatif
yang berarti kekuasaan mengadili terhadap pelanggaran atas undang-undang.
Komponen-komponen tersebut secara garis besar meliputi
lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Jadi, sistem pemerintahan negara
menggambarkan adanya lembaga-lembaga negara, hubungan antar lembaga negara, dan
bekerjanya lembaga negara dalam mencapai tujuan pemerintahan negara yang
bersangkutan.
Pemerintahan jika ditinjau dari struktur fungsional
berarti seperangkat fungsi negara yang satu sama lain saling berhubungan secara
fungsional, dan melaksanakan fungsinya atas dasar-dasar tertentu demi
terciptanya tujuan negara. Lalu ditinjau dari aspek tugas dan kewenangan
negara, pemerintah berarti seluruh tugas dan kewenangan negara. Menurut ketiga
bahasan di atas dapatlah disimpulkan bahwa pemerintahan merupakan segala
kegiatan yang berkaitan dengan tugas dan wewenang negara.
Kabinet yang dibangun dalam sistem parlementer saat itu
tidak dapat bertahan lebih lama dari rata-rata delapan bulan dan hal ini
menghambat perkembangan ekonomi dan politik karena pemerintah tidak mendapat
kesempatan untuk melaksanakan programnya. Sistem parlementer dianggap tidak
membawa stabilitas yang diharapkan, malah perpecahan antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah tidak dapat dihindarkan, akibat presiden dan wakil
presiden hanya sekedar presiden dan wakil presiden konstitusional. Jalannya
pemerintahan dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan oleh para menteri ke
parlemen.
Terjadi perubahan struktur ketatanegaraan secara
bertahap setelah reformasi bergulir 1998, yaitu dengan melaksanakan andemen UUD’45
sebanyak 4 (empat) kali (1999-2002). Dimana dulu ada lembaga tertinggi negara
yaitu MPR, kemudian setelah
dilaksanakan amandemen UUD’45 maka tidak ada lagi
lembaga negara yang mendominasi. Sekarang antar lembaga negara hanya ada
prinsip check and balance dan tidak
ada prinsip saling membawahi seperti dulu.
Salah satu agenda reformasi selain bagaimana menguatkan demokratisasi yang
ada di Indonesia adalah bagaimana juga menguatkan sistem presidensial di
Indonesia, tetapi tetap dalam bingkai konstitusonal agar tidak terjadi juga
kesewenang-wenangan oleh presiden (abuse
of power). Tetapi yang menjadi suatu masalah yang dihadapi negeri ini
setelah reformasi adalah banyaknya partai politik yang mendominasi sehingga Indonesia
menganut sistem partai yang majemuk (multiparty
system). Jadi setelah reformasi ada suatu peralihan sistem partai yang ada
di Indonesia yaitu bagaimana yang dahulunya cuma ada 3 (tiga) partai sekarang
menjadi banyak partai (multiparty system).
Sistem pemerintahan presidensial di era reformasi harus
di dukung oleh kewenangan konstitusional yang memadai. Sebelum perubahan
UUD’45, kewenangan konstitusional presiden nyaris tanpa batas. Era itulah
kewenangan konstitusional presiden sangat besar diberikan oleh UUD’45, sehingga
disebut sebagai executive heavy
constitution. Pasca reformasi, kewenangan konstitusional presiden dikurangi
di segala lini. Tidak cukup hanya dengan pengurangan, kewenangan presiden juga
dikontrol dari segala penjuru. Pengurangan dan pembatasan demikian tentu perlu,
untuk menghindari agar presiden tidak menjadi pemimpin yang diktator. Tapi,
pada saat yang sama, pengurangan dan pembatasan itu harus dijaga agar tidak
berubah menjadi penciptaan presiden minim kekuasaan.
Tanpa kewenangan yang memadai, presiden pasca perubahan
akan terjadi paradoks. Secara legitimasi politis, yuridis dan sosiologis lebih
kuat, namun secara faktual tidak mempunyai kewenangan maupun dukungan politik
yang memadai untuk memerintah. Dengan pemilihan presiden langsung, presiden
terpilih memiliki legitimasi yang lebih kuat.
Sistem pemerintahan model apapun membutuhkan dukungan
politik di parlemen yang mayoritas. Tanpa dukungan politik mayoritas di
parlemen, sistem pemerintahan apapun cenderung tidak efektif. Pembatasan
kewenangan presiden dan membaik- nya sistem saling kontrol saling imbang adalah
suatu hal yang penting untuk menjaga presiden tidak menjadi diktator. Namun,
itu bukan berarti presiden dapat dibiarkan tanpa dukungan politik yang memadai.
Justru, dalam mekanisme checks and balances yang baik, tidak hanya ada
unsur kontrol (checks), tetapi yang
tidak kalah penting adalah unsur keseimbangan dukungan (balances).
Pemerintah tanpa dukungan mayoritas suara di parlemen
adalah presiden yang minoritas (minority
president), dan yang terbentuk
adalah pemerintahan terbelah (divided
government). Kondisi inilah yang terjadi di Indonesia pasca reformasi 1998
dimana kekuasaan presiden dan kekuasaan legislatif mengalami perimbangan
kekuasaan.
Sebagai kepala eksekutif, presiden menunjuk
pembantu-pembantunya yang akan memimpin departemennya masing-masing dan mereka
hanya bertanggung jawab kepada presiden. Karena pembentukan kabinet tidak
tergantung dan tidak memerlukan dukungan kepercayaan dari parlemen, maka para
menteri tidak bisa dihentikan oleh parlemen. Komposisi kabinet dalam sistem
presidensial bukan berasal dari proses tawar menawar dengan partai yang berarti
sifat kabinet adalah kabinet profesional atau kabinet keahlian. Jabatan menteri
tidak didasarkan pada latar belakang politik tetapi pada penilaian visi,
pengetahuan dan kemampuan mengelola departemen. Kepala negara dan kepala
pemerintahan dalam sistem presidensial, dipegang langsung oleh presiden. Selaku
kepala negara presiden adalah simbol representasi negara atau simbol pemersatu
bangsa sementara selaku kepala pemerintahan presiden harus bertanggung jawab
penuh pada jalannya pemerintahan.
Pemilihan presiden yang dilakukan di Indonesia pada
tahun 2004 merupakan pemilihan yang pertama yang dilakukan secara langsung
dipilih oleh rakyat. Alasan utama mengubah sistem parlementer menjadi sistem
presidensial adalah preseden dalam Pemilu 1999, di mana PDIP sebagai partai
pemenang ternyata gagal meraih jabatan presiden melalui pemungutan suara di
MPR.
Sebaliknya sebagaimana telah dilihat, banyak partai yang
membentuk satu koalisi, mencalonkan seorang presiden dari partai yang jauh
lebih kecil, dan mengalahkan calon dari partai yang memiliki suara terbanyak. Pemilihan
presiden tak langsung ini memunculkan ketidak- puasan ditingkat elit dan kalangan
publik. Banyak kelompok masyarakat yang mengungkapkan kekecewaannya melihat
proses pemilihan pesiden di MPR itu lebih mencerminkan kepentingan elit
daripada pemilih.
Menanggapi itu, MPR melaku- kan
amandemen konstitusi pada tahun 2001 demi mengakomodasi
gagasan pemilihan presiden secara langsung. Amandemen ini menandai transformasi
ke sistem presidensial. Dua tahun kemudian DPR mengeluarkan undang-undang baru
tentang pemilihan presiden yang memberikan panduan proseduralnya. Salah satu
syarat pentingnya adalah para calon presiden harus berasal dari partai politik
dan tidak memberi kesempatan kepada calon independen. Undang-undang itu juga
menetapkan kriteria kelayakan bahwa hanya partai dengan minimal tiga persen
kursi parlemen atau lima persen dari total suara yang dapat mengajukan capres
sendiri. Sebaliknya partai yang tidak memenuhi kriteria ini diperbolehkan
mengajukan calon jika mampu membentuk koalisi hingga memenuhi ambang batas tersebut.
Secara prosedural, pemilihan presiden ini digelar dua putaran. Hanya pasangan
Capres dan Cawapres yang memperoleh suara terbanyak pada urutan pertama dan
kedua yang diizinkan bersaing dalam putaran kedua.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Sistem presidensial
yang ber- dasarkan sistem multipartai, bila tidak ada partai politik yang
meraih suara mayoritas di parlemen, koalisi merupakan suatu yang tidak bisa
dihindari, karena itu koalisi merupakan ”jalan penyelamat” bagi sistem
pemerintahan presidensial yang menganut sistem multipartai. Koalisi pendukung
presiden dalam sistem presidensialisme tidak stabil, karena, pertama, koalisi
pemerintahan dan elektoral sering berbeda.
Dalam koalisi pemerintahan, parpol tidak bertanggung
jawab menaikkan presiden dalam pemilu sehingga parpol cenderung meninggal- kan
presiden yang tidak lagi populer. Kedua, pemilu presiden selalu ada di depan
mata sehingga partai politik berusaha sebisa mungkin menjaga jarak dengan
berbagai kebijakan presiden, yang mungkin baik, tetapi tidak populis. Alasan
ketidakcocokan ketiga, kemungkinan jatuhnya pemerintah secara inkonstitusional.
Besarnya peluang pergantian pemerintah secara
inkonstitusional amat relatif karena dalam sistem presidensialisme amat sulit
menurun- kan presiden terpilih. Karena itu, pihak-pihak yang tidak puas dengan
kinerja pemerintah cenderung meng- gunakan jalur inkonstitusional untuk
mengganti pemerintahan.
Akibat multi partai di Indonesia dapat kita rasakan
bersama, yaitu sulitnya Presiden untuk membuat keputusan berkaitan dengan
masalah kehidupan berbangsa dan negara yang strategis meliputi aspek; politik,
ekonomi, diplomasi dan militer. Bila kita mengamati secara fokus hubungan
antara Eksekutif dan Legislatif, Presiden mengalamai resistansi karena peran
Legislatif lebih dominan dalam sistem multi partai. Sebenarnya posisi Presiden
RI sangat kuat karena presiden dipilih langsung oleh rakyat bukan dipilh oleh
DPR. Tetapi dalam hal penerbitan dan pengesahan perundang-undangan presiden
perlu dukungan DPR. DPR yang merupakan lembaga negara, justru menjadi
resistansi dalam sistem pemerintahan kita, karena mereka bias dengan
kepentingan primordial masing-masing. Menyamakan visi dan misi dari
partai-partai, dengan ideologi dan kepentingan yang sangat mendasar perbedaannya
akan sangat sulit dicapai. Peran DPR, tak lebih sebagai oposisi yang selalu
menentang pemerintah misalnya; masalah politik luar negeri Indonesia terhadap program nuklir Iran.
Lain halnya dengan masalah Rancangan UU Keamanan Nasional, DPR lebih bersikap apatis.
Saran
Perlunya perubahan UUD 1945 mengenai penegasan sistem
presidensial suapaya ada kejelasan dalam sistem ketatanegaraan.
Harus adanya upaya membatasi jumlah partai peserta pemilu agar tidak terlampau banyak supaya sistem check and balance menjadi
terwujud. Pemerintahan diisi beberapa wakil dari parpol, tetapi tidak tergabung
dalam koalisi yang permanen. Tidak ada koalisi oposisi yang mantap. Akibatnya,
kebijakan pemerintah acapkali ditolak oleh parpol yang notabene punya wakil di
kabinet.
Harus terwujud
persaingan dan kerjasama parpol yang jelas supaya parpol-parpol di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten diisi atau didukung oleh parpol-parpol
yang sama.
DAFTAR
PUSTAKA
Sabit, A. (1985),Perwakilan Politik Indonesia, CV. Rajawali, Jakarta
Strong, C.F. (2004), Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Nuansa Nusa Media, Bandung.
Thaib, D., Hamidi, J., dan Huda, N., (2003), Teori dan
Hukum Konstitusi,
Rajawali Press, Jakarta.
Syafiie,
I. K., (2002), Sistem Pemerintahan
Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta.
Syafiie, I.K., dan Azhari, (2005), Sistem Politik Indonesia, Refika
Aditama, Bandung.
Asshiddiqie,
J., (2006), Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid II, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta.
Nurhasim, M. dan Bhakti, I.K., (2009), Sistem Presidensial dan Sosok Presiden Ideal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Tutik, T., T., (2006), Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Prestasi Pustaka, Jakarta.
Nurhajrul, S., (2013),
Perbandingan Sistem
Pemerintahan Presidensial Dengan Parlementer, sumber
dari: http://informasipendidikan07.blogspot.com/2013/02/perbanding- an-sistem-pemerintahan.html,
diakses pada tanggal 8 Juni 2014, 21.00.
Mulyosudarmo, S., (2004), Pembaharuan
Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi, Asosiasi Pengajar
Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Jawa Timur dan In-TRANS, Malang.
Legowo,
T.A. (2014), Menyempurnakan Sistem Presidensial, sumber dari: www.hukumonline.com, diakses pada tanggal tanggal 5 April 2014,
21.00.
Anonim, (2014), Sistem Presidensial, http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_presidensial, diakses pada
tanggal 3 Juli 2014, 21.00.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945.
Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik.